Tepat pada saat bel pulang sekolah berbunyi, Mesya sedang menulis tanggal hari ini di dalam buku kecil yang selalu di bawanya.
12 November yang ke-2.
Sudah dua tahun memang kejadian itu berlalu, tapi masih segar di ingatan Mesya bagaimana dia kehilangan orang yang sangat di sayanginya di dunia itu. Bahkan sampai sekarang pun dia tidak mampu melupakan orang tersebut.
"Hari ini juga sama kaya tahun lalu nggak, Mey?" tanya Karin, teman sebangkunya yang sudah hafal dengan kegiatan Mesya setiap tanggal 12 November. Tanggal tersebut adalah tanggal ulang tahunnya, dan juga tanggal ulang tahun orang yang paling dia sayangi, serta tanggal pergi orang yang paling dia sayangi juga. "Kok nggak bawa kue sih?"
Mesya tersenyum tipis, sambil menjawab pertanyaan Karin. "Di beliin sama Nadia. Mungkin nanti malam baru di rayainnya, Rin. Berhubung Mama juga baru pulang dinas dari luar kota nanti malam. Jadi, tunggu semuanya kumpul dulu." Karin manggut-manggut mendengar penjelasan Mesya. Selesai membereskan barang-barangnya, Mesya bergegas pulang ke rumah untuk mempersiapkan acara yang sudah menjadi kebiasaannya selama dua tahun terakhir.
Sesampainya di rumah, Mesya melihat ruang tamunya masih kosong dan berantakan akibat dirinya dan Nadia semalam yang menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas di depan TV. Dia merapihkan sedikit demi sedikit barang-barang yang terlanjur berantakan tersebut dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Aktivitas yang mulanya menyenangkan itu tiba-tiba terhenti saat Mesya melihat sebuah tas gitar yang sudah berdebu di sudut ruang tamunya.
Gadis itu membuka tas gitar tersebut dan mengeluarkan benda di dalamnya. "Gitarnya Papa?" gumamnya nyaris berbisik. Tiap kali dia melihat barang peninggalan Papanya, walau sedetik saja, hal itu akan hatinya tergerus perih. Kejadian itu pun bergulir kembali dalam benar Mesya.
---
"Mesya! ayo sini, jalan sama Papa!" seru seorang laki-laki gagah nan tampan di mata Mesya kecil yang baru bisa berjalan. Anak itu mendekati Papanya yang berjarak dua meter. Langkah kaki kecilnya yang belum seimbang membuat anak itu terjatuh. Namun Mesya kecil tidak menangis sama sekali, sebaliknya dia malah tertawa dan melihat lurus untuk menghampiri Papanya. "Pa-pa!! Pa--pa! Pa-pa-pa!!" serunya dengan wajah riang. Saat langkahnya makin mendekat, Papanya langsung menggendong Mesya ke dalam dekapannya.
Saat SD pun Mesya selalu di temani oleh Papanya kemanapun dia pergi. Tidak peduli sesibuk apapun, Papanya pasti akan meluangkan waktu untuk anak bungsunya itu. Sampai akhirnya datanglah saat dimana Mesya kecil berubah menjadi remaja awal nan manja, dan mulai mencoba segala hal yang dia mau. "Papa!!! Ajarin Mesya main gitar dong!" pintanya sambil membawa gitar tua yang di temukannya di ruang kerja Papanya.
"Bukannya kamu sudah bisa main gitar ya, Mey?" tanya Papa yang masih fokus menatap layar laptopnya saat Mesya meminta Papanya untuk di ajari main gitar.
"Ih... Papa! Mesya baru bisa kuncinya doang tahu! Tapi Mesya nggak bisa lagu sama sekali," jelasnya. "Mesya pengen main gitar bareng sama Papa, pas kita ulang tahun!"
