Mohon tunggu...
Abdillah Imron Nasution
Abdillah Imron Nasution Mohon Tunggu... Dosen -

Berdomisili dan bekerja di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Money

Literasi Permasalahan Pertambangan di Aceh

2 Desember 2014   05:43 Diperbarui: 14 Agustus 2015   22:31 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengkaji satu contoh kasus yang pernah terjadi di daerah lain dalam hal alih fungsi lahan masyarakat yang dijadikan bahan tambang untuk dibeli oleh investor dengan patokan harga adalah meter per segi. Harga ini  disesuaikan dengan kebiasaan jual beli lahan pertanian, pembuatan jalan dan perumahan. Sungguh menjadi keadaan yang miris, saat masyarakat harus bertikai dengan pemerintah dan investor hanya karena mereka semakin cerdas dengan tidak menjual lahan mereka yang akan dijadikan bahan tambang dengan harga jual menurut ukuran volume bukan menurut ukuran luas.

Perbedaan ini sangat mencolok. Andaikan masyarakat menjual lahan dengan patokan meter per segi dengan harga 10 ribu maka lahan seluas 1000 meter persegi akan senilai 10 juta. Sebaliknya bila lahan seluas ini digali sedalam 60 meter, maka jumlah bahan galian yang dihasilkan ialah 60 ribu kubik. Jika kita misalkan bahan tambang tersebut adalah limestone, dalam satu truk yang berkapasitas 3 kubik, maka bahan tambang sebanyak 60 ribu kubik ini dapat dimuat dalam 20 ribu truk. Hasil penjualan sebanyak 20 ribu truk ialah 1 milyar. Suatu perbedaan yang luar biasa besarnya dimana masyarakat yang menjual lahan seharga 10 juta tetapi nilai lahan tersebut bila ditambang sebenarnya bernilai 1 milyar. Itu belum termasuk kajian alih fungsi lahan, perubahan mata pencaharian, dan lain sebagainya.

Hal ini sebenarnya dapat diminimalisir dengan melakukan penataan ruang yang dilakukan secara sistemik dengan pemanfaatan ruang yang mengedepankan penanganan secara lintas sektoral dan lintas wilayah dengan pelibatan peran serta masyarakat mulai dari perencanaan hingga pengendalian ruang yang ada.

Pada tahap perencanaan, masyarakat adalah pihak paling mengetahui apa yang mereka butuhkan, dengan demikian masyarakat berperan dalam mengarahkan produk tata ruang yang optimal dan proporsional untuk berbagai kegiatan, sehingga terhindar dari spekulasi dan distribusi alokasi ruang yang berlebihan untuk kegiatan tertentu. Ini akan berdampak posisitif pada tahap pemanfaatan dan pengendalian. Pada tahap pemanfaatan masyarakat akan menjaga pendayagunaan ruang yang sesuai dengan peruntukan dan alokasinya menurut waktu yang direncanakan sehingga terhindar dari konflik pemanfaatan ruang. Selanjutnya pada tahap pengendalian, masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab dalam menjaga kualitas ruang yang berguna untuk kelanjutan pembangunan di daerahnya.

Sosialisasi juga dibutuhkan. Rencana tata ruang sebelum ditetapkan juga perlu dipublikasikan terlebih dahulu untuk diminta tanggapan ataupun saran. Waktu publikasi yang disediakan untuk masyarakat di Negara Malaysia adalah selama 30 hari, Singapura 14 hari, dan Australia 30 hari. Media pengumuman dan publikasi rencana ini dilakukan secara taat dengan menggunakan media televisi, radio, brosur, dan press release di surat kabar. Dengan alasan bahwa penataan ruang sudah merupakan perhatian berbagai pihak yang terkait, negara-negara tersebut juga membuka peran serta pemerhati dampak dengan melibatkan unsur-unsur individu, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai fasilitator untuk melakukan pelayanan yang prima. Dengan demikian akan tercipta pengelolaan ruang atas prinsip keseimbangan peran pemerintah dengan masyarakat yang merupakan ciri good governance.

Setelah penanganan konflik atau benturan kepentingan pemanfaatan kawasan pertambangan dapat dicegah dengan AMDAL dan tata ruang yang partisipatif, setiap usaha eksploitatif kawasan untuk pertambangan tinggal menyisakan satu permasalahan, yaitu masalah moral. integritas moral yang terakumulasi di dalam Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan merupakan faktor yang sangat sulit diimplementasikan. Baik pembuat rencana, instansi yang menangani, ahli kajian AMDAL, dan masyarakat yang berkepentingan diharapkan jangan lebih melihat segi ekonomi atau retribusi untuk peningkatan pendapatan asli daerah saja.

Selama semua pihak masih memandang pertambangan dari segi ekonomi dan sektoral saja, maka laju pengrusakan kawasan tidak akan terkendali. Sangat tidak diinginkan jika pemerintah daerah yang dipilih oleh masyarakatnya lebih mendambakan penghasilan jangka pendek, dan berhasil diiming-imingi retribusi besar tanpa sedikitpun menyadari bahwa pertambangan mempunyai jangka waktu eksploitasi. Setelah bahan tambangnya habis, pemerintah daerah hanya mewarisi lingkungan alam yang gersang, tercemar, minim air, masyarakat tanpa pekerjaan dan juga penyakitan.

Faktor ini dapat dikontrol dan ditegakkan secara efektif melalui tiga hal, yakni pertama peningkatan sumber daya manusianya, kedua tersedianya panduan dokumen AMDAL dan tata ruang yang efektif secara partisipatif, dan ketiga akuntabilitas proses penilaian AMDAL. Tiga faktor ini merupakan faktor yang dapat terus difasilitasi oleh pemerintah agar dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan tujuan kita dapat memenuhi kebutuhan kita saat ini tanpa mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan generasi kita yang akan datang. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun