Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Konsep "The Devil is In The Details" di Balik Sukses Singapura Dalam Perjanjian FIR 2022-2047 RI - SIN

2 Februari 2022   15:03 Diperbarui: 3 Februari 2022   13:43 2154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi. Sumber: davidalangay.wordpress.com. Ditambah dan edit oleh Penulis

Ada 14 dokumen strategis perjanjian RI-SIN ditandatangani, satu diantaranya bertajuk "The FIR Realignment Agreement" di tandatangani di Bintan Regency, Kepulauan Riau 25 Januari 2022.

Hingga saat ini isi perjanjian tentang Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dengan Singapura belum dapat diakses apa dan bagaimana konten sesungguhnya. Perjanjian yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong itu masih sebatas informasi umum.

Beberapa informasi umum di dalam The FIR Realignment Agreement tersebut antara lain adalah :

  1. Penataan kembali area FIR Jakarta dengan menambah kawasan Kepulauan Riau dan Natuna
  2. Indonesia berhak menyelenggarakan Pelayanan Jasa Penerbangan (PJP) di kawasan berbatasan dengan kawasan Singapura dan memberikan delegasi pada Singapore (hingga 25 tahun ke depan) untuk mengelola PJP pada ketinggian 0 - 37.000 kaki (11,3 km) dengan tidak mengurangi hak Indonesia untuk melaksanakan hak sipil dan militer dalam kawasan tersebut.
  3. Kerjasama Civil and Military ATM Cooperation (CMAC) berupa jalur komunikasi aktif guna menjamin tidak ada pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia. Indonesia menempatkan delegasi sipil dan militer Singapore Air Traffic Control Center (SATCC) di bandara Changi dan sekitarnya.
  4. Singapura wajib menyerahkan "handling fees" untuk Indonesia pada pesawat-pesawat yang melintasi di kawasan Indonesia menuju atau dari Singapura. Untuk memonitor ini, indonesia menempatkan delegasi di sejumlah ATC Singapore.
  5. Indonesia berhak melakukan evaluasi apakah pelayanan jasa penerbangan yang dilaksanakan Singapura sesuai dengan "kepatuhan" terhadap ketentuan ICAO (The International Civil Aviation Organzation).

Menanggapi pencapaian tersebut, Menteri Perhubungan Karya Budi Sumadi mengucapkan puji syukur karena berhasil menjalankan amanat sesuai UU nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan nasional.

Selain Menteri Perhubungan, juga dihadiri oleh Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Investasi dan Maritim), Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan), Yasonna Laoly (Menteri Hukun dan HAM) .

Benarkah pemerintah Indonesia sukses atau menang didalam  The FIR Realignment Agreement antara Indonesia dengan Singapura atau hanya sekadar puas?

Di atas kertas betul ini adalah sebuah langkah yang lebih realistis dari sebelumnya. Realistisnya bukan saja dalam hal Handling fees tapi juga menempatkan personil yang akan memberi informasi berkala dan periodik kepada Kementerian Perhubungan tentang frekwensi dan jumlah pesawat yang melintasi kawasan Indonesia dari dan ke Singapura.

Akan tetapi ada beberapa kelemahan sangat mengental dibalik perjanjian yang dikemas Singapura dalam selimut berkonsep The Devil is in The Details, yaitu :

Delegasi Indonesia yang ditempatkan di CMAC dan ATC nanti akan mendapatkan hak akses seperti apa? Apakah cuma formalitas atau seperti apa?

Apakah perjanjian ini harus "barter" dengan hak Angkatan Udara Singapura menguasai ruang udara Indonesia di kawasan tertentu? Jika ini terjadi maka Indonesia sesungguhnya bukan mendapat Handling Fees dari pengelolaan sebagian FIR Jakarta (sektor A, B dan C) tapi mendapatkan harga sewa ruang udara Indonesia untuk angkatan udara Singapura. 

Singapura mengelola PJP di sektor A,B dan C pada ketinggian nol hingga 37 ribu kaki (lebih kurang 11,3 km). Standard deviasi untuk batasan ini bisa mencapai 1 km, itu artinya Singapura mengelola PJP hingga 12 km. Itu artinya Indonesia mengelola PJP di atas 12 km.

