Pembiasan Isu
Bangsa Indonesia kerap kali gagal paham dalam kaitannya dengan berbagai hal, dikarenakan mudahnya bangsa ini terjebak dalam pembiasan isu. Apa penyebabnya, bukan tujuan artikel ini untuk membahasnya. Yang jelas, dengan pembiasan isu itu kemudian terbangun sebuah bangunan pemahaman secara parsial, pemahaman yang tidak utuh. Karena tidak utuh maka terjadi distorsi dalam menyikapi, mengantisipasi, dan merancang berbagai langkah ke depan untuk hari depan yang lebih baik. Barangkali upaya mendistorsi ini adalah penerapan ajaran teori "the big lie" - nya Goebbel dan Hitler dari rejim Nazi Jerman.Â
G30S Sebuah Contoh Kasus
Belakangan ramai dibahas peristiwa kekejian berdarah yang disebabkan oleh gerakan militer yang menewaskan enam petinggi AD dan seorang perwira muda yang terjadi dini hari 1 Oktober 1965. Gerakan militer ini oleh para pelakunya disebut Gerakan 30 September atau G30S. Menjadi hangat karena pelaksanaan International People's Tribunal 1965 yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda atau IPT1965.
Sebagaimana dikonstatir oleh Rama Baskara T.Wardaya dalam diskusi di MAP-Corner UGM, Yogyakarta, Selasa 17/11/2015, terkait IPT1965, kondisi tersebut (kondisi pembiasan isu) adalah bagian dari upaya hegemonistik rejim Orde Baru terhadap seluruh kehidupan bangsa Indonesia. Orde Baru meng-hegemoni seluruh diskursus atas peristiwa keji pembantaian sejak 1 Oktober sampai dengan akhir tahun 1967 di berbagai tempat di seluruh Indonesia, dengan titik berangkat kekejian G30S sebagai dalih (pretext). Dalam upaya menghegemoni tersebut dibangun sebuah wacana dikotomis antara TNI-AD sebagai pahlawan dan PKI sebagai pengkhianat.
Menjadi sangat mudah dipahami bahwa kemudian tidak pernah tersentuh wacana-wacana terkait dengan itu, yaitu pertanyaan tentang mengapa kekejian G30S terjadi. Selama ini hanya peristiwa 1 Oktober dan ekses-eksesnya saja yang banyak diwacanakan dalam berbagai fora. Itu sudah sesuai kehendak rejim Orba. Baca berita langsung terkait di tautan ini: http://tinyurl.com/akarpelanggaranham Â
Penjarahan dan Penyingkiran
Baskara kemudian mengajukan wacana sebagai usulan, yang pada intinya adalah pembalikan pemahaman. Penulis memahami wacana Rama Baskara yang dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ini, adalah sebagai upaya mengajukan pertanyaan "mengapa", dan bukan "siapa". Wacana dikotomis oleh rejim Orba sebagaimana dikatakannya sebelumnya, mengutamakan aspek "who" (siapa). Karena memang diskursus Orba tersebut sangat membutuhkan subyek kambing hitam dalam proses "scapegoating" sebagaimana disebut dalam teori Rene Girard. Harus dicari pihak sebagai kambing hitam agar langkah-langkah untuk memuluskan pencapaian tujuan utama berjalan lancar.
Dalam mengusulkan wacananya, Rama Baskara membagi secara garis besar peristiwa sekitar kekejian kemanusian 1965/1967 menjadi tiga hal berikut ini:
- Pembantaian dan pemenjaraan massal 1965-1967 dengan mengambil peristiwa kekejian berdarah oleh gerakan militer tanggal 1 Oktober sebagai dalihnya (pretext);
- Penyingkiran Soekarno dan semangat nasionalisme kerakyatannya
- Penjarahan massal sumber daya alam (SDA) Indonesia
Bagi Rama Baskara menjadi sangat penting generasi muda untuk memberi perhatian lebih pada wacana penjarahan massal sumber daya alam sebagai dalih untuk melakukan berbagai tindak kekejian dan pelanggaran HAM di Indonesia termasuk G30S beserta akibat ikutannya seperti pembantaian dan pemenjaraan massal para anggota PKI dan simpatisannya.Â
Penjarahan Budaya dan Sumber Daya Alam
Saat memberikan tanggapan pada diskusi tersebut, Penulis sangat mendukung wacana yang ditawarkan Rama Baskara. Bersamaan dengan itu Penulis mengingatkan bahwa penjarahan yang dilakukan adalah termasuk penjarahan SDM. Yang dimaksudkannya adalah penjarahan manusia Indonesia dan budayanya.
Penulis mencontohkan betapa masyarakat Indonesia saat ini merasa lebih afdol duduk dan menikmati ayam goreng yang kelezatannya sebatas tepung di lapis luarnya yang dijajakan gerai boga dari luar negeri, daripada membeli ayam goreng lokal dengan tingkat kelezatan yang merasuk sampai lapisan daging terdalamnya. Penjarahan budaya manusia Indonesia dari akarnya tersebut demikian masif dan parahnya sehingga kini taken for granted bangsa ini menerima begitu saja berbagai hal yang dijual oleh penjaja dari luar tanpa berpikir panjang manfaat dan mudharatnya. Bukankah kini semakin banyak misalnya, yang merasa lebih maju dan lebih modern jika kepada anak balita dikenakan pospak atau popok sekali pakai impor, dibanding clodi (cloth diapers) tradisional terbuat dari selembar kain katun yang jauh lebih sesuai dengan iklim tropis dan jauh lebih ekonomis pula? Padahal berdasarkan penelitian, pospak dijejali berbagai racun yang membahayakan kesehatan si pemakai (baca: http://tinyurl.com/popokgudangracun).Â
Sudut Pandang Lain
Dengan memahami konstatasi Rama Baskara ditambah dengan isu penjarahan/pencabutan manusia Indonesia dari akar budayanya, kini menjadi jauh lebih penting menelisik, menggali, dan mengeksplorasi wacana tersebut sebagai upaya untuk memahami terjadinya berbagai peristiwa kekejian dan pelanggaran HAM di Indonesia. Hal ini diperkuat pula dengan pendapat dari Edo, seorang putra daerah Papua dan aktivis di LBH Yogyakarta, yang mengingatkan terjadinya kekejian pelanggaran HAM di Papua terutama terkait dengan penambangan SDA di sana.
Sudut pandang kita seharusnya diarahkan ke akar penyebab, dan bukan hanya mengikuti kehendak penguasa dzolim yang bermaksud mendistorsi isu dalam rangka menutupi maksud jahat penjarahan SDA dan SDM beserta budayanya, yang pada hakikatnya adalah sebentuk penjajahan gaya baru atau neo-kolonialisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H