Papa menutup layar laptopnya dan memandang anak gadisnya itu. "Kamu beneran mau main gitar bareng Papa?" Mesya mengangguk dengan cepat sambil mengembangkan senyum di wajahnya. "Baiklah, ayo kita belajar."
Setelah Mesya belajar bermain gitar itu, Papa jarang sekali berada di rumah. Bahkan, apapun yang di masak oleh Mamanya, tidak pernah di sentuh oleh Papa. Bahkan Nadia, kakak perempuan Mesya pun tidak tahun apa yang terjadi dengan Papa, dan kenapa Papa seperti itu.
Di suatu sore, Mesya keluar dari kamarnya dengan wajah murung, dia kesal dengan teman-teman di sekolahnya yang sedang menggosipkan dirinya dengan Leo. "Kamu kenapa, Mey? Kok cemberut gitu sih?" Mesya berjalan mendekat ke arah Papanya, dan menangis. Dia menceritakan segala kekesalannya pada teman sekelasnya yang sudah berhasil membuatnya kacau. "Jadi, Mesya suka sama Leo? Tapi Leonya sekarang nggak mau ngomong sama Mesya karena takut di kirain beneran pacaran sama Mesya?" Gadis itu mengangguk. "Ternyata anak Papa sudah besar ya sekarang, sudah suka sama cowok, sudah mulai genit!"
"Papa jahat ah! masa aku di bilang genit sih?"
"Lho, memang kamu sudah genit kok! Kenapa protes?" goda Papa lagi sambil tertawa dan tersenyum penuh arti.
"Ah, ya udahlah! Mesya bete nih kalo Papa masih godain Mesya kayak gitu!!"
Pada akhirnya, Papa berhenti menggoda Mesya dan berkata. "Mesya, kalau kamu suka sama seseorang itu, biarkan saja seperti itu. Kamu tidak perlu berusaha dengan susah payah untuk mendapaatkannya. Apa bila dia memang untukmu, tanpa usaha yang melelahkan, dia pasti akan datang sendiri padamu."
"Kaya Papa ya?" tanyanya. "Mesya nggak pernah tuh mengharapkan punya papa yang seperti Papa. Tapi Papa itu adalah Papa Mesya yang paling hebat, dan nggak boleh ada yang ganti Papa Mesya sama yang lainnya!"
Papa mengusap-usap rambut Mesya. Hati Papa sedikit teriris saat mendengar ucapan itu. "Mesya, kamu mau belajar main gitar lagi nggak? Papa mau ajarin kamu satu lagu yang pasti kamu bisa." Mesya mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat.
Beberapa bulan kemudian, Mesya mendapat telepon dari rumah saat dia sedang berada di sekolah. Mesya yang sedang merayakan kemenangan atas lomba gitar yang di ikutinya itupun segera di panggil guru, dan di suruh untuk pergi ke rumah sakit dekat rumahnya dengan cepat. Di sana, Mesya mempercepat langkah kakinya. Di lantai 9 rumah sakit itu, Mesya melihat Mama dan kakak perempuannya, Nadia sedang berdiri di luar ruangan.
Pipi Nadia sudah basah dan matanya mulai bengkak akibat tangisannya yang tak kunjung berhenti dari sejak dia menerima kabar bahwa Papanya di bawa ke rumah sakit setelah pingsan, dan sewaktu tiba di rumah sakit, dokter mengatakan kalau Papa sudah koma.
Mesya berusaha untuk tersenyum dengan tegar, sebisa mungkin dia menahan agar air matanya tidak terjatuh. Cepat atau lambat, dia tahu kalau Papanya pasti akan seperti ini. Hatinya serasa di cabik-cabik. Namun, Mesya tetap berusaha tegar, dan menghampiri Nadia yang masih menangis sesenggukkan lalu memeluk kakaknya. "Aku anak jahat. Nggak pernah bareng-bareng sama Papa. Selalu main, keluar rumah, nggak pernah nurut. Sekarang? Papa udah sakit begini kenapa Papa nggak pernah cerita sama Nadia?"
Sementara Mama masih tidak bisa menerima kenyataan kalau Papa memang menderita penyakit mematikan itu. Kanker liver atau hati. Mesya sudah mengetahuinya sejak beberapa bulan lalu saat Papa mengajarkannya lagu Tears in Heaven--Eric Clapton.
"Mesya, Papa harap kamu bisa menjadi gadis yang mandiri, dan nggak nyusahin Mama ya," pinta Papa. "Papa nggak tahu apa Papa ada umur panjang atau nggak, tapi Papa mau kamu jangan nyusahin Mama, dan sayangi kakakmu, Nadia, walaupun dia sering membantah."
"Kenapa Papa ngomong begitu?" tanya Mesya.
Papa menyerahkan sebuah amplop coklat yang berisi hasil laporan kesehatannya. Dan dokter sudah memvonis kalau Papa menderita kanker hati stadium lanjut. Dalam vonisnya itu, di katakan kalau dokterpun angkat tangan, dan hanya memberikan Papa semacam obat penghilang rasa sakit sementara. Tapi, bukan untuk membunuh kankernya.
Saat itu Mesya menangis sejadi-jadinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi bila Papa tidak ada. Apa yang akan dia lakukan tanpa Papa. Tapi sekarang, Mesya sudah bisa menerimanya, cukup banyak waktu yang dia berikan untuk Papa. Sampai akhirnya hari ini datang.
Setelah tim medis berusaha untuk menyelamatkan Papa di dalam ruang tindakan, akhirnya pada tanggal 12 November 2010, pukul 13.12, dokter menyatakan Papa sudah tiada.
---
Gitar tua yang sudah lama tersimpan di sudut ruang tamu rumah itu di buka lagi oleh Mesya. Dia ingin sekali memainkan lagu Tears in Heaven, lagu terakhir yang di ajari oleh Papa sebelum Papa pergi. Tapi, dia melihat selembar kertas yang tertinggal di dalam tas gitar itu, kemudian di ambil olehnya dan di bacanya.
Anakku Mesya, papa tahu kamu mungkin berpikir kenapa papa harus pergi secepat ini bukan?
Tentu saja saat kamu membaca surat ini, papa sudah tidak berada di sampingmu dan merangkulmu, mengusap kepalamu lagi. Tapi itu berarti papa bisa mengawasimu kemanapun kamu pergi dan melihat segala hal yang sedang kamu lakukan.
Kata orang, alasan seorang anak perempuan begitu menyayangi ayahnya adalah karena, setidaknya masih ada seorang laki-laki di dunia yang tidak akan menyakitinya, dan juga karena ayah adalah cinta pertamanya.
Papa minta maaf kalau papa pernah menyakitimu, dan melukai perasaanmu.
Papa sangat menyayangimu, segala hal yang papa lakukan selama papa masih berada bersama Mesya, adalah wujud nyata dari rasa sayang papa terhadap Mesya.
Mainkanlah gitar ini, dan jangan Mesya letakkan di gudang ya. Setidaknya, mainkanlah gitar ini saat kita ulang tahun.
Air mata Mesya tak bisa tertahan lagi. Dia menangis sejadi-jadinya sambil memeluk gitar tua milik papa. "Selamat ulang tahun, Pa. Selamat ulang tahun," kata Mesya di sela-sela tangisannya. "Selamat hari ayah, Papa. Selamat ulang tahun untuk kita berdua."
---
"Mesya sayang Papa!" seru Mesya kecil terjatuh ketika dia sedang berlari mengejar Papanya. Senyum riang menghiasi wajah Mesya kecil karena bahagia melihat Papanya.
Papa segera menghampiri Mesya, dan merangkulnya. "Papa juga sayang sekali sama Mesya," balas Papa. "Papa janji nggak akan pernah tinggalin Mesya." Mesya kecil mengangguk riang sambil memeluk leher Papanya.
Selesai
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI