Aceh secara umum adalah sangat kaya dengan bahan-bahan tambang dan mineral berharga yang sampai saat ini masih belum banyak dieksplorasi secara serius baik dari sisi manajerial maupun dari sisi teknologinya. Deposit mineral dalam perut bumi di Aceh sudah terbentuk secara geologi dalam masa yang sangat panjang dan proses tersebut membentuk suatu mineral dalam berbagai bentuk dan jenis di daerah Aceh. Ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan di Aceh, meski demikian, potensi ini dapat menimbulkan masalah yang dapat mengancam pembangunan itu sendiri.
Menurut data yang ada, terdapat 120 total izin usaha tambang yang beroperasi di Aceh, Â lalu, dari total tersebut, 102 diantaranya mendapat izin ekplorasi dan 18 izin operasi produksi. Dalam daftar tersebut 77 diantaranya mendapat rekomendasi gubernur yang 6 diantaranya dikeluarkan pada masa gubernur Aceh pada kurun waktu 2002-2006. Sedangkan ijin tambang yang dikeluarkan dengan SK Bupati ada 42 izin tambang. Perusahaan-perusahaan itu beroperasi di Kabupaten Pidie (6 perusahaan), Aceh Timur (4 perusahaan), Aceh Tengah (9 perusahaan), Gayo Lues (5 perusahaan), Aceh Jaya (1 perusahaan), Aceh Barat (3 perusahaan), Nagan Raya (4 perusahaan), Aceh Barat Daya (6 perusahaan) dan Aceh Selatan (4 perusahaan). Selain itu, masih ada satu yang beroperasi dengan izin menteri di Subulussalam.
Pelaksanaan pertambangan sebenarnya dapat menimbulkan dampak yang mengandung risiko perubahan, baik itu perubahan sosial maupun perubahan lingkungan Perubahan tersebut intinya dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi dasar yang berlaku di masyarakat selama puluhan hingga ratusan tahun yang telah lalu. Hal semacam ini akan menjadi buah simalakama, karena pada akhirnya masyarakat dan pemerintahlah yang harus menanggung beban pemulihannya.
Dalam penentuan kebijakan alih fungsi dan eksploitasi suatu kawasan untuk dijadikan pertambangan, pengkajian yang banyak dijadikan rujukan utama adalah variabel manfaat langsung (direct benefit) tanpa mempertimbangkan variabel dampak yang terjadi pada jangka panjang. Dampak yang terjadi dikemudian hari seperti bencana kegagalan teknologi, banjir, longsor pada musim penghujan, kekeringan pada musim kemarau dan konflik masyarakat dengan perusahaan sering tidak diperhitungkan atau dikaji secara matang. Padahal, berbagai dampak tersebut dapat memberi social cost yang lebih besar daripada manfaat langsung yang sering dikaji secara jangka pendek tersebut. Dalam kajian ekonomi manapun, kebijakan publik yang menciptakan biaya sosial yang lebih besar sama sekali tidak ekonomis dan menyimpang dari kaidah pembangunan.
Pada dasarnya dalam setiap pemanfaatan sumber daya alam untuk pertambangan harus memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hal ini memberi pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara terencana sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup. Dengan demikian pemanfaatan wilayah untuk tambang harus memperhatikan manusia sebagai titik sentral yang berjangka panjang serta berwawasan trans generasi.
World Commision on Environment and Development (WCED) dalam laporan yang berjudul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama) memaparkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan kita saat ini tanpa mengurangi kemampuan pemenuhan kebutuhan oleh generasi yang akan datang. Ada empat pilar penting yang digunakan sebagai tolok ukur pembangunan berkelanjutan, keempat pilar tersebut adalah: Pro-lingkungan hidup (environmental friendly), Pro-rakyat miskin (poverty alleviation), Pro-kesenjangan (gender oriented), dan Pro-lapangan kerja (job creation). Keempat pilar ini hanya dapat terlaksana bila ada partisipasi masyarakat. Dalam prakteknya harus ada kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat untuk mengimplementasikan pembangunan, kebijaksanaan atau peraturan tertentu secara berkeadilan. Jadi, dalam hubungannya dengan pemanfaatan kawasan untuk pertambangan, masyarakat bukan lagi menjadi obyek pertambangan, tetapi merupakan pelaku aktif (subyek) yang wajib diikutsertakan dan dilibatkan sejak tahap perencanaan hingga pengendalian agar memiliki secara penuh suatu kebijakan pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Dokumen resmi aktualisasi pelibatan masyarakat yang terkena dampak ini seharusnya terwakili di dalam kajian mengenai dampak penting suatu kegiatan pertambangan terhadap berbagai aspek diantaranya aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat Kajian ini dikenal sebagai Analisis Dampak Mengenai Lingkungan atau disingkat dengan AMDAL.
AMDAL diperkenalkan pertama kali tahun 1969 oleh National Environmental Policy Act di Amerika Serikat. Menurut UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27/1999 tentang Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan instrumen pengendalian dampak lingkungan yang tergolong tertua di Indonesia. Namun setelah lebih 15 tahun AMDAL berjalan di Indonesia (terhitung sejak pertama kali ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang AMDAL, melalui PP Nomor 29 Tahun 1986), banyak pihak merasa bahwa AMDAL belum menjadi instrumen yang efektif untuk pengendalian (terutama pencegahan) dampak lingkungan. Bahkan AMDAL banyak dipandang sebagai cost center ketimbang sebagai kontributor cost saving.
Kualitas AMDAL, sangat ditentukan oleh pemeran sistem AMDAL itu sendiri, yaitu: Komisi Penilai, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan. Komisi Penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.
Di negara maju, pemanfaatan AMDAL untuk pertambangan dalam bingkai pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sudah terpola dengan baik dan jelas. Perwujudan dari pemikiran itu diimplementasikan ke dalam tata ruang kawasan yang dibangun berdasarkan pendekatan yang partisipatif.