Suara itulah yang menjadi cambuk untuk bangkit dan meneguhkan niat. Namun, suara ayah sudah tak bisa didengar lagi, kalimat tersebut adalah wejangan terakhir sekaligus menutup komunikasi antara keduanya melalui telepon genggam dan untuk selamanya.
Pernah disuatu saat yang lalu Ratih menderita sakit yang cukup lama, hingga membuat ia harus menunda tingkat 2 nya di Al Azhar. Melalui perjuangan yang tak mudah, Ratih menikmati hidup serba sulit kala itu. Anak perempuan satu-satunya yang berkelana paling jauh dibanding saudara-saudaranya, berada di Kairo dengan segudang ilmu di dalamnya tak lantas membuat ciut nyalinya untuk Menaklukkan Negeri Kinanah tersebut. Akhirnya, walaupun lulus tidak tepat waktu, Ratih telah mendapatkan banyak prestasi dan pengalaman.
***
Telah lama tidak pulang ke indonesia, tibalah waktu yang telah dijadwalkan oleh Ratih. Bulan januari 2019, tiket pesawat dari kairo menuju bandara mutiara SIS al Jufri, Palu, Sulawesi Tengah  sudah di tangan.
Pesawat telah membawa Ratih selepas kumandang maghrib waktu setempat. Kali ini Fitri hanya dapat melambaikan tangan di bawah badan pesawat yang telah melesat menjauhi dirinya. Perjalanan yang memakan waktu 21 jam lebih menyimpan rindu sekaligus ajang tafakkur yang hebat, bagaimana tidak! Manusia yang hanya sekecil itu tak akan mampu menahan gejolak alam yang maha luas.
Selepas beberapa jam mengudara dan dua kali transit di Abu Dhabi serta Jakarta, akhirnya pesawat menuju Palu.
"Assalamualaikum nak! Sudah sampai kah? " Suara  seorang ibu dari ujung telepon.  Akhirnya, Ratih memijakkan kaki di bumi palu.
"Wa'alaikumsalam bude, Alhamdulillah Ratih sudah sampai di bandara"
"Alhamdulillah... Bude sudah menunggu di depan"
"Iya bude" jawab Ratih seraya bergegas.
Cerahnya senyum mentari menyapa Ratih di balik sela-sela rongga lorong keluar bandara. Pukul 7.35 pagi, guratan langit masih biru-birunya. Angin menghembus lembut menerpa jilbab biru yang Ratih kenakan. Terdengar seseorang memanggil, Ratih sesekali memutar tubuhnya untuk memastikan asal suara itu.