Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jangan Korbankan Karir Istri, Nikmati Saja LDR Anda

22 Desember 2021   12:26 Diperbarui: 22 Desember 2021   13:15 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi dari familyfirstindonesia.org. Ditambahkan oleh penulis.

Tahun 1990 saya baru tamat kuliah  di kota Medan belum bekerja. Kemudian saya "merantau" ke Jakarta pada 1991 dan akhirnya memperoleh pekerjaan yang tergolong sangat  lumayan. 

Empat tahun di Jakarta saya minta dimutasi ke kota Medan agar dekat dengan calon istri saya. Perusahaan tempat saya bekerja sangat memahami hal tersebut, saya pun mendapat izin pindah ke kota Medan pada tahun 1995.

Beberapa bulan kemudian (masih di tahun 1995) kami pun menikah. Sejak saat itu secara finansial saya berusaha bertanggung jawab termasuk membiayai kuliah sampai jadi dokter muda (koas) hingga tamat jadi dokter, kemudian memperoleh STR beberapa bulan kemudian.

Kami pernah mengalami apa yang disebut LDR (long distance relationship) alias hubungan jarak jauh ketika saya dimutasi ke Aceh pertama sekali pada akhir 1995, beberapa bulan setelah menikah. 

Saat itu belum ada telepon pintar sehingga komunikasi hanya melalui telepon rumah atau ke warung telekomunikasi (wartel).

Sekali-sekali berbalas kirim surat agar  hati tetap mantap jiwa dan tentu saja kirim wesel agar perkuliahan lancar jaya.

Setelah jadi dokter istri saya mengikuti program Pegawai Tidak Tetap (PTT) ke Aceh agar kembali dekat dengan saya. 

Baru saja istri saya menjalani PTT selama tiga bulan di Aceh saya pun ditpindahkan kembali ke kota Medan. 

Kami pun LDR kembali hampir dua tahun lamanya.

Meskipun banyak pasangan lain mengalami LDR terpisah ribuan km atau terpisah antar negara bahkan antar benua namun LDR saya rasakan sangat berat. 

Ditambah lagi kondisi keamanan sangat kacau saat itu ketika Aceh dilanda kekacauan sparatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kami tak bisa saling berkunjung leluasa.

PTT yang berat itu pun selesai. 

Persoalan baru pun tiba. Baru saja bisa menyatu selama 1 tahun di kota Medan saya kembali di mutasi ke provinsi lain (R) sehingga niat buka praktek mandiri diurungkan.Kami pindah ke sana.

Hampir tiga tahun di Provinsi R  saya dimutasi lagi ke provinsi (JB). Kami pun boyongan kembali. 

Di Provinsi JB saya sempat urus administrasi agar izin praktek bisa terbit. Kartu anggota IDI kota Bandung terbit. Surat Ijin Praktek (SIP) sedang diurus.  

Kami berniat menggunakan sebuah kios yang berlokasi di sebelah rumah dinas saya untuk tempat praktek istri saya. Kami menginventarisir peralatan dan disain serta rencana sewa kiosnya ketika itu. Sangat terjangkau, tinggal beranikan diri saja.

Menjelang rencana sewa saya mendapat kabar dari kantor mutasi lagi ke provinsi KB. 

"Tidak boleh menolak jika dapur masih mau ngepul," kira-kira seperti itulah perasasan psikologis saya rasakan.

Mengingat sangat banyak tanggung jawab moral terhadap orang-orang di bawah saya -akhirnya-saya putuskan terima mutasi kembali.

Harapan buka praktek mandiri bersemi kembali,namun terbentur oleh kebijakan IDI. Katanya ijin praktek musti mengikuti ujian lagi guna memperoleh Surat Kompetensi.

"Oh my god.." sesuatu yang sangat sulit mengingat sekian lama sudah istri saya meninggalkan materi kuliahnya dan ia tidak yakin lulus sehingga memutuskan tidak akan urus Surat Kompetensi lagi.

