Mohon tunggu...
Abdil Raulaelika Fauzan
Abdil Raulaelika Fauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester Tua - AP/FISIP/UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Senang mendengar dan menyimak analisis geostrategi, geoekonomi, geopolitik, kebijakan publik, narasi dan pemikiran tokoh, dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Major Strait dalam Analisis Geopolitik, Geostrategi, dan Geoekonomi di Indonesia

31 Agustus 2023   23:30 Diperbarui: 1 September 2023   00:05 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Choke Point dan Major Strait

Choke point atau titik sempit merupakan yang menjadi penghubung antara satu tempat ke tempat lain. Dalam dunia militer, Choke point atau titik sempit ini merupakan suatu istilah yang menunjukkan sebuah keadaan geografis di daratan seperti lembah, jembatan atau di lautan seperti selat yang harus dilalui agar mengefiesienkan kemampuan yang dikeluarkan untuk bertempur. Secara umum dalam ilmu geografi transportasi, Choke point atau titik sempit yaitu menunjukkan suatu wilayah yang menjadi pembatas kapasitas sirkulasi serta tidak mudah untuk dilewati karena rentan terhadap pemblokiran lalu lintasnya sehingga selain dari jalur Choke point atau titik sempit tersebut akan berimplikasi terhadap jarak dan waktu yang semakin besar dan juga biaya yang dikeluarkan. Total ada 9 Choke point atau titik sempit yang ada di dunia dan empat diantaranya berada di Indonesia yang digunakan sebagai jalur pelayaran internasional yaitu Selat Sunda, Selat Makassar, Selat Malaka, dan Selat Lombok (Hadyanti & Rudiawan, 2022). 

Selain dijuluki sebagai Choke point atau titik sempit, selat-selat tersebut disebut juga sebagai major srait atau selat utama dimana banyak kapal-kapal dari berbagai belahan dunia memanfaatkan jalur tersebut untuk membawa barang-barangnya termasuk juga kapal-kapal tanker dan mother vessel dan kapal-kapal industri lainnya. Dengan perkembangan perindustrian yang semakin pesat, maka banyak negara-negara di berbagai benua di dunia yang menjadi negara produsen. Hal tersebut dapat dilihat dimana negara-negara seperti China, Taiwan, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Australia menjadi primadona bisnis sekarang ini bukan hanya terfokus di benua Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, dalam pendistribusian barang dari negara produsen tersebut maka biaya yang paling efisien yaitu melalui pelayaran laut yang mayoritas pelayarannya banyak melalui selat-selat yang ada di Indonesia. Contohnya jika China akan mengekspor barang ke daerah Eropa, Amerika, dan Afrika maka kapal-kapal mereka akan melalui Selat Malaka yang berada di dekat Pulau Sumatera sebagai jalur pelayarannya karena akan mengefisienkan jarak, waktu, dan biaya.

Pilar Poros Maritim Dunia

Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi negara maritim karena dukungan geografisnya sehingga dapat menunjang aspek-aspek lain seperti ekonomi dan politik bagi kemakmuran rakyatnya (al Syahrin, 2018). 

Dalam aspek sumber daya alam, Indonesia sudah menjadi primadona bagi negara-negara di dunia sejak dahulu untuk berambisi menguasai Indonesia karena memang terdapat kekayaan alam yang sangat banyak dan beragam. Sumber daya alam tersebut juga tidak hanya tersedia didaratannya tetapi yang belum banyak terjamah hingga sekarang ini yaitu mineral kelautan dan banyak bidang lagi dari sisi kelautan yang dapat menjadi aspek penunjang dalam memperoleh devisa negara seperti kawasan bioteknologi, pariwisata, industri pelayaran, dan industri maritim lainnya seperti budidaya ikan dan ekspor ikan. 

Dari aspek geografis memang posisi Indonesia sangat strategis saat ini dengan adanya negara-negara produsen yang ada di sekitarnya yang memanfaatkan jalur pelayaran sebagai distribusi barang-barangnya. Letak Indonesia berada di daerah ekuator yang menghubungkan ekonomi negara-negara maju antara Asia dan Australia dan letak Indonesia pun dihimpit oleh dua Samudera yaitu Samudera Pasifik dan Hindia yang merupakan penghubung antara negara-negara di Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan (al Syahrin, 2018). 

Selain itu, negara produsen yang kuat di sebelah utara Indonesia yang berkembang pesat sekarang ini membuka peluang juga bagi Indonesia sebagai kontrol kawasan strategis yang ada di wilayahnya. Maka dapat dikatakan bahwa lahirnya gagasan Poros Maritim Dunia (PMD) merupakan suatu kesadaran akan bangsa Indonesia dalam melihat bangsanya sendiri yang memiliki potensi dari aspek keadaan dan juga letak geografisnya yang 2/3 (dua per tiga)nya merupakan kelautan (Mawaddah, 2022). Selain itu, visi PMD ini menjadi sebuah inovasi dan memegang peran penting bagi Indonesia sebagai penjaga stabilitas kawasan di Samudera Hindia dan Pasifik agar tetap damai dan aman sehingga konflik-konflik kemaritiman yang ada di wilayah tersebut tidak terjadi (Mawaddah, 2022).

Setelah sebelumnya ada Presiden Soekarno yang menggelorakan visi Poros Maritim Dunia di Indonesia yang pada intinya kita jangan lagi memunggungi lautan tetapi harus berhadap kepada laut dalam proses pembangunannya, maka kali ini Presiden ketujuh Indonesia yaitu Joko Widodo yang pada 13 November 2014 di Forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Naypyidaw (Myanmar) membangkitkan kembali visi kelautan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) atau Global Maritime Nexus (GMN) (Yani & Montratama, 2018a). Menurut Presiden Joko Widodo, ada lima pilar dalam membangun PMD di Indonesia yaitu terdiri atas : 1). Budaya Maritim : pembangungan kembali semangat dan budaya kemaritiman dengan redifinsi identitas nasional sebagai negara maritim; 2). Ekonomi Maritim : pembangunan ekonomi berbasis kelautan (blue economy) yang dikelola dan dilestarikan secara berkelanjutan; 3). Konektivitas Maritim : pembangunan akses jalur laut dengan adanya infrastruktur tol laut guna menghubungkan antar pulau dan pariwisata laut; 4). Diplomasi Maritim : Pembangunan kerja sama antar negara (bilateral atau multilateral) dalam mengelola kemaritiman yang ada di Indonesia agar dapat dimanfaatkan dan menguntungkan secara bersama serta pembangunan maritim Indonesia sebagai soft power dalam kegiatan diplomasi; dan 5). Keamanan Maritim : pembangunan instrumen pertahanan negara di bidang kemaritiman guna menjadi hard power dalam usaha pengamanan wilayah (Yani & Montratama, 2018a). 

Pembangunan pilar-pilar PMD tersebut memiliki makna pembangunan Indonesia yang mengarah kepada kesejahteraan rakyat Indonesia melalui peran dan pengaruhnya dalam taraf internasional serta pembangunan kekuatan hard power yang terdiri dari Tri Matra untuk menjadi landasan dalam menjaga nation interest dan menegakkan identitas nasional sebagai negara maritim (Mustari, Supartono, & Barnas, 2018). Sehingga Indonesia diharapkan akan menjadi global player kembali seperti pada awal pembentukannya.

Pembangunan Choke Point dan Major Strait di Indonesia dalam Analisis Geostrategi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun