Mohon tunggu...
Abby Crisma
Abby Crisma Mohon Tunggu... Lainnya - Hamba Allah Biasa | Anak'e Ibu | Citizens

Simply, writing for relaxing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kegagalan

3 Februari 2023   18:36 Diperbarui: 12 Februari 2023   16:14 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hufftt ssshttttt. Huffftt sshhttt. Huffttt shhtttt."

Melodi tangisan pria dewasa tersedu-sedu, sesekali mendesak masuk ingus encer yang bersikeras untuk keluar dari goa. Itu terdengar tepat disamping container sampah, milik sebuah kantor pemasaran yang terletak di pinggir trotoar. 

Dia duduk dengan menekuk kaki dan mengikat kedua lututnya menggunakan dua tangan. Kepalanya pun menunduk lebih dalam, hingga itu menutupi wajahnya. Penampakan tersebut seakan menunjukkan bahwa ada suatu kesengsaraan yang sedang dirasakan olehnya. 

Aku berpapasan saat hendak menuju pabrik, berjalan tegap melewati trotar yang masih lenggang. Hari itu lumayan pagi, dan memang ada cukup waktu luang untuk bersimpati kepadanya.

Kusandarkan mini carrier di samping kakiku dan segera merunduk . Menanyakan apa gerangan yang terjadi dengan pria tersebut.

"Kamu kenapa, Bro?" ucapku dengan pelan.

Belum ada balasan. Masih dengan suara tangis dan tarikan ingus yang tak kunjung henti. Maka kukabulkan lagi saja rasa penasaranku.

"Bro, kenapa?"

Dia diam. Masih membungkuk. Tidak sedikitpun membuka kaki dan lututnya yang terlipat. 

Maaf-maaf nih sebelumnya. Bukan karena kepengen lihat selangkangan dia. Tapi, alangkah baiknya bercakap dengan saling bertatap muka. Kurasa, itu sanggup menciptakan keakraban dan keterbukaan antar lawan bicara. Dengan itu, dia punya kesempatan untuk lebih berani bercerita apa yang sedang dialaminya. Harapku sih seperti itu.

Suasana kota yang awalnya dingin dan hening, tak lama kian menghangat dan ramai oleh mesin kendaraan para pejuang nafkah yang berlalu lalang. Karena kondisi tersebut, ditambah lagi dengan diamnya pria itu, akhirnya aku juga dibuat semakin memanas. 

Maka diputuskan, bahwa ini terakhir kali aku bertanya simpatik padanya. Jika masih tidak bersambut, langsung kutinggalkan saja dia. Sia-sia waktu dan peduliku untuk seonggok yang bahkan aku tak kenal sama sekali. 

Sesalnya, sempat juga seperti itu pikiran brengsekku berkecamuk.  

***

"Ada masalah bro?" tanyaku agak tegas sambil sedikit mendorong bahunya.

Akhirnya, dia melepaskan tangannya yang mengunci. Wajahnya kian menengadah, mulai memandang mukaku yang sudah sedari tadi berusaha mencari matanya.

Pria itu alhasil merespon. Rasa greget ku pun makin mengendur. Begitu juga di dalam hati, terucapkan syukur. Lekas aku tanyakan lagi pertanyaan yang sama, demi meyakinkan lagi kesadarannya. 

"Kamu ada masalah, Bro? Mau cerita?" tuturku lebih pelan daripada sebelumnya.

Pria itu menjawab lirih. Satu kalimat, dua kata, tiga kali. Dan perlahan.

"A-ku ga-gal... A-ku ga-gal... A-ku ga-gal."

Aku coba lebih fokus menyimak, bahkan di setiap suku katanya. Sebetulnya, apa yang sedang dia bicarakan. "Gagal kah?" suara batinku bertanya. 

Baiklah kalau itu benar, lalu kegagalan semacam apa yang mampu membuat seorang pria berida kehilangan wibawanya. Kemana pikiran dewasa yang sudah kuanggap sejak kesan pertama. Malahan kini, dia lebih terlihat kekanak-kanakan, berbanding terbalik dengan perawakannya. 

Sampai aku berhasil menyimpulkan bahwa, benar, dia depresi. 

Semua prasangkaku sebelumnya mendadak corakkan kewajaran. Hingga akhirnya, aku berupaya lagi menelisik pengalamannya, memastikan kegagalan seperti apa yang berhasil menyebabkan dia menderita seperti ini. 

Dengan memahami akarnya, mudah-mudahan aku bisa memberikan secercah semangat dan pertolongan, meskipun besar dugaan, tawaranku nanti tidak seperti apa yang diharapkannya.

Pertanyaanku yang lebih rinci kembali menginterogasi, "Gagal? Gagal gimana?"

Yah, dia diam lagi. Bibirnya bergetar, tapi enggan hasilkan suara. Alhasil, kupermudah saja dialog yang riweuh ini.

"Kamu gagal karena nggak dapat kerja? Atau diputusin pacar? Ditinggal nikah?  Atau bagaimana sih? Ayolaahhh," cecarku mendetail.

Tepat ketika pertanyaanku berakhir, pria tersebut buru-buru menyela, "Bukan bukaannn."

"Terus kenapa?" lanjutku.

"Aku gagal, aku gagal karena gapernah memulai sesuatu. Aku takut, dan aku sengsara karena itu. Aku tau penyesalan bakal selalu datang di akhir, dan sungguh, itu terjadi sekarang. Itu selalu mengusik. Pikiranku kacau."

Aku cukup terkejut mendengar penjelasannya, sekaligus prihatin. Sependek pengetahuanku, seperti ini adalah jenis kegagalan yang paling parah. Sangat dihindari banyak orang. 

Mengapa tidak. Dia sudah merasa hidupnya gagal sebelum mencoba. Dia telah gagal tanpa membuktikan dahulu bahwa dirinya gagal. Dia gagal untuk menunjukkan bahwa manusia sejatinya tempatnya salah dan gagal. Terlebih lagi, dia telah gagal untuk menjadi dirinya sendiri. 

Benar-benar mengerikan. Aku berduka padanya.

Sampai di tengah percekapan, dibuat diriku bertambah iba dan hancur. Itu terjadi sesaat dia mengatakan sesuatu, yang kemudian menjadi sabda paling tulus yang pernah aku dengar seumur hidupku.

"Tolong aku." 

Nah, itu. Pria itu memohon sangat, sembari menatapku dengan berlinang air mata.

Sebelum dia meminta tolong, bahkan sejak awal inisiatifku untuk menghampiri, sudah kupastikan bahwa aku berniat membantunya.

Lantas kutarik lengan pria itu dengan penuh semangat, mengangkat tubuhnya yang lesu untuk berdiri tegap. Aku menyeringai tipis padanya, memberi kesan bahwa semua akan baik-baik saja. Mudah-mudahan, bibirnya tidak lagi cembung ke atas.  

Segera kurangkul pundaknya dan mengajak pergi dari tempat itu. Kita berjalan berbarengan menuju pabrik tempatku mengais rejeki, mengingat jam presensiku sudah semakin mepet.

Sepanjang perjalanan, aku berusaha untuk menenangkan. 

"Nanti aku coba mintakan pekerjaan sama atasanku. Pokoknya kamu mulai aja dulu, lakukan sebisamu. Jangan takut! Dan nggak usah dipikir pusing. Kalau ada apa-apa, panggil aku."

"Makasi banyak, Bro," balasnya tulus.

Di sepanjang perjalanan itu, batinku turut berbicara. Ia juga berusaha menenangkan diriku yang ternyata barusan tersadar. Bahwa aku pun nyaris gagal. 

"Kalau dipikir-pikir, aku hampir seperti pria ini. Untung saja, dia mau merespon. Jika tidak, entah penyesalan apa yang kemudian menghantuiku. Bener-bener nyaris, aku menyerah sebelum berhasil menolongnya." 

"Fiiuuhhh, senang rasanya bisa bantu orang lain," tutup batinku lega.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun