"42 Juta" Jawabnya tak tega.
Ratih bergegas dan mengemas barang-barang miliknya untuk pergi. Ia tak tega melihat realita hidup wanita tua itu. Sementara itu, bude zainab meraih seteguk air putih di sampingnya yang tertunda tadi.
Bagi seorang ibu, buah hati adalah satu rasa dengannya walaupun memiliki nyawa yang berbeda. Begitupun seorang anak akan selalu menyayangi ibunya, tak wajar jikalau ada setitik benci diantara keduanya kecuali bagi manusia dengan racikan bumbu hidup yang tak seimbang.
Menurut penuturan warga, bude zainab sedang dalam masa sulit hingga membuat dirinya pontang-panting untuk melanjutkan hidup. Putra sematawayangnya kini dirawat di rumah sakit, biaya yang dibutuhkan ditaksir mencapai 30 an juta, sedang bude zainab mengais pundi koin dari buruh cuci, memilah sampah, hingga sesekali terlihat berdiam diri di samping lampu merah menurut keterangan salahseorang tetangga.
"Walaupun aku anak perempuan, segala bentuk rintangan harus kuhadapai dan kuselesaikan" Bisik Ratih dalam hati.
"Aku akan kembali bude" Mereka bertatapan, Ratih berusaha tegar sedangkan bude zainab seperti diselimuti ketidaktegaan. Ratih berjanji pada dirinya untuk membayar hutang ayahnya. Begitu besar perjuangan ayah untuk anaknya, walaupun terkadang seorang anak tidak jarang merasa putus asa. Ayah yang tak jemu mencarikan biaya, kita masih sejengkal melangkah sudah merasa lelah. Pulang adalah hadiah terbesar bagi keluarga dan orang-orang sekitar. Oleh-oleh yang akan abadi adalah ilmu yang kita dapat dari pengembaraan di gurun dan samudera ilmu. Maka, berangkat dengan uang dan pulang harus berjuang, terkhusus pada diri sendiri.
"Ratih?" Bude zainab memanggil dengan suara parau.
"Kamu sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di sini, Nak!" Air mata perempuan paruhbaya itu gugur bagai dedaunan kering yang disergap angin kencang. Tangan keriputnya merebut tangkai koper dari genggaman Ratih.
"Nak Ratih, Bude ikhlas tentang hutang itu. Biarlah sisa tua ini ku nikmati dengan banyak bersyukur. Dan bude merasa lebih tenang dengan hadirmu di sini, Nak. Â Syerly dan Mona tidak sempat mendapatkan pelajaran agama sepertimu, Allah sudah mengambilnya dariku. Bude sangat bersalah atas ketidaktahuan mereka terhadap islam, dulu bude mengedepankan harta hidupnya tanpa berfikir hidup setelahnya. Semua sudah terlanjur dan...." Ratih menyeka cerita yang menyayat hati itu dengan dekapannya. Keduanya larut dalam iba pada tuhan, terbuai dengan kasihsayang yang mulai mendamaikan malam. Mereka saling mengikat bagai ibu dan putrinya.
***
Dering toa menelisik dalam mimpi. Salam rindu yang terpendam 7 tahun lalu sudah terlepas. Ibu, Ayah dan sanak keluarga Ratih terlihat menyambut dan menyemangati Ratih. Ribuan mawar menampakkan kecantikannya, wangi dan eloknya membius mata yang memandang. Namun, diantara perbincangan Ratih dan ayah tercintanya terdengar lantunan ayat Al Qur'an.