Indonesia darurat kekerasan seksual adalah puncak dari berbagai persoalan kesehatan reproduksi dan mental remaja di negeri ini, tentunya kita sebagai anak bangsa terpukul dengan status tersebut. Berabagai kasus muncul mulai dari pencabulan sampai pemerkosaan berjamaah mewarnai pemberitaan media nasional hingga lokal.
Kita seakan-akan dibuat heran dengan kondisi tersebut, sebut saja pemerkosaan dialami oleh salah satu gadis berusia 18 tahun oleh 12 pemuda di tengah sawah. Ironisnya 12 pemuda ini adalah tetanga korban di salah satu desa di Jawa Tengah. Pemerkosaan yang dilakukan secara berjamaah ini mendapat kutukan dari seluruh komponen bangsa.
Namun kutukan saja tak cukup, jangankan kutukan ancaman hukuman yang dihadapi oleh 12 pemuda tersebut juga tak cukup menurut hemat penulis. Sebab kita sebagai Negara sudah saatnya mencari solusi cerdas guna mengatasi persoalan ini, bukan hanya mengobati dengan memberi hukuman.
Realita hari mengambarkan jika hukuman mati sekalipun sama sekali tak memberi efek jera, lihat saja bagaimana Presiden Jokowi Widodo tegas dalam hal narokotika dan obat-obat terlarang dengan cara tak memberi ampun kepada setiap aktor-aktor dibalik narkoba yang berunjung pada hukuman mati, namun apa yang didapatkan setelah itu. Apakah ada penurunan angka kasus narkoba? Jawabanya tentu tidak, lihat saja pemberitaan yang ada saat ini bahkan ada kepala daerah justru terlibat dalam persoalan tersebut.
Nah, disini penulis melihat jika hukuman saja tak cukup. Apalagi hanya sebatas kutukan yang bersifat abstrak, atau kecaman yang tak membawa efek kesadaran. Perlunya kita menyediakan payung sebelum datang hujan,walau hujan sudah tiba dan mulai redah hingga ini saat ini merupakan saat yang tepat. Dalam arti, persoalan pemerkosaan yang melibatkan dan mengorbankan remaja Indonesia tentunya tak bisa kita biarkan dengan hanya sebatas mengeluarkan stetmen keras berupa kutukan atau kecaman.
Perlunya sebuah solusi konkrit berupa upaya pencegahan melalui dimasukanya kesehatan reproduksi dan mental remaja dalam kurikulum pendidikan kita, tentunya ini tak mudah sebab menentukan sebuah kurikulum butuh ahli dan juga kajian yang mendalam.
Jika memang untuk memasukan hal ini kedalam sebuah mata pelajaran di bangku sekolah menengah atas (SMA) akan lebih baik, sebab usia yang ideal terkait persoalan diatas adalah usia-usia tersebut, usia dimana kita mulai mencari jati diri kita, dimana kita mulai mengenal yang namanya cinta, dimana rasa ingin tahu kita lebih tinggi hingga terkadang kita mesti menggunakan cara-cara yang salah untuk memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu tersebut.
Sekilas memang terlihat agak sulit, sebab akan menuai pertentangan dengan budaya kita yang dimana pendidikan reproduksi sejak dini merupakan sesuatu yang tabu, hal ini penulis alami ketika berdiskusi dengan beberapa teman penulis dikampung halaman, dan apa tanggapan mereka kalau bukan pesimis denga usulan penulis untuk menggelar sebuah pencegahan dengan melakukan sosialiasi di sekolah.
Dalam istilah dikampung penulis adalah “Paksa Dewasa” yang merupakan istilah yang diguankan oleh warga Maluku khususnya diwilayah Leihitu mengenai hal-hal baru yang dianggap belum saatnya mereka tau seperti persoalan kesehatan reproduksi. Padahal kondisi saat ini memberikan sinyal bahwa kita tak bisa hanya mengandalkan hasil pengetahuan dasar mereka yang entah bersumber dari mana, jika mereka kurang terpapar informasi yang benar maka akan berakibat fatal.
Kemajuan teknologi saat ini mengakibatkan remaja Indonesia mudah mengakses hal-hal yang berbaur degan rasa ingin tahu mereka, namun jika informasi yang ia temukan adalah informasi yang bersifat postif, jika tidak maka hasilnya akan seperti kondisi saat ini.
Kemajuan teknologi telah membawa kita pergesaran nilai-nilai luhur. Olehnya itu, kita harus mendesain sebuah mata pelajaran kesehatan reproduksi dan mental remaja. Menurut hemat penulis mata pelajaran yang ada saat ini sama sekali tak menyetuh subtansi dari kesehatan reproduksi dan mental remaja jika ada itu hanya sekadar romantika yang sebatas singungan tak berfek.