Seberapa banyak pesawat yang melintasi di atas 12 km? Mengingat Bandara Changi adalah pusatnya lalu lintas penerbangan dunia maka akan sangat banyak pesawat yang justru menurunkan ketinggian (di bawah 12 km) untuk mencapai bandara Changi. 

Praktis yang tersisa adalah pesawat tempur, pesawat pembom atau beberapa pesawat kargo dan penumpang saja yang melintasi di atas ketinggian 12 km di kawasan tersebut.

Ironisnya ini akan terjadi hingga 25 tahun ke depan alias hingga tahun 2047 maka pemberian hak di atas 12 km ke Indonesia hanya formalitas saja, kurang berdampak ekonomis bagi Indonesia.

Evaluasi Indonesia pada Singapura agar sesuai dengan ketentuan ICAO, apakah ini merupakan "Jebakan Batman?" 

ICAO justru memberi mandat pada Singapura untuk mengelola kawasan udara sektor A, B dan C sesuai dengan kesepakatan "sepihak" Inggris atas nama Singapura pada konverensi ICAO di Dublin, Irlandia 1946.

Sektor A mencakup kawasan udara Batam. Sektor B mencakup kawasan udara Tanjung dan sektor C mencakup kawasan kepulauan Natuna.

Sumber : opentransportationjournal.com
Sumber : opentransportationjournal.com

Kawasan udara inilah yang dikuasai Singapura sejak dulu kala tepatnya sejak 1946 ketika Indonesia dianggap oleh para "dedengkot" ICAO saat itu belum mampu, belum sanggup, belum punya peralatan, belum ahli dan mungkin masih dianggap bodoh. 

Sebuah kesan minor tempo doeloe dianggap masih melekat pada bangsa kita hingga saat ini. 

Waktu terus berlalu hingga 76 tahun, Indonesia telah maju di berbagai bidang namun mengapa kesan minor di atas masih melekat, Singapura tidak mau melepas dengan ikhlas FIR di sektor A, B dan C kepada Indonesia.

Kali ini Singapura bukan mengedepankan isu minor tempo doeloe tapi bermain strategi pada aturan international secara mendetail. Sebuah kartu as atau kartu truf  atau senjata senjata ampuh untuk mematahkan lawan. 

Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail bisa dipastikan akan menjadi sasaran empuk dalam negosiasi apapun. 

Singapura tahu persis kebiasaan sebagian orang Indonesia tidak suka pada hal-hal yang mendetail dan sistematis. Mereka tahu menerapkan peribahasa "The Devil is in the Details" termasuk mempertahankan kekuasan bandara hub Changi secara taktis. 

Dengan berbagai cara "Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia," ujar Hikmahanto Juwana guru besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia.

Dengan menambah "bumbu-bumbu" jaminan keselamatan penerbangan yang diamanatkan oleh dedengkot-dedengkot di ICAO, Singapura akhirnya tetap menang dalam negosiasi hingga 2047.

Pada 2018 Singapura menyerahkan kawasan Natuna kepada ATC Natuna untuk mengelola PJP di bawah 10 ribu kaki (di bawah 3 km). Sialnya ternyata hanya ada 2% pesawat yang melintasi Tanjung Pinang di bawah 10 ribu kaki dari total 10.645 pesawat yang melintasi kawasan tersebut, karena pada posisi 100 - 250 Nm pesawat yang akan mendarat di Changi justru masih di atas 3 km. Sumber: OpenTransportationJorunal.

Meskipun bukan sebuah kemenangan kita musti akui kepuasan ini melalui proses yang panjang, telah diperjuangkan dari sejak dulu kala. Artinya ini dicapai bukan dengan cara yang mudah.

Sambil menghibur diri dan menanti datangnya 2047 sebaiknya perjanjian di atas dimonitor serius agar dapat terlaksana dengan benar, tidak terjungkal oleh kartu-kartu truf baru dibalik peribahasa The Devils are in the Details dalam konsep Singapura berikutnya.

abanggeutanyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun