Setiap agama memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh penganutnya apapun itu agamanya, tak terkecuali Islam. Ada hal-hal yang diperbolehkan dan ada hal-hal yang dilarang. Sebagai warga negara Indonesia kita diberikan kebebasan oleh Pemerintah untuk menjalankan keyakinan kita dalam beragama. Sebagaimana tertuang pada pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, sementara Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memastikan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya, artinya bahwa setiap umat beragama diberikan keleluasaan dalam menjalankan aturan agamanya sesuai yang tertuang didalam kitab masing-masing agama yang ia Yakini, Muslim menurut Al Qur'an dan Al Hadits, Kristiani dan Katolik menurut Alkitab; perjanjian lama dan perjanjian baru, Hindu menurut kitab Bhagavad Gita, Budha menurut Tripitaka, dan Konghucu menurut Si Shu Wu Jing.
Sama seperti agama lainnya, Islam menetapkan seperangkat aturan yang termaktub secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadis), yang wajib diimplementasikan oleh setiap Muslim dalam ranah akidah (keyakinan) maupun ibadah. Dalam kerangka ini, seorang Muslim tidak diperkenankan merumuskan aturan yang menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.
Allah Ta'ala berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 36)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya." (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta'zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hlm. 12-13).
Hak Beragama dan Intoleransi
Seseorang tidak berhak memaksa umat agama lain untuk mengikuti keyakinannya, karena tindakan tersebut bertentangan dengan agama dan juga konstitusi, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Memaksakan seseorang untuk mengikuti ajaran agama tertentu merupakan bentuk intoleransi. Contohnya, seorang Muslim yang dipaksa untuk mengucapkan selamat Natal, dan ketika ia menolak, ia kerap dianggap radikal dan intoleran. Tuduhan semacam ini tidaklah benar, karena dalam Islam, seorang Muslim dilarang untuk memberikan ucapan selamat terhadap perayaan agama lain, ikut serta dalam perayaannya dan peribadatannya. Larangan ini berakar pada prinsip aqidah yang dapat memengaruhi keimanan seseorang. Mengucapkan selamat atas perayaan agama lain dianggap sebagai bentuk pembenaran terhadap keyakinan tersebut, yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Mengucapkan Selamat Natal
Natal adalah perayaan kelahiran Yesus Kristus, yang diyakini oleh umat Kristiani sebagai Anak Allah dan Juru Selamat dunia. Peristiwa ini dianggap sebagai wujud kasih Allah kepada manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, bahwa Allah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan dunia dari dosa.
Sebagaimana dijelaskan dalam Alkitab,
- Lukas 2:10-11 "Lalu kata malaikat itu kepada mereka: 'Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.'"
- Yohanes 1:14 "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran."
- Matius 1:21 "Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka."
Keyakinan seorang muslim Allah tidak memiliki anak sebagaimana Allah berfirman dalam Qur'an surat al Ikhlas ayat 3, "Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan". Dan Allah juga menegaskan didalam Surat Al-An'am Ayat 101, "Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu."
Keyakinan ini merupakan bagian dari aqidah setiap Muslim yang tidak boleh diragukan sedikit pun dalam hati. Mengucapkan selamat Natal dipandang sama dengan mengucapkan 'Selamat atas kelahiran anak Tuhan,' yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Dalam Islam, Yesus (dalam bahasa Ibrani: Yeshua) atau Isa dipahami sebagai seorang Nabi dan Rasul (utusan Allah) yang lahir dari rahim seorang wanita mulia, Maryam, tanpa seorang ayah, dan bukan sebagai anak Tuhan. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak diperbolehkan mengucapkan selamat Natal, karena hal tersebut dianggap sebagai pengakuan atas keyakinan yang tidak sesuai dengan aqidah Islam. Jika tindakan ini dilakukan, maka dapat berdampak pada keimanan seorang Muslim, sebagaimana diperingatkan oleh Allah dalam Al-Qur'an, Surat Al-Ma'idah Ayat 72, "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam"
Tidak ada hak bagi siapa pun untuk memaksa seorang Muslim mengucapkan selamat Natal atau ucapan hari raya non muslim lainnya, karena hal tersebut dilarang dalam ajaran Islam. Memaksakan seorang Muslim untuk melakukannya merupakan bentuk sikap intoleran. Setiap agama seharusnya saling menghormati keyakinan satu sama lain, sebagaimana seorang Muslim menghormati keyakinan dan ibadah agama lain. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 99, "Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?" dan firman-Nya Al-Baqarah ayat 256, "Tidak ada paksaan dalam beragama."
Salah satu bentuk toleransi yang diajarkan dalam Islam adalah membiarkan umat agama lain melaksanakan ibadah mereka tanpa gangguan, usikan, atau penghinaan terhadap sesembahan mereka. Allah berfirman Surat Al-An'am Ayat 108, "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah."
