Mohon tunggu...
Abdil Raulaelika Fauzan
Abdil Raulaelika Fauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester Tua - AP/FISIP/UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Senang mendengar dan menyimak analisis geostrategi, geoekonomi, geopolitik, kebijakan publik, narasi dan pemikiran tokoh, dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Major Strait dalam Analisis Geopolitik, Geostrategi, dan Geoekonomi di Indonesia

31 Agustus 2023   23:30 Diperbarui: 1 September 2023   00:05 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan Choke Point dan Major Strait di Indonesia dalam Analisis Geopolitik

Saat ini kekuatan-kekuatan besar dunia khusunya dalam bidang ekonomi bermunculan dari Benua Kuning (Asia) seperti China, India, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara lain termasuk Indonesia. Indonesia memang dalam pendapatan per kapita masih sedikit tetapi dilihat dari potensi merupakan yang terbesar yang ada di Asia Tenggara khususnya. Selain itu, kekuatan-kekuatan besar dari belahan dunia lain mulai memindahkan geopolitiknya terhadap kawasan Indo-Pasifik seperti Amerika Serikat pada tahun 2011 yang masih dipimpin oleh Barack Obama yang mengeluarkan kebijakan Pivot to the Pacific atau Rebalancing toward Asia sebagai respons terhadap kebangkitan ekonomi Tiongkok yang menjadi kekuatan besar di Kawasan Asia sehingga kebijakan ini membawa pengaruh terhadap kebijakan luar negeri Amerika sampai dengan rencana militernya di Kawasan Asia Pasifik (Yani & Montratama, 2018). 

Selain itu, ada kebijakan dari Tiongkok pada tahun 2013 yang merencanakan Jalur Sutra Maritim yaitu pembangunan sarana dan prasarana pelayaran dan transportasi laut dari negaranya yang melintasi Asia Tenggara sampai Afrika dan Eropa yang disebut sebagai One Belt One Road (OBOR) atau sekarang ini dikenal sebagai Belt Road Initiative (BRI) (Yani & Montratama, 2018b). Kekuatan-kekuatan besar tersebut memperebutkan haknya atas jalur perdagangan baik itu sumber daya alam dan komoditi lain untuk melintasi Samudera Hindia dan Pasifik. Negara-negara tersebut memiliki kekuatan dari sektor finansial, teknologi, dan militier sehingga pantas saja mereka mencoba untuk memiliki kebijakan luar negeri yang sedikit mengintervensi negara lain seperti Indonesia.

Selain itu, ada negara-negara lain yang mencoba untuk mempengaruhi geopolitik di kawasan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik seperti Australia, India, dan Jepang. Maka tidak heran jika investasi dari Jepang, Korea Selatan, dan China saat ini banyak ditempatkan di Kawasan Asia Tenggara khususnya di Indonesia. Negara-negara tersebut berusaha untuk mempengaruhi dan memperebutkan rute atau jalur pelayaran, akses kepada pasar, dan akses ke sumber daya yang ada di daerah Indo-Pasifik. 

Percaturan dunia tersebut seharusnya dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai pihak yang berada di tengah-tengah kawasan Indo Pasifik tersebut yang didukung juga oleh adanya choke point dan major strait di negaranya. Pemanfaatannya tersebut harus memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk juga masuk menjadi kekuatan yang tidak terduga karena memang negara-negara tersebut sangat bergantung kepada Indonesia untuk pendistribusian barang dan jasanya. 

Jika memungkinkan, Indonesia dapat melakukan banding atas keputusan UNCLOS yang telah ditetapkan bahwa kapal-kapal asing yang melewati ke choke point dan major strait harus memberikan keuntungan bagi Indonesia baik itu melalui CSR atau kerja sama lain. Selain itu, proses diplomasi Indonesia harus dikuatkan agar tidak terpengaruh intervensi asing yang melalui soft power nya seperti ekonomi dan teknologi untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia.

Pembangunan Choke Point dan Major Strait di Indonesia dalam Analisis Geoekonomi

Ide Poros Maritim Dunia menjadikan sebuah konsekuensi dari perlunya pembangunan di sektor kemaritiman dengan membuat jalur pelayaran yang menghubungkan baik itu menghubungkan antar pulau-pulau di Indonesia maupun bagi kapal-kapal asing yang melintas di sekitar perairan Indonesia. Pembangunan tersebut yaitu adanya tol laut yang digunakan sebagai akses antar pulau. Adanya visi PMD diharapkan akan adanya penambahan baik secara kualitas maupun kuantitas dari pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia karena tol laut akan menjadi penghubung untuk meningkatkan dan mengembangkan ekonomi sehingga kebutuhan logistik dan primer di berbagai tempat di Indonesia tidak terjadi ketimpangan (Sinaga, Mamahit, & Yusnaldi, 2020). Selain itu, pembangunan tol laut ini juga dapat dijadikan sebagai soft power bagi Indonesia sebagai daya dobraknya di dunia internasional. Jalur yang menghubungkan antar negara melalui selat-selat yang ada di sebuah negara merupakan alat politik dan ekonomi yang sangat strategis karena akan berpengaruh terhadap kehidupan negara secara keseluruhan seperti di Terusan Suez dan Terusan Panama. Selat-selat terutama choke point dan major strait yang ada di Indonesia menjadi jalur perdagangan dan pelayaran alami yang menghubungkan Asia sampai Eropa dan Amerika serta Afrika. Keberadaannya pun dapat dijadikan sebagai alat ekonomi jika Indonesia dapat berdiplomasi dengan sangat baik.

