Saat memberikan tanggapan pada diskusi tersebut, Penulis sangat mendukung wacana yang ditawarkan Rama Baskara. Bersamaan dengan itu Penulis mengingatkan bahwa penjarahan yang dilakukan adalah termasuk penjarahan SDM. Yang dimaksudkannya adalah penjarahan manusia Indonesia dan budayanya.
Penulis mencontohkan betapa masyarakat Indonesia saat ini merasa lebih afdol duduk dan menikmati ayam goreng yang kelezatannya sebatas tepung di lapis luarnya yang dijajakan gerai boga dari luar negeri, daripada membeli ayam goreng lokal dengan tingkat kelezatan yang merasuk sampai lapisan daging terdalamnya. Penjarahan budaya manusia Indonesia dari akarnya tersebut demikian masif dan parahnya sehingga kini taken for granted bangsa ini menerima begitu saja berbagai hal yang dijual oleh penjaja dari luar tanpa berpikir panjang manfaat dan mudharatnya. Bukankah kini semakin banyak misalnya, yang merasa lebih maju dan lebih modern jika kepada anak balita dikenakan pospak atau popok sekali pakai impor, dibanding clodi (cloth diapers) tradisional terbuat dari selembar kain katun yang jauh lebih sesuai dengan iklim tropis dan jauh lebih ekonomis pula? Padahal berdasarkan penelitian, pospak dijejali berbagai racun yang membahayakan kesehatan si pemakai (baca: http://tinyurl.com/popokgudangracun).Â
Sudut Pandang Lain
Dengan memahami konstatasi Rama Baskara ditambah dengan isu penjarahan/pencabutan manusia Indonesia dari akar budayanya, kini menjadi jauh lebih penting menelisik, menggali, dan mengeksplorasi wacana tersebut sebagai upaya untuk memahami terjadinya berbagai peristiwa kekejian dan pelanggaran HAM di Indonesia. Hal ini diperkuat pula dengan pendapat dari Edo, seorang putra daerah Papua dan aktivis di LBH Yogyakarta, yang mengingatkan terjadinya kekejian pelanggaran HAM di Papua terutama terkait dengan penambangan SDA di sana.
Sudut pandang kita seharusnya diarahkan ke akar penyebab, dan bukan hanya mengikuti kehendak penguasa dzolim yang bermaksud mendistorsi isu dalam rangka menutupi maksud jahat penjarahan SDA dan SDM beserta budayanya, yang pada hakikatnya adalah sebentuk penjajahan gaya baru atau neo-kolonialisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H