Mohon tunggu...
Abd Rasyid Tunny
Abd Rasyid Tunny Mohon Tunggu...

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muslim Indonesia,Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Membangun Kesehatan Reproduksi dan Mental Remaja Lewat Pendidikan

25 Juli 2016   03:29 Diperbarui: 25 Juli 2016   03:52 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: africanbusinessreview.co.za

Indonesia darurat kekerasan seksual adalah puncak dari berbagai persoalan kesehatan reproduksi dan mental remaja di negeri ini, tentunya kita sebagai anak bangsa terpukul dengan status tersebut. Berabagai kasus muncul mulai dari pencabulan sampai pemerkosaan berjamaah mewarnai pemberitaan media nasional hingga lokal.

Kita seakan-akan dibuat heran dengan kondisi tersebut, sebut saja pemerkosaan dialami oleh salah satu gadis berusia 18 tahun oleh 12 pemuda di tengah sawah. Ironisnya 12 pemuda ini adalah tetanga korban di salah satu desa di Jawa Tengah. Pemerkosaan yang dilakukan secara berjamaah ini mendapat kutukan dari seluruh komponen bangsa.

Namun kutukan saja tak cukup, jangankan kutukan ancaman hukuman yang dihadapi oleh 12 pemuda tersebut juga tak cukup menurut hemat penulis. Sebab kita sebagai Negara sudah saatnya mencari solusi cerdas guna mengatasi persoalan ini, bukan hanya mengobati dengan memberi hukuman.

Realita hari mengambarkan jika hukuman mati sekalipun sama sekali tak memberi efek jera, lihat saja bagaimana Presiden Jokowi Widodo tegas dalam hal narokotika dan obat-obat terlarang dengan cara tak memberi ampun kepada setiap aktor-aktor dibalik narkoba yang berunjung pada hukuman mati, namun apa yang didapatkan setelah itu. Apakah ada penurunan angka kasus narkoba? Jawabanya tentu tidak, lihat saja pemberitaan yang ada saat ini bahkan ada kepala daerah justru terlibat dalam persoalan tersebut.

Nah, disini penulis melihat jika hukuman saja tak cukup. Apalagi hanya sebatas kutukan yang bersifat abstrak, atau kecaman yang tak membawa efek kesadaran. Perlunya kita menyediakan payung sebelum datang hujan,walau  hujan sudah tiba dan mulai redah hingga ini saat ini merupakan saat yang tepat. Dalam arti, persoalan pemerkosaan yang melibatkan dan mengorbankan remaja Indonesia tentunya tak bisa kita biarkan dengan hanya sebatas  mengeluarkan stetmen keras berupa kutukan atau kecaman.

Perlunya sebuah solusi konkrit berupa upaya pencegahan melalui dimasukanya kesehatan reproduksi dan mental remaja dalam kurikulum pendidikan kita, tentunya ini tak mudah sebab menentukan sebuah kurikulum butuh ahli dan juga kajian yang mendalam.

Jika memang untuk memasukan hal ini kedalam sebuah mata pelajaran di bangku sekolah menengah atas (SMA) akan lebih baik, sebab usia yang ideal terkait persoalan diatas adalah usia-usia tersebut, usia dimana kita mulai mencari jati diri kita, dimana kita mulai mengenal yang namanya cinta, dimana rasa ingin tahu kita lebih tinggi hingga terkadang kita mesti menggunakan cara-cara yang salah untuk memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu tersebut.

Sekilas memang terlihat agak sulit, sebab akan menuai pertentangan dengan budaya kita yang dimana  pendidikan reproduksi sejak dini merupakan sesuatu yang tabu, hal ini penulis alami ketika berdiskusi dengan beberapa teman penulis dikampung halaman, dan apa tanggapan mereka kalau bukan pesimis denga usulan penulis untuk menggelar sebuah pencegahan dengan melakukan sosialiasi di sekolah.

Dalam istilah dikampung penulis adalah “Paksa Dewasa” yang merupakan istilah yang diguankan oleh warga Maluku khususnya diwilayah Leihitu mengenai hal-hal baru yang dianggap belum saatnya mereka tau seperti persoalan kesehatan reproduksi. Padahal kondisi saat ini memberikan sinyal bahwa kita tak bisa hanya mengandalkan hasil pengetahuan dasar mereka yang entah bersumber dari mana, jika mereka kurang terpapar informasi yang benar maka akan berakibat fatal.

Kemajuan teknologi saat ini mengakibatkan remaja Indonesia mudah mengakses hal-hal yang berbaur degan rasa ingin tahu mereka, namun jika informasi yang ia temukan adalah informasi yang bersifat postif, jika tidak maka hasilnya akan seperti kondisi saat ini.

Kemajuan teknologi telah membawa kita pergesaran nilai-nilai luhur. Olehnya itu, kita harus mendesain sebuah mata pelajaran kesehatan reproduksi dan mental remaja. Menurut hemat penulis mata pelajaran yang ada saat ini sama sekali tak menyetuh subtansi dari kesehatan reproduksi dan mental remaja jika ada itu hanya sekadar romantika yang sebatas singungan tak berfek.

