Gerakan menolak penundaan Pemilihan Umum (Pemilu 2024) dan turunkan Presiden Jokowi telah lama bergulir, tanda-tandanya telah mengkristal setidaknya saat pandemi covid-19 sedang marak-maraknya awal 2021.
Para politikus, kritikus dan lawan garis keras Jokowi dari partai atau kelompok tertentu melontarkan gagasan turunkan Presiden Jokowi dengan beberapa alasan yaitu :
- Gagal melindungi warga Indonesia dari Covid-19
- Gagal mendengarkan keprihatinan rakyat
- Mengkriminalisasi kritik
- Tidak dapat mengatasi lonjakan harga sembako
- Tidak dapat mengendalikan harga BBM dan LPG
- Memperpanjang jabatan menjadi 3 periode dengan melanggar konstitusi
- Menunda Pemilu 2024, dan lain-lain
Gerakan tersebut dikemas sedemikian rupa memanfaatkan corong grassroots berbalut agama di media sosial berisi pernyataan vulgar atau sangat berani dan menantang pemerintahan Jokowi.
Para penerima informasi -terutama golongan anak muda dan remaja dan warga yang tidak tahu seluk beluknya secara detail akan mudah tersulut bara api kebencian yang dilontarkan nyaris tak terkendali.
Sekarang mari kita cermati dengan kepala dingin dan membuka wawasan, apakah semua alasan di atas dapat dijadikan dasar guna menjatuhkan Jokowi?
Gagal melindungi rakyat Indonesia dari Covid-19
Masalah covid-19 bukan konsumsi Indonesia saja. Penyakit ini melanda antar benua sehingga dinamakan Pandemi. Meski sangat disayangkan jatuh korban jiwa namun dari sisi jumlah penderita dan jumlah kematian jauh lebih berat negara lain berpenduduk besar dibandingkan Indonesia.
Dengan demikian isu tersebut sepantasnya BUKAN alasan yang tepat menjatuhkan Jokowi
Gagal mendengarkan keprihatinan rakyat
Rakyat Indonesia saat ini berjumlah (lebih kurang) 270 juta jiwa. Persoalan terjadi pada saat ini selain sangat kompleks juga sangat bervariasi. Ada yang mampu tertangani ada juga yang sedang tertangani namun ada juga yang kurang atau nyaris tidak tertangani.
Untuk kebutuhan kelompok yang tidak tertangani disebut oleh pengkritik sebagai kegagalan Jokowi mendengarkan keprihatinan rakyat.
Tetapi apakah fenomena atau persoalan tersebut cuma terjadi pada era pemerintahan Jokowi?
Setiap periode Presiden pasti menghadapi kondisi tersebut. Mereka semua tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan warganya terlepas dari keprihatinan.
Di negara atau kerajaan paling makmur sekalipun keprihatinan warga selalu ada dan kerajaan atau pemerintahannya tidak mampu menangani 100% guna melepaskan warganya dari totalitas keprihatinan.
Tampaknya isu tersebut BUKAN alasan yang tepat menjatuhkan Jokowi
Kriminalisasi Kritik
Di jaman modern dan terbuka seperti ini media sosial berperan sangat agresif mengkritik siapapun termasuk pemerintah. Tidak habis-habisnya idea dan imajinasi pembuat konten kritik di media sosial menghujam siapapun termasuk Jokowi melalu jagat internet.
Jika seluruh kritikan tajam bin pedas terhadap Jokowi itu dikumpulkan dan diproses tidak akan cukup seluruh penjara di negeri ini menampung para pengkritik.
Beberapa pengkritik ada menjalani proses pengadilan karena melanggar aturan dalam UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Para kritikus menyebutnya " Rezim Kriminalisasi kritik."
Padahal siapapun dapat menjadikan dalil tersebut jika merasa kritikan itu menjurus pada penghinaan dan pencemaran nama tanpa fakta atau tidak benar.
Tampaknya Isu tersebut BUKAN alasan yang tepat menjatuhkan Jokowi.
