Aturan ketat ini menjadi aturan sah sebagai genre baru dalam dunia perpuisian indonesia. Jadi, syair tidaklah menjadi bentuk umum yang sama seperti puisi. Tetapi kepada bentuk dan genre tertentu ketika di Indonesiakan.
Sedangkan di luar, seperti Eropa, sajak dan syair dikenal sebagai puisi. Dan sekarang pun, semua dunia mendukung dan menyamakan persepsi ini menjadi puisi. Seperti halnya Haiku ketika disebut di Jepang. Tetap saja dikatakan sebagai puisi.Â
Sedangkan sajak, ketika di Indonesiakan sebenarnya sama saja dengan puisi (pengertian dari puisi). Tetapi ia dihitung dan disimak dari bentuk fisiknya. Ada sajak mutlak, sajak berima, sajak terbuka, sajak bebas, sajak lima seuntai, dst.
Jadi, apakah syair, sajak dan puisi itu sama atau berbeda? Tergantung cara melihatnya. Karena kita hidup di Indonesia, kita bisa menyesuaikan aturan baku yang telah ditetapkan oleh pakar-pakar sastra melalui buku-buku pelajaran. Demikian.
***
Lalu bagaimana jika ada pemula yang ingin berpuisi, namun masih dilanda ketakutan perihal khaidah puisi?
Sempat semalam, 01 November 2020 pukul 19.45 (kurang/lebih). Saya sempat berdiskusi dengan idola saya. Mingkin juga tidak asing di mata Kompasianer sekalian. Saya menyebutnya Suhu/guru dalam perpuisian. Tak lain yaitu bapak Zaldy Chan.
"Saya sependapat pak dari pernyataan postingan panjenengan.. perihal. 'Ayo berpuisi kalo ingin berpuisi'
Karena selama saya ikut2 WAG, ada bnyak teman yang takut berpusi karena berpatokan *puisi itu harus ada majas dan diksi*"
Ketika pertanyaan itu terlontar, beliau dengan tenang dan adem menjawabnya.
Seperti ini,