"Disiplin macam apa?" Aku melawan. "Bahkan di dalam Alquran pun, tidak ada paksaan dalam beragama," jawabku. Kebetulan aku baru mengenal ayat itu tadi pagi setelah belajar tafsir.
Mendengar jawabanku, ia mendadak tersenyum. Wajah beringasnya tiba-tiba hilang dari hadapanku.
"Duduk dulu di situ, yuk." Dia mengajakku duduk di saung, di dekat ia berdiri mematung tadi.
Kami duduk bersebelahan. "Siapa nama Ente?" Ia bertanya.
"Fajrul, Ka."
"Ane tahu dalil itu, Jrul. Ada di surat Al-Baqarah ayat 256. Tidak ada paksaan dalam beragama, Ente betul. Tapi, ada konteks yang membingkai dalil itu, terlepas dari ragam tafsir yang ada. Intinya, ayat itu menerangkan tentang larangan seorang muslim memaksa non muslim untuk memeluk agama kita, untuk menganut ajaran kita." Ia menepuk pundakku. "Jadi, kurang tepat kalau Ente menggunakan dalil itu untuk tidak berlari." Ia menjelaskan kepadaku dengan sangat lembut.
"Tapi, pada akhirnya, Ane tetap salat berjemaah, Ka. Tidak mesti lari-lari seperti ini, kan juga bisa," sanggahku.
"Begini, Jrul." Ia kembali menepuk pundakku. "Pertama, ini merupakan unsur tarbiyah, bagian dari disiplin pondok. Membiasakan para santri agar salat tepat waktu. Kamu tahu keutamaan itu kan? salat di awal waktu?"
"Iya, Ka."
"Kedua, ini juga sebagai pembeda dengan sekolah-sekolah di luar. Kalau tidak ada disiplin seperti ini, lalu apa bedanya dengan sekolah di luar? Lagipula, Ane juga malas untuk cape-cape kaya begini. Mending Ane langsung ke masjid, tadarusan. Tapi, karena kewajiban dan pengabdian, Ane coba," paparnya.
Ia melanjutkan, "Ketiga, kamu tahu bunyi surat Ali Imran ayat 133?"