Kita yang karyawan, termasuk guru, setiap bulan akan mendapatkan penghasilan yang tetap tanpa perubahan jumlah alias flat. Terus bagaimana menyikapinya ?
Kembali skala prioritas diperhatikan lebih serius lagi. Kalau perlu diganti, ya ubah saja skala tersebut. Sebagai contoh adalah jajan gorengan yang sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. Biasa belanja 10 gorengan, maka saat ini dikurangi jumlahnya. Tetap bisa menjaga tradisi Indonesia, beli gorengan, namun dengan volume kecil. Bisa kan? Penjual tetap bisa jualan, mereka pun terjaga kehidupannya. Tuh kita telah berbuat baik kepada mereka secara tidak sadar walau kita juga kepayahan.
Begitu pun dengan jajanan lainnya, yang bisa kita lakukan sebagai guru adalah hanya bisa mengurangi volume kebutuhan.
Kalau bisa menambahi pendapatan karena over time itu yang dicari, kalau bisa dan ada, namun bagi guru untuk menambahi pendapatan dengan cara apa lagi. Apakah dengan diadakan les di sekolah ? Kayaknya ga lah ya. Jualan diktat ? Juga tidak. Jadi guru les di rumah ? Mungkin bisa. Jualan barang bagaimana ? Di luar jam kerja, di rumah sendiri, menjadi penjual yang kreatif. Berbantu media sosial dan gadget. Sepertinya ini yang paling cocok. Mudah-mudahan.
Kepintaran yang sudah diberikan Allah SWT menjadi alat untuk mendapatkan solusi terbaiknya. Selain kreatif yang tahan banting juga kesabaran hati karena memulai itu tidak gampang. Kolaborasi yang digadang-gadang menjadi hal fundamental, ya jangan dianggap sepele, tidak bisa dilewatkan begitu saja. Jaman now, ga pakai networking bakal ketinggalan kereta api.
Semua kembali kepada kita, kenaikan BBM sebagai pemantik munculnya ide kreatif. Nasib segolongan hanya bisa berubah menjadi baik hanya oleh golongan tersebut. Kita bisa bersama. Bersama kita bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H