Di sini saya mengambil kesimpulan, istri saya akan ikut suami kemanapun pergi. Dengan kata lain menjadi ibu rumah tangga saja, yang penting bisa ngumpul. Biar orang berkata "sarjana kedokteran kok jadi ibu rumah tangga saja.."
Pilihan saya ketika itu benar, karena kami di provinsi KB hanya 2 tahun. Aktifitas istri saya lebih banyak mengurus dan mendidik anak-anak kami.
Setelah itu saya kena mutasi lagi, kembali ke provinsi Aceh untuk ke dua kali dalam kondisi yang telah berbeda dalam segala hal setelah 21 tahun (dua dekade lebih)saya tinggalkan.
Di sinilah terakhir tempat saya "mengembara" sekaligus menjalani masa pensiun dini dengan cara sangat tidak siap yang tidak perlu saya utarakan dalam artikel ini karena menyangkut tentang orang lain dan tempat saya bekerja.
Intinya saya "terhenti" di Aceh sehingga tanpa gaji lagi, tanpa fasilitas lagi, tanpa bonus, tanpa jaminan kesehatan dan paling terasa tanpa THR lagi.
Berbekal sisa uang pesangon yang telah dipotong ratusan juta rupiah untuk menanggung beban yang sesungguhnya bukan urusan saya, kami berusaha mandiri. Membangun usaha kuliner, tapi ini pun ternyata tidak jalan. Ratusan juta rupiah melayang karena rugi, tidak sesuai harapan.
Di sinilah baru timbul kesadaran tentang sebuah penyesalan.
Bukan..., bukan tentang mengapa saya harus pensiun atau terhenti dengan cara tidak wajar, tapi tentang istri saya.
Andaikan waktu bisa berputar kembali, jika saja dahulu saya tidak egois -dan sejumlah jika-jika lainnya- mungkin ceritanya akan lain.
Seharusnya saya memberikan suport, sokongan, keberanian dan pengorbanan agar istri saya buka praktek menyalurkan disiplin ilmunya atau mengikuti testing penerimaan pegawai (negeri atau swasta).
Fakta telah berkata lain, waktu yang berlalu tak bisa kembali lagi termasuk sejarah (kisah) yang tertulis di dalamnya.