"Omah, omah, sini bentar dong"
Sekumpulan remaja, berlari-lari kecil dari luar rumah menuju ruang keluarga untuk menghampiri neneknya yang mereka panggil Omah. Saat itu, Omah sedang membersihkan habis debu dari tumpukan buku di rak menggunakan seikat bulu ayam yang didominasi warna coklat.Â
Tumpukan tersebut kebanyakan berisi kitab bertema pengembangan diri dan berbagai topik psikologi lainnya. Wajar saja, Omah adalah seorang pensiunan psikolog. Adapun almarhum suami beliau alumni sekolah kedokteran, yang kemudian berprofesi sebagai psikiater.
"Iya sebentar, Omah kesana," balas Omah lembut persis seperti intonasi para lansia yang bijak, sembari meletakkan sapu bulu.
Omah pun menghampiri panggilan itu. Diambilnya kursi oleh remaja-remaja tersebut, yang ternyata adalah cucu-cucu kesayangan Omah. Kursinya kemudian disiapkan untuk Omah, sebagai tempat bersantai usai melakukan pekerjaan rumah.
 "Terima kasih, cucu-cucu Omah memang baik dan pinter semua," puji Omah kepada cucu-cucu kesayangannya.
Itupun benar, mereka merupakan orang-orang yang cerdas. Mereka adalah Dadang, Sujoni, dan Ajeng. Para remaja yang baru menginjak fase dewasa awal. Ada yang baru mengalami a quarter life crisis, begitupun sebaliknya.Â
Progres pendewasaan tiap orang memang berbeda-beda. Itu juga karena mereka memiliki perbedaan usia, meskipun usia mereka masing-masing tidak terpaut sangat jauh. Â
Dadang dan Sujoni pada usia yang sedang merasakan kenikmatan hidup dunia perkuliahan. Keduanya berkuliah di kampus negeri yang paling bergengsi. Intinya tiada banding deh. Setelah liburan semester ini, Dadang menginjak semester empat dan Sujoni, sebagai maba alias mahasiswa baru, akan memasuki semester yang kedua.Â
Adapun Ajeng, satu-satunya cucu yang gadis, lagi berjuang untuk semester terakhir di bangku SMA. Dia berencana akan melanjutkan di kampus yang sama dengan kakaknya. Itu memang karena Ajeng merasa pantas, setelah semua prestasi dan nama baik yang dia berikan untuk sekolah.Â