Di sini saya mengambil kesimpulan, istri saya akan ikut suami kemanapun pergi. Dengan kata lain menjadi ibu rumah tangga saja, yang penting bisa ngumpul. Biar orang berkata "sarjana kedokteran kok jadi ibu rumah tangga saja.."

Pilihan saya ketika itu benar, karena kami di provinsi KB hanya 2 tahun. Aktifitas istri saya lebih banyak mengurus dan mendidik anak-anak kami. 

Setelah itu saya kena mutasi lagi, kembali ke provinsi Aceh untuk ke dua kali dalam kondisi yang telah berbeda dalam segala hal setelah 21 tahun (dua dekade lebih)saya tinggalkan.

Di sinilah terakhir tempat saya "mengembara" sekaligus menjalani masa pensiun dini dengan cara sangat tidak siap yang tidak perlu saya utarakan dalam artikel ini karena menyangkut tentang orang lain dan tempat saya bekerja.

Intinya saya "terhenti" di Aceh sehingga tanpa gaji lagi, tanpa fasilitas lagi, tanpa bonus, tanpa jaminan kesehatan dan paling terasa tanpa THR lagi.

Berbekal sisa uang pesangon yang telah dipotong ratusan juta rupiah untuk menanggung beban yang sesungguhnya bukan urusan saya, kami berusaha mandiri. Membangun usaha kuliner, tapi ini pun ternyata tidak jalan. Ratusan juta rupiah melayang karena rugi, tidak sesuai harapan.

Di sinilah baru timbul kesadaran tentang sebuah penyesalan. 

Bukan..., bukan tentang mengapa saya harus pensiun atau terhenti dengan cara tidak wajar, tapi tentang istri saya.

Andaikan waktu bisa berputar kembali, jika saja dahulu saya tidak egois -dan sejumlah jika-jika lainnya- mungkin ceritanya akan lain.

Seharusnya saya memberikan suport, sokongan, keberanian dan pengorbanan agar istri saya buka praktek menyalurkan disiplin ilmunya atau mengikuti testing penerimaan pegawai (negeri atau swasta).

Fakta telah berkata lain, waktu yang berlalu tak bisa kembali lagi termasuk sejarah (kisah) yang tertulis di dalamnya.

Akhirnya kami kembali ke kota M untuk memulai lagi hidup dari awal. Dengan bersusah payah akhirnya anak pertama kami lulus kuliah dan telah diwisuda pada awal Desember 2021, namun tanggung jawab dan perjuangan masih panjang, dua orang lagi akan tamat SMP dan SMK tahun depan.

Kami mungkin masih beruntung karena masih ada yang dapat dijual  mulai kendaraan, tanah dan rumah yang layak dijual guna meneruskan sejumlah perjuangan hingga saat ini.

Selain itu kami mungkin beruntung karena (hingga kini) dapat mengasuh anak-anak kami dengan penuh perhatian meskipun secara finansial sudah tidak sama seperti dulu lagi.

Bagaimana jika sisa-sisa kekuatan itu tidak punya? Akan lebih berat sekali bukan?.

Pesan moral dari kisah pribadi di atas adalah :

Sebaiknya TIDAK mengorbankan karir pasangan kita, terutama suami jangan korbankan karier istri. Sepantasnya karier istri dibantu agar suatu saat juga dapat membantu perekonomian keluarga jika sewaktu-waktu terjadi insiden pada kepala keluarga (suami).

Merasa minim perhatian dalam mengasuh atau merawat anak atau getirnya menjalani LDR semua akan ada batasnya.

Suatu saat badai pasti berlalu,  akan menyatu kembali selama masing-masing pihak teguh, seiya sekata alias setia, uhhuuuk.. (maaf saya tersedak).

Ibu pekerja atau istri bekerja umumnya pasti mengalami dua sisi keinginan yang tidak bisa disatukan dalam satu ketika yang disebut "dilema."

Antara karier dan keluarga butuh pengorbanan di awal tapi akan manis di akhirnya.

Jadi para suami jangan korbankan karir istri Anda, kecauali Anda punya bekal simpanan yang sangat luar biasa.

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun