Singapura mengelola PJP di sektor A,B dan C pada ketinggian nol hingga 37 ribu kaki (lebih kurang 11,3 km). Standard deviasi untuk batasan ini bisa mencapai 1 km, itu artinya Singapura mengelola PJP hingga 12 km. Itu artinya Indonesia mengelola PJP di atas 12 km.
Seberapa banyak pesawat yang melintasi di atas 12 km? Mengingat Bandara Changi adalah pusatnya lalu lintas penerbangan dunia maka akan sangat banyak pesawat yang justru menurunkan ketinggian (di bawah 12 km) untuk mencapai bandara Changi.
Praktis yang tersisa adalah pesawat tempur, pesawat pembom atau beberapa pesawat kargo dan penumpang saja yang melintasi di atas ketinggian 12 km di kawasan tersebut.
Ironisnya ini akan terjadi hingga 25 tahun ke depan alias hingga tahun 2047 maka pemberian hak di atas 12 km ke Indonesia hanya formalitas saja, kurang berdampak ekonomis bagi Indonesia.
Evaluasi Indonesia pada Singapura agar sesuai dengan ketentuan ICAO, apakah ini merupakan "Jebakan Batman?"
ICAO justru memberi mandat pada Singapura untuk mengelola kawasan udara sektor A, B dan C sesuai dengan kesepakatan "sepihak" Inggris atas nama Singapura pada konverensi ICAO di Dublin, Irlandia 1946.
Sektor A mencakup kawasan udara Batam. Sektor B mencakup kawasan udara Tanjung dan sektor C mencakup kawasan kepulauan Natuna.
Kawasan udara inilah yang dikuasai Singapura sejak dulu kala tepatnya sejak 1946 ketika Indonesia dianggap oleh para "dedengkot" ICAO saat itu belum mampu, belum sanggup, belum punya peralatan, belum ahli dan mungkin masih dianggap bodoh.
Sebuah kesan minor tempo doeloe dianggap masih melekat pada bangsa kita hingga saat ini.
Waktu terus berlalu hingga 76 tahun, Indonesia telah maju di berbagai bidang namun mengapa kesan minor di atas masih melekat, Singapura tidak mau melepas dengan ikhlas FIR di sektor A, B dan C kepada Indonesia.