Misalnya dengan adanya kebijakan tol laut tersebut yang akan diberlakukan di Indonesia maka sudah seharusnya hal tersebut juga dibawa ke dunia internasional sebagai sikap geoekonomi Indonesia yang mempunyai choke point dan major strait di wilayahnya dan menjadi penting bagi dunia internasional juga untuk pemanfaatannya. Total dari satu selat saja yaitu Selat Malaka terdapat 221 kapal militer dan 37.334 kapal dagang yang berlayar selama tahun 2020. Selain itu, nilai dagang barang-barang yang melintasi selat-selat yang ada di Indonesia dapat mencapai USD 5,3 Miliar. Oleh karena itu, pemanfaatan tol laut disini dapat menjadi penunjang devisa negara untuk memungut pajak dari kapal-kapal asing. Tol laut disini tentunya dengan segala fasilitas yang ditawarkannya seperti asuransi keselamatan, kerja sama, dan berbagai fasilitas lain yang dapat disetujui. Memang kebijakan tersebut akan sedikit mengganggu terhadap stabilitas kawasan tetapi jika hal tersebut dapat didiplomasikan dengan baik maka bukan tidak mungkin Indonesia dapat meraih untung dari segi ekonomi dari keberadaan choke point dan major strait yang ada di wiliyahnya. Meskipun kebijakan tersebut juga melanggar ketentuan UNCLOS, tetapi kita sebagai bangsa yang berdaulat atas tanah dan lautnya perlu mempertimbangkan keputusan tersebut dengan sangat matang agar pemanfaatan selat-selat di Indonesia dapat dimaksimalkan untuk menambah nilai ekonomi dan harus memperjuangkan pemanfaatan tersebut di dunia Internasional dengan argumentasi-argumentasi yang logis dan representatif terhadap keadaan geoekonomi, geostrategi, dan geopolitik Indonesia. Misalnya dengan mendirikan sebuah lembaga atau badan yang mengurus tentang keberadaan pajak untuk kapal yang melintas di choke point dan major strait yang ada di Indonesia yang di lembaga tersebut merupakan hasil kerja sama antar negara yang memanfaatkan selat-selat yang ada di Indonesia sehingga keuntungan yang di dapat dari pajak tersebut dapat disetujui dengan berbagai kesepakatan dan tentunya kesepakatan tersebut harus lebih menguntungkan Indonesia sebagai pemiliki selat-selat tersebut. Sehingga pemanfaatan choke point dan major strait tersebut dapat menjadi pandangan geoekonomi kedepannya.

Kesimpulan

Dalam menghadapi keadaan dunia yang semakin kompleks tersebut maka dibutuhkan sisi fundamental yang kuat dalam menetapkan visi kenegaraan atau dalam hal ini kepentingan nasional agar arah pembangunan dan kebijakan tidak melenceng dari tujuan yang secara hakikatnya yaitu menyejahterakan rakyat. Keadaan geografis Indonesia sejak dahulu merupakan primadona bagi berbagai negara di dunia sehingga banyak yang berlomba untuk menguasainya. Selain itu dari aspek sejarah pun geografis Indonesia sudah menjadi geoekonomi, geopolitik, dan geostrategi bagi raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Oleh karena itu, nilai filosofis tersebut perlu dilanjutkan kembali agar Indonesia kembali berdaulat penuh atas wilayahnya terutama di lautan. Visi Poros Maritim Dunia mengisyaratkan mengenai pembangunan kelautan Indonesia kedepannya sebagai respon percaturan politik dan ekonomi di banyak negara yang memanfaatkan selat-selat di Indonesia sebagai jalur pelayaran distribusi barang dan jasanya. Maka visi tersebut secara geostrategi sudah memenuhi kriteria dimana pemanfaatan aspek geografis kelautan dan kemaritiman yang dimiliki Indonesia sudah dapat dituangkan ke dalam kebijakan dan arah pembangunan yang jelas untuk kesejahteraan rakyat. Dalam aspek geoekonomi dan geopolitik, maka visi tersebut sebenarnya sudah mencerminkan tetapi perlu diperkuat lagi dengan kesadaran bahwa akan adanya choke point dan major strait di Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Makassar, dan Selat Lombok dapat menjadi soft power dalam menekan negara lain untuk ikut terhadap kebijakan yang ada di Indonesia. Maka kedepannya kemampuan diplomasi kemaritiman dan budaya maritim perlu ditingkatkan kembali agar adanya selat-selat utama tersebut dapat menujang politik luar negeri Indonesia dan perekonomian secara lebih baik lagi. Pembangunan satelit, tol laut, budaya maritim, pertahanan laut, dan aspek geostrategi lainnya perlu dimaksimalkan dalam pembangunan Indonesia menuju Poros Maritim Dunia sehingga selat-selat utama yang ada di Indonesia pun potensinya dapat dimanfaatkan dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun