Mohon tunggu...
Aziz Aljaisyi
Aziz Aljaisyi Mohon Tunggu... Penulis - Pendidik

Hobi menuangkan isi pikiran melalui tulisan dengan harapan bermanfaat untuk para penikmat literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Toleransi Tidak Berarti Mengorbankan Aqidah

26 Januari 2025   19:54 Diperbarui: 26 Januari 2025   19:54 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keyakinan ini merupakan bagian dari aqidah setiap Muslim yang tidak boleh diragukan sedikit pun dalam hati. Mengucapkan selamat Natal dipandang sama dengan mengucapkan 'Selamat atas kelahiran anak Tuhan,' yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Dalam Islam, Yesus (dalam bahasa Ibrani: Yeshua) atau Isa dipahami sebagai seorang Nabi dan Rasul (utusan Allah) yang lahir dari rahim seorang wanita mulia, Maryam, tanpa seorang ayah, dan bukan sebagai anak Tuhan. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak diperbolehkan mengucapkan selamat Natal, karena hal tersebut dianggap sebagai pengakuan atas keyakinan yang tidak sesuai dengan aqidah Islam. Jika tindakan ini dilakukan, maka dapat berdampak pada keimanan seorang Muslim, sebagaimana diperingatkan oleh Allah dalam Al-Qur'an, Surat Al-Ma'idah Ayat 72, "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam"

Tidak ada hak bagi siapa pun untuk memaksa seorang Muslim mengucapkan selamat Natal atau ucapan hari raya non muslim lainnya, karena hal tersebut dilarang dalam ajaran Islam. Memaksakan seorang Muslim untuk melakukannya merupakan bentuk sikap intoleran. Setiap agama seharusnya saling menghormati keyakinan satu sama lain, sebagaimana seorang Muslim menghormati keyakinan dan ibadah agama lain. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 99, "Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?" dan firman-Nya Al-Baqarah ayat 256, "Tidak ada paksaan dalam beragama."

Salah satu bentuk toleransi yang diajarkan dalam Islam adalah membiarkan umat agama lain melaksanakan ibadah mereka tanpa gangguan, usikan, atau penghinaan terhadap sesembahan mereka. Allah berfirman Surat Al-An'am Ayat 108, "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah."

Sangat keliru jika seseorang yang mengaku beragama Islam melakukan aksi terorisme, seperti bom bunuh diri di gereja, dengan mengatasnamakan jihad. Tindakan semacam ini sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam, melainkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Dan prilaku semacam ini mendapatkan ancaman dari Rasulullah , "Barangsiapa membunuh seorang non-Muslim yang hidup damai dengan umat Islam, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun." (HR. An Nasa'i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Pemahaman Toleransi yang Benar

Toleransi beragama adalah sikap saling menghormati dan menerima keberagaman agama serta keyakinan yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks ini, toleransi tidak berarti menyetujui atau mendukung semua ajaran agama, melainkan menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama yang mereka pilih dan hidup berdampingan dalam kedamaian meskipun ada perbedaan.

Toleransi berasal dari bahasa Latin "tolerantia", yang berarti kemampuan untuk menerima atau menghormati keberadaan orang lain yang berbeda. Dalam Islam, toleransi dikenal dengan istilah tasamuh, yang mengacu pada sikap menghormati hak dan keyakinan orang lain tanpa mengorbankan prinsip keimanan sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Kafirun Ayat 6, "Bagikumu agamamu, dan bagikulah, agamaku".

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui keberagaman agama dan mendorong umatnya untuk hidup berdampingan dengan damai tanpa paksaan dalam urusan keimanan.

Toleransi menjadi kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan keharmonisan di masyarakat. Tanpa toleransi, perbedaan dapat memicu konflik yang merusak persatuan. Menurut John Locke, filsuf politik Barat, toleransi adalah prasyarat utama untuk membangun masyarakat yang adil dan damai. Locke menegaskan bahwa pemerintah dan individu memiliki tanggung jawab untuk menghormati kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Rasulullah mencontohkan toleransi dengan menjalin hubungan damai dengan komunitas Yahudi dan Nasrani di Madinah, yang dikenal dengan Piagam Madinah, sebuah perjanjian yang menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok untuk hidup berdampingan.

Namun, tidak sedikit orang yang keliru dalam memahami konsep toleransi. Mereka menganggap toleransi sebagai penerimaan mutlak terhadap segala hal, termasuk yang bertentangan dengan nilai agama dan moral. Padahal, toleransi bukanlah relativisme, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Yusuf al-Qaradawi, yang menegaskan bahwa dalam toleransi, seseorang tetap memegang teguh keyakinannya tanpa memaksakan keyakinan tersebut kepada orang lain. Selain itu, toleransi juga bukan sinkretisme, seperti yang dikritik oleh Muhammad Abduh dan Karen Armstrong, yaitu mencampuradukkan ajaran agama demi mencapai kerukunan. Beberapa referensi pandangan tentang toleransi beragama:

  1. Dalam Konteks Agama Islam: Islam mengajarkan pentingnya toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan agama. Misalnya, dalam Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah ayat 256: "Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat." Ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang bebas memilih agamanya tanpa tekanan, yang merupakan prinsip dasar toleransi beragama.
  2. Dalam Konteks Agama Kristen: Ajaran Yesus dalam Injil Lukas 6:31 berkata: "Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Ini mendorong umat Kristiani untuk memperlakukan orang lain dengan hormat dan kasih, termasuk mereka yang berbeda agama.
  3. Pernyataan Universal tentang Toleransi: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, menyatakan dalam Pasal 18: "Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk mengubah agamanya atau kepercayaannya, dan kebebasan untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya secara ajaran, praktik, ibadah, dan observasi."

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun