Mohon tunggu...
Abdul Syakur Hilmy
Abdul Syakur Hilmy Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Hari Muda

Pelajar penikmat hari muda sebelum kadaluarsa masa mudanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

AIR DAN PELANGI UNTUK ROHMA

4 November 2020   14:40 Diperbarui: 4 November 2020   20:18 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kamu janji gak akan tinggalin aku, kan?"
"Iya, aku sudah janji."
"Tapi kenapa kamu harus pergi? KAMU SUDAH JANJI, KAN?"
"Maaf, Aku benar-benar minta maaf."
Perlahan Arga mulai lenyap.

"Kenapa? KENAPA? Kenapa harus kamu yang pergi Arga?"
Arga hanya terdiam dan tertunduk, air matanya tak tertahankan. Mengalir dengan derasnya, seolah tak siap menerima takdir.

"Yang harus kamu tahu, Rohma. Kamu akan tetap jadi Peri Kecil ku, percayalah."
"Enggak, gimana aku harus percaya kalau kamu ternyata harus.....Ga? Arga? ARGA!!"
Arga lenyap sebelum Rohma menyelesaikan kata-katanya, bagai butiran debu. Meninggalkan satu kisah pilu yang tak seharusnya ia rasakan. Sesuatu yang seharusnya ia bisa cegah. Sesuatu, yang bisa saja perpisahan itu bisa dihindari.

*****************

Dua hari lalu.

"Air keabadian?"
"Iya, Ga. Katanya kalau kita bisa dapetin air itu dan minum airnya, kita bisa abadi."
"Ah, gak percaya kaya begituan. Lagian kalau ada kenapa gak ada yang bisa ambil?"
"Ya karena kebanyakan orang ya kaya kamu begini, gak percaya."
"Nah orang aja berada dijalan yang benar, lah kamu..."

Dengan kesal, Rohma mencubit tangan Arga.
"Ih, Arga. Ini beneran tahu."
"Ok, terus kamu mau ngapain?"
"Temenin aku."

Sontak Arga yang sedang meminum jus jeruknya tersedak.
"Hah? Temenin? Enggak ah, nanti ada yang aneh-aneh lagi."
"Takut kamu?"
Rohma menatap Arga lamat-lamat seolah menantang teman kecilnya ini.

Arga dan Rohma merupakan teman sejak kecil dari usia mereka lima tahun hingga sekarang mereka memasuki dunia SMA. Banyak kesamaan dari mereka salah satunya adalah hobi mereka, berpetualang. Hanya saja, Arga takut pada sesuatu yang ghaib, tapi ia berpura-pura berani di hadapan Rohma. Sampai-sampai Rohma paham betul kebiasaan buruk Arga ini.

"Iya enggak lah. Ayo lah, jadwalkan."
"Besok? Gimana?"

Arga mulai ragu dengan permintaan teman kecilnya ini.
"Aduh jangan besok dong, lagi sibuk nih."
"Kenapa? Takut kamu?"

Arga justru menatap balik Rohma dengan lamat-lamat dan mencubit hidungnya yang sering menjadi sasaran Arga kalau kesal.
"Gini yah Peri Kecil, kamu tau kan kalau anak IPA tuh tugasnya banyak banget.
Ini aja belum selesai tugas proyek dari Pak Harja."

Dari pembicaraan mereka, salah satu teman mereka menyeletuk dengan kencangnya.
"WOY! Kalau pacaran jangan disini!"


Sontak teman-teman yang lain mengejek mereka dan itu membuat mereka tersipu malu. Rohma menutup wajahnya yang memerah dengan kerudungnya.
"Tuh, Ga. Gara-gara kamu sih."
"Kamu yang duluan. Ok, besok yah. Awas kalau ada apa-apa aku nggak tanggung jawab."
"Ok, siap!"

Mereka kembali menyantap makan siang masing-masing.

Pertemanan mereka bukanlah hal yang singkat, sepuluh tahun lebih. Sebuah pertemanan yang tak jarang timbul pertengkaran di dalamnya. Tapi, ada saja yang membuat mereka selalu bisa berdamai dengan kesalahan, seolah tak ada masalah di hari kemarin. Tapi siapa sangka, pertemanan sepuluh tahun lebih itu menutupi sesuatu, yang ada dalam hati.

Besok harinya, bertepatan dengan hari minggu mereka berangkat menuju tempat yang telah di tetapkan, Pegunungan Silaga. Berjarak dua puluh  kilometer dari rumah mereka mengakibatkan mereka harus menaiki sepeda motor. Dengan kabut yang cukup tebal tak menyurutkan penasaran seorang  Rohma untuk mencari tahu tentang air itu.
"Masih jauh kah?"
"Lumayan, Ga."
"Mampir dulu ke warung yah? Mulai dingin nih."
"Boleh, mau ngopi dulu?"
"Emang kamu ngopi?"
"Enggak."

Mereka mampir di sebuah warung yang tidak jauh dari tujuan mereka. Bangunan seperti gubuk lama, bangunannya tertutup terbuat dari bambu seluruhnya. Dengan satu pintu disebelah kiri dan ada bagian terbuka hanya untuk jendelanya saja. Di dalamnya terdapat meja panjang dan kursi panjang yang masing-masing satu buah, serta kopi-kopi sachet berbagai jenis yang tergantung. Beberapa bakwan hangat yang tersaji di piring dan beberapa cabai yang tersedia sebagai penambah rasa bakwan juga tersedia. Siapapun bisa mengambil dengan membayar diakhir. Saat masuk warung itu, tercium aroma bakwan yang masih digoreng dengan asap wajan yang masih mengepul tinggi. Khas sekali dengan wilayah pedesaaan.
"Silahkan, dek. Mau pesan apa?"
"Kopi satu sama teh satu, bu."
"Ok, ditunggu ya."

Sembari menunggu, Arga dan Rohma mengecek jarak tujuan mereka melalui GPS yang sejak tadi menyala.
"Deket sih, tinggal beberapa meter lagi."
"Terus motornya mau ditinggal disini, Ga?"
"Kamu capek nggak? Bentar doang nyampek udah."

Saat berdiskusi, ibu penjual itu memberikan pesanan mereka dan ternyata ibu itu mendengarkan pembicaraan mereka.
"Kalian mau kemana emangnya?"
"Eh, mau ke daerah Derama, bu."
"Oh, mau ngapain emangnya nak?"

Sontak mereka bingung, karena tidak mungkin menjelaskan tujuan aneh mereka. Sampai Arga membuat alasan buruk.
"Itu, bu. Ada janji sama teman."
"Di tempat kaya gini? Wah keren ya. Siapa namanya?"
"Eh?"
"Kebetulan ibu disini jadi ketua RT, mungkin ibu bisa bantu."

Mereka semakin bingung namun Rohma menjawab dengan baik.
"Bukan orang sini kok, bu. Kami mau ketemu kawan lama, cuma janjiannya di daerah sini."
"Oh, ibu kira warga sini."
"Hehe, nggak bu."
"Kalian bukan mau mencari air keajaiban kan?"

Sontak mereka langsung kaget dengan perkataan ibu itu, tapi mereka berpura-pura tidak tahu, "Air keajaiban? Apa itu, bu?" Tanya Arga. Ibu itu menjelaskan secara detail, "Banyak sekali yang datang ke Derama untuk mencari Air Keajaiban. Itu air dari legenda desa ini, siapapun yang bisa mengambil air itu, dia bisa abadi." Ujarnya. Mereka mengangguk seolah baru mengetahui info itu, "Tapi, tidak ada siapapun yang berhasil, karena mereka tidak bisa melewati tantangan dari air itu. Akibatnya, mereka hilang."

Arga yang mendengar itu menjadi was-was, tapi tidak untuk Rohma. Dia bersemangat sekali mencari air itu, "Emang tantangannya apa ya, bu?" Tanya Rohma. Ibu itu menggeleng, "Ibu juga gak tahu, tapi itu kata mereka yang datang berpasangan ke Derama lalu balik seorang diri, itu cerita mereka." Perjelas ibu itu. Arga benar-benar was-was bukan main tapi Rohma semakin semangat. Seusai menghabiskan kopi dan teh, mereka melanjutkan perjalanan yang Arga sendiri kurang yakin.
"Tenang aja, Ga. Gak usah khawatir."
"Ya gak khawatir gimana, serem gitu. Kalau ternyata kejadian gimana?"
"Tuh, kamu yang mikirnya aneh-aneh. Udah positif thingking aja."
"Terserah."
Rohma mengelus punggung Arga agar ia tenang. Tapi Arga sejak awal punya firasat yang kurang baik. Firasat yang mendatangkan bahaya bagi mereka.

Mereka memutuskan melanjutkan perjalanan mereka menaiki sepeda motor agar lebih cepat sampai. Hanya beberapa menit mereka sampai di sebuah rumah tua yang tidak berpenghuni. Cukup besar untuk sebuah rumah di daerah pedesaan. Dengan pagar besi dan taman yang cukup luas di bagian depan, "Ini tempatnya?" Tanya Arga. Rohma mengangguk mantap, "Iya ini rumahnya, pas kaya di internet." Jawab Rohma. Mereka terus berjalan memasuki rumah itu hingga memasuki area dalam rumah. Mereka menemukan lima botol kaca berisi air berbagai warna dan terdapat satu kertas petunjuk

"PELANGI PUNYA TEMPAT MENYENANGKAN DI HATI MANUSIA."

Itu adalah petunjuk yang mereka dapat. Tapi mereka tidak paham maksud dari teks tersebut.
"Apaan nih maksudnya?"
"Mungkin kita harus milih salah satu dari air itu."
"Jangan ngasal ah. Nanti ada yang aneh-aneh lagi."
"Ih, beneran. Tuh lihat jelas lagi nyata, Punya tempat tersendiri di hati manusia. Berarti kita harus milih satu, dan salah satunya warna yang berunsur dari pelangi. Disini cuma ada warna merah yang ada di pelangi. Bawa aja dah."
"Lah? Kok aku sih yang bawa?"
"Minta tolong..."
Rohma memasang wajah imutnya yang membuat Arga sedikit risih dan tidak tega.

Arga mengambil air itu dan melanjutkan perjalanan. Saat di tega perjalanan tiba-tiba saja rumah itu berguncang cukup keras dan membuat air merah yang dibawa Arga itu jatuh mengenai kaki Arga dan tanpa sadar itulah bencana sebenarnya, "Lari Rohma! Lari!" Perintah Arga. Mereka berlari keluar rumah tersebut secepat mungkin. Arga menutupi Rohma dengan tangannya agar tidak mengenai badannya dan saat itu tangannya mengenai balok yang jatuh dari atas rumah itu. Tangannya terluka namun mereka masih bisa berlari dan saat itu lah Arga menyadari ada yang salah dengan tubuhnya.
"Rohma. Mungkin kamu yang harus pergi."
"Enggak! Aku nggak mungkin pergi sendiri tanpa kamu, Ga. Tolong jangan aneh-aneh. Kita masih bisa lanjut."

Arga hanya menggeleng, sebagai isyarat bahwa itu tidak mungkin. Karena perlahan tubuhnya lenyap, entah kenapa tapi Arga punya firasat bahwa air merah itu adalah alasan penyebab ia seperti ini.
"Kita udah gak bisa, Rohma. Kita sudah salah pilih. Pas air merah itu kena kakiku, aku sadar pelangi memang punya tempat tersendiri di hati manusia. Tapi aku nggak, pelangi punya tempat buruk di hatiku. Pelangi muncul pas aku sadar kalau aku ada rasa sama kamu."

Mendadak Rohma terdiam, tak percaya apa yang dikatakan teman kecilnya itu, "Kamu nggak lagi bercanda kan, Ga?" Tanya Rohma dengan air matanya yang mengalir. Arga menggelengkan kepalanya, "Pas itu akusadar, aku telah menyalahi janji. Janji buat selalu jadi temanmu dan janji aku gak akan tinggalin kamu." Jawab Arga terisak. Tapi Rohma masih tidak terima dengan perbuatan Arga yang pergi 'tanpa' seizinnya.

"Tapi kamu sudah janji gak akan tinggalin aku."
"Iya, aku sudah janji."
"Tapi kenapa kamu harus pergi? KAMU SUDAH JANJI, KAN?"
"Maaf, Aku benar-benar minta maaf."
Perlahan Arga mulai lenyap.
"Kenapa? KENAPA? Kenapa kamu harus kamu yang pergi Arga?"
Arga hanya terdiam dan tertunduk, air matanya tak tertahankan. Mengalir dengan derasnya, seolah tak siap menerima takdir.
"Yang harus kamu tahu, Rohma. Kamu akan tetap jadi Peri Kecilku, percayalah."
"Enggak, gimana aku harus percaya kalau kamu ternyata harus.....Ga? Arga? ARGA!!"

*****************

Hari itu, Rohma harus ikhlas. Melepaskan teman kecilnya untuk selama-lamanya. Teman yang selalu sedia dan setia untuknya. Seorang teman yang siap mendengar curhatannya setiap kali ia ada masalah. Seorang teman, yang mencintainya dan ia juga mencintainya dan kini, kisah mereka hanya kenangan.


EPILOG
"Bagaimana, bu?"
"Kayanya kita ketambahan satu lagi, tadi ada dua orang kesini soalnya, kayanya cuma dapet satu. Bentar ya, saya bikin bakwan sama kopinya dulu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun