Mohon tunggu...
Abdillah Imron Nasution
Abdillah Imron Nasution Mohon Tunggu... Dosen -

Berdomisili dan bekerja di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Money

Literasi Permasalahan Pertambangan di Aceh

2 Desember 2014   05:43 Diperbarui: 14 Agustus 2015   22:31 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Aceh secara umum adalah sangat kaya dengan bahan-bahan tambang dan mineral berharga yang sampai saat ini masih belum banyak dieksplorasi secara serius baik dari sisi manajerial maupun dari sisi teknologinya. Deposit mineral dalam perut bumi di Aceh sudah terbentuk secara geologi dalam masa yang sangat panjang dan proses tersebut membentuk suatu mineral dalam berbagai bentuk dan jenis di daerah Aceh. Ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan di Aceh, meski demikian, potensi ini dapat menimbulkan masalah yang dapat mengancam pembangunan itu sendiri.

Menurut data yang ada, terdapat 120 total izin usaha tambang yang beroperasi di Aceh,  lalu, dari total tersebut, 102 diantaranya mendapat izin ekplorasi dan 18 izin operasi produksi. Dalam daftar tersebut 77 diantaranya mendapat rekomendasi gubernur yang 6 diantaranya dikeluarkan pada masa gubernur Aceh pada kurun waktu 2002-2006. Sedangkan ijin tambang yang dikeluarkan dengan SK Bupati ada 42 izin tambang. Perusahaan-perusahaan itu beroperasi di Kabupaten Pidie (6 perusahaan), Aceh Timur (4 perusahaan), Aceh Tengah (9 perusahaan), Gayo Lues (5 perusahaan), Aceh Jaya (1 perusahaan), Aceh Barat (3 perusahaan), Nagan Raya (4 perusahaan), Aceh Barat Daya (6 perusahaan) dan Aceh Selatan (4 perusahaan). Selain itu, masih ada satu yang beroperasi dengan izin menteri di Subulussalam.

Pelaksanaan pertambangan sebenarnya dapat menimbulkan dampak yang mengandung risiko perubahan, baik itu perubahan sosial maupun perubahan lingkungan Perubahan tersebut intinya dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi dasar yang berlaku di masyarakat selama puluhan hingga ratusan tahun yang telah lalu. Hal semacam ini akan menjadi buah simalakama, karena pada akhirnya masyarakat dan pemerintahlah yang harus menanggung beban pemulihannya.

Dalam penentuan kebijakan alih fungsi dan eksploitasi suatu kawasan untuk dijadikan pertambangan, pengkajian yang banyak dijadikan rujukan utama adalah variabel manfaat langsung (direct benefit) tanpa mempertimbangkan variabel dampak yang terjadi pada jangka panjang. Dampak yang terjadi dikemudian hari seperti bencana kegagalan teknologi, banjir, longsor pada musim penghujan, kekeringan pada musim kemarau dan konflik masyarakat dengan perusahaan sering tidak diperhitungkan atau dikaji secara matang. Padahal, berbagai dampak tersebut dapat memberi social cost yang lebih besar daripada manfaat langsung yang sering dikaji secara jangka pendek tersebut. Dalam kajian ekonomi manapun, kebijakan publik yang menciptakan biaya sosial yang lebih besar sama sekali tidak ekonomis dan menyimpang dari kaidah pembangunan.

Pada dasarnya dalam setiap pemanfaatan sumber daya alam untuk pertambangan harus memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hal ini memberi pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara terencana sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup. Dengan demikian pemanfaatan wilayah untuk tambang harus memperhatikan manusia sebagai titik sentral yang berjangka panjang serta berwawasan trans generasi.

World Commision on Environment and Development (WCED) dalam laporan yang berjudul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) memaparkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kita saat ini tanpa mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan oleh generasi yang akan datang. Ada empat pilar penting yang digunakan sebagai tolok ukur pembangunan berkelanjutan, keempat pilar tersebut adalah: Pro-lingkungan hidup (environmental friendly), Pro-rakyat miskin (poverty alleviation), Pro-kesenjangan (gender oriented), dan Pro-lapangan kerja (job creation). Keempat pilar ini hanya dapat terlaksana bila ada partisipasi masyarakat. Dalam prakteknya harus ada kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat untuk mengimplementasikan pembangunan, kebijaksanaan atau peraturan tertentu secara berkeadilan. Jadi, dalam hubungannya dengan pemanfaatan kawasan untuk pertambangan, masyarakat bukan lagi menjadi obyek pertambangan, tetapi merupakan pelaku aktif (subyek) yang wajib diikutsertakan dan dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga pengendalian agar memiliki secara penuh suatu kebijakan pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Dokumen resmi aktualisasi pelibatan masyarakat yang terkena dampak ini seharusnya terwakili di dalam kajian mengenai dampak penting suatu kegiatan pertambangan terhadap berbagai aspek diantaranya aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat Kajian ini dikenal sebagai Analisis Dampak Mengenai Lingkungan atau disingkat dengan AMDAL.

AMDAL diperkenalkan pertama kali tahun 1969 oleh National Environmental Policy Act di Amerika Serikat. Menurut UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27/1999 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan instrumen pengendalian dampak lingkungan yang tergolong tertua di Indonesia. Namun setelah lebih 15 tahun AMDAL berjalan di Indonesia (terhitung sejak pertama kali ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang AMDAL, melalui PP Nomor 29 Tahun 1986), banyak pihak merasa bahwa AMDAL belum menjadi instrumen yang efektif untuk pengendalian (terutama pencegahan) dampak lingkungan. Bahkan AMDAL banyak dipandang sebagai cost center ketimbang sebagai kontributor cost saving.

Kualitas AMDAL, sangat ditentukan oleh pemeran sistem AMDAL itu sendiri, yaitu: Komisi Penilai, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan. Komisi Penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.

Di negara maju, pemanfaatan AMDAL untuk pertambangan dalam bingkai pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sudah terpola dengan baik dan jelas. Perwujudan dari pemikiran itu diimplementasikan ke dalam tata ruang kawasan yang dibangun berdasarkan pendekatan yang partisipatif.

Mengkaji satu contoh kasus yang pernah terjadi di daerah lain dalam hal alih fungsi lahan masyarakat yang dijadikan bahan tambang untuk dibeli oleh investor dengan patokan harga adalah meter per segi. Harga ini  disesuaikan dengan kebiasaan jual beli lahan pertanian, pembuatan jalan dan perumahan. Sungguh menjadi keadaan yang miris, saat masyarakat harus bertikai dengan pemerintah dan investor hanya karena mereka semakin cerdas dengan tidak menjual lahan mereka yang akan dijadikan bahan tambang dengan harga jual menurut ukuran volume bukan menurut ukuran luas.

Perbedaan ini sangat mencolok. Andaikan masyarakat menjual lahan dengan patokan meter per segi dengan harga 10 ribu maka lahan seluas 1000 meter persegi akan senilai 10 juta. Sebaliknya bila lahan seluas ini digali sedalam 60 meter, maka jumlah bahan galian yang dihasilkan ialah 60 ribu kubik. Jika kita misalkan bahan tambang tersebut adalah limestone, dalam satu truk yang berkapasitas 3 kubik, maka bahan tambang sebanyak 60 ribu kubik ini dapat dimuat dalam 20 ribu truk. Hasil penjualan sebanyak 20 ribu truk ialah 1 milyar. Suatu perbedaan yang luar biasa besarnya dimana masyarakat yang menjual lahan seharga 10 juta tetapi nilai lahan tersebut bila ditambang sebenarnya bernilai 1 milyar. Itu belum termasuk kajian alih fungsi lahan, perubahan mata pencaharian, dan lain sebagainya.