Gagal mengendalikan harga BBM dan LPG
Kenaikan harga BBM terjadi hampir di setiap jaman pemerintahan Presiden. Mungkin hanya Presiden B.J Habibie yang tidak mengalamai peristiwa ini mengingat umur pemerintahannya sangat pendek.
Setiap Presiden RI yang berkuasa terpaksa menaikkan harga BBM dan Gas setelah tak mampu lagi mengatasi subsidi akibat lonjajkan harga minyak dunia dan kelangkaan produksi atau stok di dalam negeri.
Minyak mentah yang didatangkan dari luar negeri harganya melonjak pesat akhir-akhir ini ekses perang Rusia-Ukraina. Begitu juga harga LPG. Mau tidak mau, suka tidak suka, hukum kesimbangan ekonomi terjadi meskipun menimbulkan dampak tidak puas pada pemerintah.
Situasi tidak puas seperti ini lumrah, terjadi di seluruh dunia, namun menjadikan isu ini untuk menggantikan Jokowi dari kasus ini BUKAN alasan yang logis.
Melanggar konstitusi untuk jabatan periode ke tiga
Terlepas dari menteri dan partai politik apa saja yang telah menggadang-gadang usaha merubah konstitusi tentang jabatan Presiden/Wapres, faktanya sejak dua bulan yang lalu Jokowi telah menyatakan secara eksplisit tidak ingin jabatan ke tiga.
Ironisnya para penentang Jokowi menganggap itu akal-akalan karena beberapa menteri dan pengurus partai Politik justru sedang mencari celah bagaimana bisa mensiasati 3 periode Jokowi bisa terealisasi.
Faktanya Presiden Joko Widodo berkali-kali menyampaikan "TIDAK" untuk 3 periode. Oleh karenanya isu ini TIDAK tepat dijadikan alasan menjatuhkan Jokowi.
Menunda Pemilu 2024
Para penentang Jokowi menduga masih ada siasat baru Jokowi, yakni menunda pemilu karena alasan pandemi, kekacauan dan sebagainya sehingga secara tidak langsung itu sama dengan memperpanjang masa jabatan Jokowi karena alasan darurat.
Faktanya dalam rapat kibinet terbatas 10/4/2022 Jokowi mengumumkan dan menegaskan bahwa Pemilu 2024 tetap jalan dan dilaksanakan pada 14 Februari 2024.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi terutama pengumuman pada 10 April 2022 adalah puncak jawaban dari seluruh keraguan selama ini.
Jawaban tersebut dikeluarkan menjelang aksi Demo BEM SI 2022. Jelas sekali itu adalah sebuah taktik dan serangan balik untuk para pembenci Jokowi yang sedang menyiapkan gerakan demo besar-besaran di bulan April 2022 (hari ini).
Taktik Jokowi bisa jadi membuat arah dan tujuan demo akbar BEM SI menjadi semacam "Demo April Mop" (meskipun bukan 1 April) karena kehilangan arwah menjadi kabur atau dilanda keraguan di bulan April.
Seluruh atribut-atribut yang tertuang dalam spanduk, baner, leaflet dan slogan bahkan dalam orasi demonstran mungkin akan diubah secara tiba-tiba dan ini berisiko kacau atau jadi "bantat" sehingga demo akbar bisa berubah menjadi Demo April Mop.
Di sisi lain, Jokowo dan seluruh atribut pemerintahannya bukanlah gading yang tak retak. Harus diakui Jokowi bukanlah Presiden untuk parati tertentu. Selain itu ada beberapa Menteri yang memerlukan perbaikan visi lebih baik hingga berakhirnya periode jabatan Presiden Joko Widodo.
Meskipun aksi tersebut akan dijamin keamanannya oleh petugas keamanan kemungkinan adanya penyusup yang ingin memanfaatkan kepolosan mahasiswa sebaiknya diantisipasi.
Anarkisme sering diawali dari anak-anak remaja yang tidak paham duduk masalahnya setelah dicekoki dengan informasi tertentu.
Jadi berdemolah dengan santun dan waspadai disusupi oleh pihak ketiga.
Masa depan Mahasiswa untuk memajukan negeri ini sangat kompetitif, pertajam pengetahuan atau setidaknya asah otak guna merebut posisi-posisi strategis di masa depan.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H