Walaupun agama terdapat ruang privasi, namun dalam lain dimensi, dia juga berhak tampil di ruang diskusi. Saling tukar tambah literasi. Apa yang salah?
Aku mulai mencoba bersiasat agar mereka tak lagi tersengat bila obrolan sudah menjurus kepada sesuatu yang mereka anggap urusan privat (agama).
Perlahan aku mengerti, ini hanya soal diksi. Diksi agama seperti haram, mengaji, ta'lim, kajian, adalah diksi yang terus mereka sorot lantaran terkesan kolot.
***
Esok malam sewaktu aku mengaji (mengkaji kitab). Aku mencoba peruntungan, mengubah diksi agama menjadi diksi yang ramah di telinga, dengan maksud kedua sahabatku, Natasha dan Mia, akan melihatnya.
Ku-upload aktivitasku saat mengaji di instastory. Unggahan itu berisikan gambar kitab kuning, asbak rokok, rencengan kopi, serta salah satu temanku yang memakai celana denim sobek-sobek (profesinya Gojek. Kebetulan dia habis narik). Lalu kubalut unggahan itu dengan caption Kuliah Malam.
Aku melihat layar ponsel, terpampang notifikasi pesan dari Natasha. Ia berkomentar, "Kuliah apaan, Lo?"
"Matkul Fiqih," balasku.
Tak lama, ponselku kembali bergetar. Pesan dari Mia yang juga mengomentari unggahanku. "Kok ngaji ada asbak? Emang boleh ngerokok, ya?"
"Bukan ngaji. Kuliah," sanggahku.