Hal ini sebenarnya dapat diminimalisir dengan melakukan penataan ruang yang dilakukan secara sistemik dengan pemanfaatan ruang yang mengedepankan penanganan secara lintas sektoral dan lintas wilayah dengan pelibatan peran serta masyarakat mulai dari perencanaan hingga pengendalian ruang yang ada.

Pada tahap perencanaan, masyarakat adalah pihak paling mengetahui apa yang mereka butuhkan, dengan demikian masyarakat berperan dalam mengarahkan produk tata ruang yang optimal dan proporsional untuk berbagai kegiatan, sehingga terhindar dari spekulasi dan distribusi alokasi ruang yang berlebihan untuk kegiatan tertentu. Ini akan berdampak posisitif pada tahap pemanfaatan dan pengendalian. Pada tahap pemanfaatan masyarakat akan menjaga pendayagunaan ruang yang sesuai dengan peruntukan dan alokasinya menurut waktu yang direncanakan sehingga terhindar dari konflik pemanfaatan ruang. Selanjutnya pada tahap pengendalian, masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab dalam menjaga kualitas ruang yang berguna untuk kelanjutan pembangunan di daerahnya.

Sosialisasi juga dibutuhkan. Rencana tata ruang sebelum ditetapkan juga perlu dipublikasikan terlebih dahulu untuk diminta tanggapan ataupun saran. Waktu publikasi yang disediakan untuk masyarakat di Negara Malaysia adalah selama 30 hari, Singapura 14 hari, dan Australia 30 hari. Media pengumuman dan publikasi rencana ini dilakukan secara taat dengan menggunakan media televisi, radio, brosur, dan press release di surat kabar. Dengan alasan bahwa penataan ruang sudah merupakan perhatian berbagai pihak yang terkait, negara-negara tersebut juga membuka peran serta pemerhati dampak dengan melibatkan unsur-unsur individu, organisasi swadaya masyarakat dan dunia usaha. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai fasilitator untuk melakukan pelayanan yang prima. Dengan demikian akan tercipta pengelolaan ruang atas prinsip keseimbangan peran pemerintah dengan masyarakat yang merupakan ciri good governance.

Setelah penanganan konflik atau benturan kepentingan pemanfaatan kawasan pertambangan dapat dicegah dengan AMDAL dan tata ruang yang partisipatif, setiap usaha eksploitatif kawasan untuk pertambangan tinggal menyisakan satu permasalahan, yaitu masalah moral. integritas moral yang terakumulasi di dalam Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan merupakan faktor yang sangat sulit diimplementasikan. Baik pembuat rencana, instansi yang menangani, ahli kajian AMDAL, dan masyarakat yang berkepentingan diharapkan jangan lebih melihat segi ekonomi atau retribusi untuk peningkatan pendapatan asli daerah saja.

Selama semua pihak masih memandang pertambangan dari segi ekonomi dan sektoral saja, maka laju pengrusakan kawasan tidak akan terkendali. Sangat tidak diinginkan jika pemerintah daerah yang dipilih oleh masyarakatnya lebih mendambakan penghasilan jangka pendek, dan berhasil diiming-imingi retribusi besar tanpa sedikitpun menyadari bahwa pertambangan mempunyai jangka waktu eksploitasi. Setelah bahan tambangnya habis, pemerintah daerah hanya mewarisi lingkungan alam yang gersang, tercemar, minim air, masyarakat tanpa pekerjaan dan juga penyakitan.

Faktor ini dapat dikontrol dan ditegakkan secara efektif melalui tiga hal, yakni pertama peningkatan sumber daya manusianya, kedua tersedianya panduan dokumen AMDAL dan tata ruang yang efektif secara partisipatif, dan ketiga akuntabilitas proses penilaian AMDAL. Tiga faktor ini merupakan faktor yang dapat terus difasilitasi oleh pemerintah agar dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan tujuan kita dapat memenuhi kebutuhan kita saat ini tanpa mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan generasi kita yang akan datang. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun