"Sebenarnya kedua orang tuaku sudah tidak bekerja lagi. Ibuku kadang hanya menjadi tukang cuci di rumah tetangga yang kaya. Itupun tidak setiap hari. Bapakku hanya pengumpul barang-barang bekas, plastik, dan kardus. Jika sudah banyak barulah dia bawa ke tukang rongsok untuk dijual. Seminggu sekali biasanya dia bawa semua barang bekas yang dia kumpulkan ke tukang rongsok. Itupun paling hanya dapat 5 sampai 7 kilo saja. Uang yang didapat bapakku paling banyak 20 sampai 30 ribu saja. Hanya cukup untuk makan kami berempat. Seringkali kurang."
Inov menghela nafas sesaat. Kurasakan betapa beratnya helaan nafas Inov. Aku terdiam. Tak mampu berkata apa-apa. Kemudian sambil sesekali menatap hampa gelapnya langit tanpa purnama, Inov kembali melanjutkan ceritanya.
"Jadi, orang tuaku hanya sanggup memberi uang jajan seadanya. Jika ada keperluan lainnya untuk adikku, akulah yang harus memberinya uang. Aku berusaha sekuat tenagaku agar adikku tidak sebodoh mbaknya. Aku hanya lulusan SMP. Ijazah SMA yang kumiliki hanyalah ijazah Kejar Paket C. Beruntung aku bisa diterima kerja dengan ijazah Kejar Paket C itu."
Inov kembali menghela nafas yang nampaknya semakin berat. Di sudut matanya aku mulai melihat adanya tetes bening yang mengintip siap untuk meluncur deras ke pipinya yang mulus. Aku beku. Tak mampu mengeluarkan suara. Dinginnya malam kurasakan tak sedingin tubuhku yang kaku tak berdaya. Inov kembali melanjutkan kisahnya.
"Aku bodoh, hanya lulusan SMP. Aku tak ingin adikku sepertiku. Aku ingin dia terus sekolah hingga SMA. Bahkan kalau bisa dan aku mampu, aku ingin dia kuliah mendapatkan gelar sarjana."
Tetes bening yang tadi mengintip sudah mulai mengalir perlahan. Aku masih membeku.
"Sekuatku, semampuku, akan aku usahakan supaya adikku bisa terus sekolah. Aku tak peduli kerja siang-malam. Aku tak peduli betapa lelahnya aku. Yang aku pikirkan hanya adikku."
Tetes bening lainnya mulai mengikuti aliran yang sama. Kurasa sebentar lagi akan semakin deras. Aku tersadar. Aku tak boleh membiarkannya menangis di tukang nasi goreng pinggir jalan ini. Aku harus segera mengajaknya pulang.
"Nov, sudah cukup aku dengar ceritamu. Ayo, kita pulang! Sudah malam. Besok kan kita masuk kerja lagi."
Tanpa banyak kata lagi, kami pun akhirnya pulang. Aku antar dia ke rumahnya yang kebetulan tak terlalu jauh. Setelah mengantarnya pulang, terngiang kembali dialog di tukang nasi goreng itu. Otakku berputar, tapi kurasa putarannya tidak beraturan, mungkin lebih tepatnya absurd.
***