Sangat keliru jika seseorang yang mengaku beragama Islam melakukan aksi terorisme, seperti bom bunuh diri di gereja, dengan mengatasnamakan jihad. Tindakan semacam ini sama sekali bukan bagian dari ajaran Islam, melainkan bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Dan prilaku semacam ini mendapatkan ancaman dari Rasulullah , "Barangsiapa membunuh seorang non-Muslim yang hidup damai dengan umat Islam, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun."Â (HR. An Nasa'i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pemahaman Toleransi yang Benar
Toleransi beragama adalah sikap saling menghormati dan menerima keberagaman agama serta keyakinan yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks ini, toleransi tidak berarti menyetujui atau mendukung semua ajaran agama, melainkan menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama yang mereka pilih dan hidup berdampingan dalam kedamaian meskipun ada perbedaan.
Toleransi berasal dari bahasa Latin "tolerantia", yang berarti kemampuan untuk menerima atau menghormati keberadaan orang lain yang berbeda. Dalam Islam, toleransi dikenal dengan istilah tasamuh, yang mengacu pada sikap menghormati hak dan keyakinan orang lain tanpa mengorbankan prinsip keimanan sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Kafirun Ayat 6, "Bagikumu agamamu, dan bagikulah, agamaku".
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui keberagaman agama dan mendorong umatnya untuk hidup berdampingan dengan damai tanpa paksaan dalam urusan keimanan.
Toleransi menjadi kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan keharmonisan di masyarakat. Tanpa toleransi, perbedaan dapat memicu konflik yang merusak persatuan. Menurut John Locke, filsuf politik Barat, toleransi adalah prasyarat utama untuk membangun masyarakat yang adil dan damai. Locke menegaskan bahwa pemerintah dan individu memiliki tanggung jawab untuk menghormati kebebasan beragama dan hak asasi manusia. Rasulullah mencontohkan toleransi dengan menjalin hubungan damai dengan komunitas Yahudi dan Nasrani di Madinah, yang dikenal dengan Piagam Madinah, sebuah perjanjian yang menjamin hak dan kewajiban setiap kelompok untuk hidup berdampingan.
Namun, tidak sedikit orang yang keliru dalam memahami konsep toleransi. Mereka menganggap toleransi sebagai penerimaan mutlak terhadap segala hal, termasuk yang bertentangan dengan nilai agama dan moral. Padahal, toleransi bukanlah relativisme, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Yusuf al-Qaradawi, yang menegaskan bahwa dalam toleransi, seseorang tetap memegang teguh keyakinannya tanpa memaksakan keyakinan tersebut kepada orang lain. Selain itu, toleransi juga bukan sinkretisme, seperti yang dikritik oleh Muhammad Abduh dan Karen Armstrong, yaitu mencampuradukkan ajaran agama demi mencapai kerukunan. Beberapa referensi pandangan tentang toleransi beragama:
- Dalam Konteks Agama Islam: Islam mengajarkan pentingnya toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan agama. Misalnya, dalam Al-Qur'an, Surah Al-Baqarah ayat 256: "Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat." Ayat ini menunjukkan bahwa setiap orang bebas memilih agamanya tanpa tekanan, yang merupakan prinsip dasar toleransi beragama.
- Dalam Konteks Agama Kristen: Ajaran Yesus dalam Injil Lukas 6:31 berkata: "Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Ini mendorong umat Kristiani untuk memperlakukan orang lain dengan hormat dan kasih, termasuk mereka yang berbeda agama.
- Pernyataan Universal tentang Toleransi: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, menyatakan dalam Pasal 18: "Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk mengubah agamanya atau kepercayaannya, dan kebebasan untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya secara ajaran, praktik, ibadah, dan observasi."
Kesimpulan
Artikel ini menyoroti pentingnya memahami dan mengimplementasikan toleransi beragama sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Toleransi, dalam konteks ini, bukanlah penerimaan mutlak terhadap semua ajaran atau kepercayaan, tetapi penghormatan terhadap hak setiap individu untuk menjalankan keyakinannya tanpa paksaan. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, serta diakui dalam undang-undang Indonesia, yang menjamin kebebasan beragama.
Sebagai bagian dari prinsip aqidah Islam, seorang Muslim tidak diperbolehkan melakukan atau mendukung tindakan yang bertentangan dengan keyakinannya, seperti mengucapkan selamat pada perayaan agama lain yang dianggap dapat memengaruhi keimanan. Pada saat yang sama, Islam mengajarkan untuk tidak mencampuri keyakinan atau praktik ibadah agama lain, melainkan menghormati keberadaan mereka.
Toleransi sejati menekankan saling menghormati dan hidup berdampingan dalam damai, tanpa mengorbankan prinsip dasar keimanan. Dengan memahami toleransi dalam kerangka ini, masyarakat dapat membangun hubungan yang harmonis tanpa kehilangan identitas religius masing-masing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI