Dimana –mana kelahiran seorang anak merupakan sebuah kebahagiaan, tapi tidak untuk keluarga ini.
Ibu ani sudah memiliki seorang putri yang cantik dan riang. Kali ini ia akan melahirkan anak keduanya dengan proses operasi seperti anak pertama. “Ma, kapan adik lahir?, tanya ima (anak pertama). Ibu ani melihat ima dengan wajah tersenyum , “sebentar lagi ya sayang, kalau adik sudah lahir, ima ajak main dan jaga adik ya”. Ima tersenyum semangat dengan jawaban ibunya.
Ibu Ani sudah yakin dengan proses persalinannya karena dokter yang melakukan operasi sudah ia kenal dekat. (seperti yang kita tahu, psikologi ibu melahirkan sangat mempengaruhi termasuk relasi dengan dokter). Ketika ia sedang menata rumah dan menyiapkan kue karena hari itu tepat tahun baru 01 Januari 1989. Tradisi mendatangi rumah ke rumah sangat kental sehingga semua wajib siap walau sedang hamil tua. Ketika akan mengambil sesuatu ke dapur, ia pun merasakan kontraksi (tanda akan melahirkan). “Aduhhh,,, Noraaaa, tolong tante ,, tante sepertinya akan melahirkan”. “wahhh, iya tante, saya ambil tas perlengkapannya dan panggil becak” jawab Nora dan sigap kesana kemari. Keponakannya segera membawa ke rumah sakit dan keluarga pun diberikan kabar kilat lewat mulut ke mulut (maklum belum ada hp atau pager)
Di rumah sakit, Ibu ani panik karena dokter yang seharusnya melakukan persalinan pergi liburan tahun baru.
“Ibu Ani, Dokter Agus sedang liburan ke luar kota. Dokter Andri yang akan menangani persalinan ibu Ani ya”, ucap seorang perawat.
Sahut Ibu Ani , “ADuhh,,, (sambil mengelus perutnya), Dokter Agus kembali kapan,,, duhh suster”. “dokter Agus cuti seminggu sampai tanggal 5, kita tidak bisa menunggu Bu Ani”.
Raut wajah ibu Ani terlihat berpikir dan berubah, sedih sekaligus menahan sakit, ”Tolong cari suami saya suster, sampaikan ke keluarga susss,, duhhh (menahan sakit)”.
Dia mencari suaminya dan ternyata tidak ada karena pergi ke kampung halaman karena urusan keluarga. Ahhh,,, malangnya Ibu ani, perasaaannya tidak tenang dan kacau menghadapi operasi kedua ini. Walau pun ia seorang bidan, ternyata manusia tetap lah manusia , ia pun merasakan takut menghadapi operasi kedua ini. Sang bayi sudah waktunya lahir tapi ibu Ani masih belum siap dan ingin menanti suaminya. Namun dokter meminta untuk segera karena bayi akan mati jika ketuban pecah.
“kita harus melakukan operasi karena ketuban sudah pecah bu, ibu tenang ya dan berdoa”, ucap seorang suster dan membawanya ke ruang operasi.
Keluarga menunggu diluar ruang operasi dengan cemas karena mereka tahu bahwanya Ibu Ani seharusnya belum boleh hamil setelah anak pertama namun tidak diikuti.
Seorang nenek yang tak lain tak bukan adalah neneknya Ima mengeluh dan mengeluh, “Sudah ku bilang jangan hamil dulu,, lihat sekarang bapak Ima pun tidak ada disaat Ani akan melahirkan dan operasi. Suami tidak bertanggung jawab. Dulu pun aku tidak suka mereka menikah… Ahh..”
“Sabar mak,,, sabar,,, kita doakan operasi lancar,kak Ani sehat dan bayi sehat, sabar ya mak”, jawab Ana yaitu adik dari Ibu Ani..
Selang beberapa waktu….
Dokter keluar dengan wajah panik dan berkata..”Maaf, mana suami ibu Ani?”. “pak,suaminya masih dijalan menuju medan” jawab Ana.
“Bayi sudah lahir dengan selamat. Namun… (suara dokter tampak ragu) Ibu Ani kondisinya saat ini kritis, mungkin keluarga yang paling dekat bisa masuk untuk memberi doa atau semangat”, ucap dokter.
“saya saja dok, saya ibunya”, jawab nenek dengan segera dan langsung ke dalam ruang operasi bersama dokter. Nenek didalam selama 5 menit dan keluar lagi dengan wajah yang menangis dan tubuh yang lemas. Keluarga panik dan memeluk nenek tanpa bertanya lagi dan mereka menangis sejadi-jadinya.
Nenek menangis dan tertatih berkata, “Ani,, ani,,, koma”
Hari ketiga tahun baru , 1989. Ibu Ani masih koma di rumah sakit dan keluarga silih berganti datang dan menguatkan. Sang Bayi mungil yang tidak tahu apa-apa merasakan aman di ruang bayi bersama suster dan bayi lainnya, ahhh benarkah ia merasa aman, mungkin saja ia rindu dipeluk, dikecup dan diberikan susu asi bukan susu formula.
Di ruangan 4x5, diisi dengan 1 tempat tidur, 1 sofa dan terbentang tikar untuk keluarga yang menunggu dan berharap agar Ibu ani sadar dan sehat.
“Kita kasih nama Maya ya buat adek, bagaimana Ima?, tanya tante Ana kepada ima.
“Ahh,, terserah kasih apa, karena dia mamak jadi sakit” jawab Ima dengan ketus karena sedih melhat ibunya sakit.
“Loh,,, sebentar lagi mamak sehat Ima, jangan salahkan adek ya. Adek bayi ga tau apa-apa dan dia bukan penyebab sakitnya mamak” jawab tante Ana sambil memeluk Ima dan segera mengusap tetesan air yang mengalir dipipinya. Tante Ana tidak mau Ima melihatnya sedih.
Hari kelima pun tiba..
Suami ibu Ani tampak emosi dan tidak sabar . Ia menganggap penanganan rumah sakit terlalu lama dan tidak membuahkan hasil. Ia pun mendatangi Dokter yang menangani Ibu Ani dengan emosi marah, “Dok, bagaimana ini keadaan istri saya. Dia masih tidak sadar dan koma, sebenarnya ada apa dengan isteri saya?? Apakah dokter dan rumah sakit ini tidak bisa menangani biar saya bawa ke rumah sakit lain”.
“Maaf Pak, kami sedang menangani dengan semaksimal mungkin. Kita tunggu perkembangannya ya pak”, dokter menjawab dengan tenang.
“ahh,,,, tunggu tunggu kau bilang. Kalau hari ini tidak ada perkembangan, besok kami bawa ke rumah sakit lain”, jawab suami Ibu Ani.
Keluarga pun ikut panik dengan situasi yang ada, mereka pun sepakat dengan suami ibu Ani untuk memindahkannya ke rumah sakit lain jika sampai nanti malam tidak ada perkembangan. Mereka berharap di rumah sakit yang lebih baik maka Ibu Ani dapat sadar dan sehat.
Esok harinya, Ibu Ani masih koma.
“Suster, tolong urus pemindahan istri saya ke rumah sakit ********”, Suami Ibu Ani segera mengurus perpindahan istrinya ke rumah sakit lain. Setelah ia menandatangani surat pernyataan bahwa rumah sakit tidak bertanggung jawab atas keadaan ibu Ani dan pemindahan ini atas permintaan keluarga khususnya suami. Maka, ibu Ani pun dibawa oleh ambulans ke rumah sakit yang dituju.
Kondisi Ibu Ani tidak semakin membaik di rumah sakit yang baru. Ia semakin parah dan Ima pun senantiasa memanggil ibunya.
“Makkk,,, bangun mak….. Ima rindu main sama mamak (sambil mengelus pipi Ibu Ani yang terkapar di tempat tidur) mak.... mamakk”, keluarga menangis mendengar kata-kata Ima.
Sang Ayah pun tertunduk menutup mukanya karena menangis, ia merasa situasi ini sangat berat dan melihat Ima bahkan sang Bayi membuatnya ingin marah kepada dirinya sendiri, ya marah pada dirinya sendiri. Ia merupakan suami yang kurang bertanggungjawab terhadap Ibu Ani dan Ayah yang suka membohongi anaknya Ima. Ia suka bermain judi dan membuat janji palsu kepada Ima. Ia menyesal karena tidak berlaku baik terhadap istrinya. Ia tidak sanggup melihat istrinya koma dan rasanya ingin mengulang waktu untuk memperbaiki sikapnya dan tidak pergi disaat istrinya akan melahirkan.
Ditengah-tengah pikiran dan perasaannya yang sedang menyesali diri, tiba-tiba…
Titttttttttttttttttttttttt……… (bunyi alat medis)
“Panggil dokter , panggil suster,,,,,…..” kata seorang keluarga. Dokter dan suster pun tampak sibuk dan mengerahkan semua usaha dengan alat medis yang tersedia disekitar Ibu Ani. Keluarga diminta menjauh, mereka gugup dan takut memperhatikan kesibukan para dokter dan suster sampai akhirnya dokter berhenti memegang alat.
Dokter berjalan menuju suami Ibu Ani, “Maaf Pak, Kami turut beduka, Ibu Ani sudah meninggal dunia”, kata dokter dengan pelan. “tidakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk,,,,,,” teriak Pak Ara sembari memukulkan dadanya dan berlari memeluk Ibu Ani, terbayang jelas dipikirannya semua kenangan bersama Ibu Ani dan penyesalan yang sangat mendalam atas sikapnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya, ima dan sang bayi. Ya sang bayi yang sangat memerlukan ibunya.
Keluarga pun berteriak dan menangis memanggil nama ibu Ani. Mereka sangat berduka.
“Kenapa tante, kenapa ayah,,, mamak kenapa,, mamak kenapa…..??????” Ima heran melihat keluarganya dan tidak ada yang menjawab pertanyaannya, ia pun turut menangis walau tidak tau, entah untuk apa tangis itu ditujukan ke mamak terkasihnya.
Pak Ara (Ayah Ima) tertunduk dan menangis penuh penyesalan. berat dan sungguh berat kehilangan istri. Ia harus menghadapi hidup bersama 1 anaknya yang masih kecil dan sang bayi.
Koma menjadi titik dari Sang Empunya Kehidupan, selamat jalan Ibu Ani, pengorbanan nyawa untuk nyawa sang bayi..
-Hidup di dunia ini hanya sementara,
terimalah sebagai anugrah yang perlu dimaknai dan dihargai dengan RASA SYUKUR.
Jangan menunda untuk bersyukur karena penyesalan selalu datang di akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H