Jika kita ingin membangun kesehatan reproduksi dan mental remaja kita tentunya penulis berharap kita mesti susupi persoalan tersebut melalui kurikulum kita saat ini. Apabila masih terlalu sulit juga maka tak ada alternatif lain lagi selain melalui pendidikan. Penulis beraharap ada mata pelajaran tersebut dengan metode yang ringan dan contoh kasus yang realitis menggambarakan dampak dari berbagai persoalan kesehatan reproduksi dan mental remaja. Namun apa bila masih dianggap ribet dan  menambah mata pelajaran yang sat ini sudah tersusun rapi dalam bentuk kurikulum yang sedang berjalan, maka perlunya disusupi pula mata pelajaran yang sudah saat ini ada dengan merefisi pokok bahasan yang ada di dalamnya.

Hal ini bisa diaplikasikan pada pendidikan agama, silabus dari mata pelajaran tersebut direfisi dengan memasukan pembahasan  kesehatan reproduksi dan mental remaja  menjadi satu pokok bahasan dalam beberapa kali tatap muka dengan siswa-siswi, tetunya didesain dengan misi agama yang secara lahiriah kita mengakui jika agama bisa mempengaruhi pola pikir serta tindakan pemeluknya, sehingga apa lagi yang harus kita dustakan dari peran agama dalam kehidupan kita.

Saat ini kita harus memilah mana yang menjadi persoalan kekinian dan harus dijawab oleh dunia pendidikan dengan sebuah pelajaran yang kekinian pula, artinya pendidkan agama harus mampu memberikan jawaban atas persoalan keagamaan kita hari ini. Nah, persoalan keagamaan kita hari ini bukanlah persoalan fundamental seperti perbedaan presepsi tenatang awal ramadhan dan jumlah rakaat shalat tarwih untuk yang beragama Islam. Persoalan keagamaan kita hari ini adalah persoalan yang ril terjadi di masyarakat seperti kesenjangan sosial sampai kekerasan seksual.

Disinilah kita melihat sampai dimana agama yang sudah diakui secara lahiriah mempunyai pengaruh terhadap pemeluknya. Penulis tegaskan kembali bahwa jika kita merasa ribet atau merombak kurikulum yang butuh proses panjang nan ribet ala Indonesia, maka mudah saja yaitu susupi mata pelajaran agama dengan menabah pokok pembahasanya terkait persoalan yang saat ini kita hadapi yaitu kesehatan reproduksi dan mental remaja, perlunya juga didesain berupa case study   yang kemudian dianalisa kaitanya dengan larangan-larangan dan anjuran atau perintah agama untuk menjawab case study tersebut.

Saat ini kita tak bisa lagi betitik tumpuk pada satu kaki saja, jika kita hanya mengandalkan keluarga di era modern seperti ini maka kita akan kebablasan. Sebab keluarga dulu dan keluarga sekarang berbeda paradigmanya, memang penting pula membangun kesadaran keluarga menganai peran keuarga terkait prsoalan kesehatan reproduksi dan mental remaja namun sekali lagi itu tak cukup dan kita hanya bertumpu pada satu kaki.

Nah kemudian, jika hal ini dapat direalisasikan maka terjawab sudah apa itu seks bebas, apa itu kekerasan seksual, apa hygen alat reproduksi, apa itu penyakit menular seksual dan yang takalah pentingnya lagi remaja kita bisa mengetahui  apa hubungan keseumua komponen yang disebutkan tadi dengan perintah dan larangan agama yang dianut oleh peserta didik.

Melalui pokok bahasan dalam silabus mata pelajaran pendidikan agama yang didalamnya sudah ada case study terkait kesehatan reproduksi dan mental remaja itu pula maka dengan otomatis pula peserta didik akan mendapatkan pekerjaan rumah dan nantinya akan dikerjakan dirumah dengan melibatkan orang tua atau kelaurga yang bisa memberikan pandangan mereka.

Kemudian secara pribadi peserta didik menyimpulkan bagaimana hasil berfikir dia dan berperasaan dia dengan dilandasi dengan nuraninya untuk menyikapi persoalan dalam case study tersebut. Nah terjawab sudah jika peran keluarga juga akan masif dengan adanya mata pelajaran atau pokok pembaasan tentang kesehatan reproduksi dan mental remaja yang saat ini banyak orang jadikan sebagai solusi cerdas yang penulis istilahkan sebagai solusi satu kaki.

Olehnya itu, jika kita hari ini berhadapan dengan berbagai persoalan kesehatan reproduksi dan mental remaja maka kita juga harus tunjukan jika kita juga mempunyai berbagai solusi cerdas bukan hanya hanya solusi satu kaki dengan mengandalkan keluarga sebagai titik tumpu tetapi dengan melibatkan dunia pendidikan yang dimana disanalah terbentuk  cara berpikir, cara bernalar dan bertindak mereka.

Sehingga apa yang kita cita-citakan yaitu membangun generasi emas Indonesia yang sehat, kuat, dan berkarakter bisa terwujud melalu dunia pendidikan tanpa mempungkuri peran keluarga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun