Mohon tunggu...
Aziz Baskoro Abas
Aziz Baskoro Abas Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Nulis

Doyan Nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Diary Santri VII: Santri Junior Vs Santri Senior

22 Februari 2021   10:27 Diperbarui: 22 Februari 2021   11:16 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: getwallpapers.com

Aku menemukan tradisi yang sedikit aneh di pondokku. Di tiap salat lima waktu, kami; santri junior, kelas 1 SMP hingga kelas 2 SMA, harus berlari menuju masjid.

Oh, iya. Di pondokku, ada semacam sistem, bahwa santri senior; kelas 3 SMA, disumpah amanat untuk menjadi kepanjangan tangan dari penegakan disiplin pondok. Jika disederhanakan, semacam OSIS.

Para santri senior itu menduduki beragam divisi. Ada divisi Ibadah, Keamanan, Pengajaran, Kesehatan, Kesenian, Olahraga dan Pramuka. Begitu gambaran sekilasnya, ya.

Kembali ke ceritaku. Saat hari sedang menuju gelap, diiringi sayup-sayup suara shalawat dari masjid pondok, aku berangkat dari kamarku, hendak menunaikan salat magrib berjemaah di masjid.

Lalu, kulihat seorang santri senior telah berdiri tegap dari kejauhan, seperti jenderal yang mengawasi pasukan perang. Ia mulai mengangkat tangannya ke atas secara perlahan, lalu mengacungkan jari telunjuknya ke langit.

Seluruh santri yang melihatnya berlari terbirit-birit untuk menghindari hitungan kelima. Karena jika ibu jari sudah dilepas ke langit---tanda hitungan ke lima---maka santri yang belum memasuki area masjid dianggap terlambat, dan sudah pasti menerima hukuman.

Aku yang kebetulan sudah duduk di kelas 2 SMA, mencoba tetap berjalan santai. Karena aku sudah sangat jengah dengan tradisi ini. Coba kalian bayangkan, lima tahun aku menyantri, tiap salat 5 waktu, aku dipaksa berlari.

Pandangan santri senior itu semakin tajam menyasar kepadaku yang tidak mengindahkan perintahnya. Wajahnya tampak bengis. Dan aku sama sekali tidak gentar dengan tatapan yang menyeramkan itu.

Saat langkahku tepat di hadapannya, aku diberhentikan. "Stop!" perintahnya. "Ente kenapa tidak lari?"

"Kenapa ane harus lari, Ka?" Aku sedikit menantang. Memang itu tujuan utamaku.

Ia menarik nafas dalam-dalam. "Ini disiplin!" Ia berteriak.

"Disiplin macam apa?" Aku melawan. "Bahkan di dalam Alquran pun, tidak ada paksaan dalam beragama," jawabku. Kebetulan aku baru mengenal ayat itu tadi pagi setelah belajar tafsir.

Mendengar jawabanku, ia mendadak tersenyum. Wajah beringasnya tiba-tiba hilang dari hadapanku.

"Duduk dulu di situ, yuk." Dia mengajakku duduk di saung, di dekat ia berdiri mematung tadi.

Kami duduk bersebelahan. "Siapa nama Ente?" Ia bertanya.

"Fajrul, Ka."

"Ane tahu dalil itu, Jrul. Ada di surat Al-Baqarah ayat 256. Tidak ada paksaan dalam beragama, Ente betul. Tapi, ada konteks yang membingkai dalil itu, terlepas dari ragam tafsir yang ada. Intinya, ayat itu menerangkan tentang larangan seorang muslim memaksa non muslim untuk memeluk agama kita, untuk menganut ajaran kita." Ia menepuk pundakku. "Jadi, kurang tepat kalau Ente menggunakan dalil itu untuk tidak berlari." Ia menjelaskan kepadaku dengan sangat lembut.

"Tapi, pada akhirnya, Ane tetap salat berjemaah, Ka. Tidak mesti lari-lari seperti ini, kan juga bisa," sanggahku.

"Begini, Jrul." Ia kembali menepuk pundakku. "Pertama, ini merupakan unsur tarbiyah, bagian dari disiplin pondok. Membiasakan para santri agar salat tepat waktu. Kamu tahu keutamaan itu kan? salat di awal waktu?"

"Iya, Ka."

"Kedua, ini juga sebagai pembeda dengan sekolah-sekolah di luar. Kalau tidak ada disiplin seperti ini, lalu apa bedanya dengan sekolah di luar? Lagipula, Ane juga malas untuk cape-cape kaya begini. Mending Ane langsung ke masjid, tadarusan. Tapi, karena kewajiban dan pengabdian, Ane coba," paparnya.

Ia melanjutkan, "Ketiga, kamu tahu bunyi surat Ali Imran ayat 133?"

"Yang bunyinya, bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu?" tanyaku.

"Betul," tegasnya. "Sebetulnya, ini salah satu bentuk tarbiyah dari ayat itu. Kalau menuju ampunan Allah, hendaknya bersegera. Jadi, anggap saja lari itu bagian dari perjuangan kita, kesungguhan kita, untuk menuju ampunan Allah, dengan bingkai tarbiyah tadi."

"Allahu Akbar, Allahu Akbar." Gema azan magrib telah berkumandang.

"Makasihi, Ka," ucapku.

"Besok mah harus lari, Jrul. Kan, sebentar lagi Ente jadi senior. Gak lama kok." Ia tersenyum mengakhiri percakapan. Lalu ia mempersilahkan aku bergegas ke masjid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun