Kali ini Singapura bukan mengedepankan isu minor tempo doeloe tapi bermain strategi pada aturan international secara mendetail. Sebuah kartu as atau kartu truf atau senjata senjata ampuh untuk mematahkan lawan.
Bila lawan negosiasi tidak suka dengan urusan detail bisa dipastikan akan menjadi sasaran empuk dalam negosiasi apapun.
Singapura tahu persis kebiasaan sebagian orang Indonesia tidak suka pada hal-hal yang mendetail dan sistematis. Mereka tahu menerapkan peribahasa "The Devil is in the Details" termasuk mempertahankan kekuasan bandara hub Changi secara taktis.
Dengan berbagai cara "Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia," ujar Hikmahanto Juwana guru besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia.
Dengan menambah "bumbu-bumbu" jaminan keselamatan penerbangan yang diamanatkan oleh dedengkot-dedengkot di ICAO, Singapura akhirnya tetap menang dalam negosiasi hingga 2047.
Pada 2018 Singapura menyerahkan kawasan Natuna kepada ATC Natuna untuk mengelola PJP di bawah 10 ribu kaki (di bawah 3 km). Sialnya ternyata hanya ada 2% pesawat yang melintasi Tanjung Pinang di bawah 10 ribu kaki dari total 10.645 pesawat yang melintasi kawasan tersebut, karena pada posisi 100 - 250 Nm pesawat yang akan mendarat di Changi justru masih di atas 3 km. Sumber: OpenTransportationJorunal.
Meskipun bukan sebuah kemenangan kita musti akui kepuasan ini melalui proses yang panjang, telah diperjuangkan dari sejak dulu kala. Artinya ini dicapai bukan dengan cara yang mudah.
Sambil menghibur diri dan menanti datangnya 2047 sebaiknya perjanjian di atas dimonitor serius agar dapat terlaksana dengan benar, tidak terjungkal oleh kartu-kartu truf baru dibalik peribahasa The Devils are in the Details dalam konsep Singapura berikutnya.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H