Di sisi lain, voorijder dadakan memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Meliuk-liuk "membelah" keramaian jalan sambil melihat kiri dan kanan dan sekali-sekali ke belakang melihat ambulan yang dibelakangnya lolos kemacetan sehingga lekas tiba di tujuan.
Ruang jalan yang telah lebar dilalui ambulans seakan masih kurang lebar. Terlambat menepi risikonya tinggi. Mobil lecet, kaca spion patah atau bodi peyot.
Jika terjadi kecelakaan dalam pengawalan amatiran seperti itu, pada siapa meminta pertanggung jawaban? Nyaris tidak ada yang perduli.
Namun itu tidak seberapa dibandingkan dengan potensi bahaya yang bisa terjadi pada orang lain. Beberapa pengendara motor wanita ada yang sampai terjatuh akibat grogi.
Meskipun menjadi Voorijder dadakan spontanitas tapi pengantaran dan pengawalan seperti ini TIDAK dibutuhkan.
Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, siapapun kini tahu, mobil ambulans yang sedang menjalankan tugas (tidak termasuk ambulans membawa batu).
Ambulan tidak perlu lagi dikawal voorijder dadakan apalagi dikawal sekelompok pengantar jenazah agresif pembuat anarkis, penganggu ketertiban di jalan raya mirip cara-cara peradaban primitif.
Tentu saja tidak semua pengantar jenazah itu agresif tapi pertunjukan primitif itu kini semakin parah terjadi saat mengantar jenazah.
Hukum rimba di jalan raya telah lama dipraktekkan rombongan convoi manapun di negeri ini tapi hukum rimba seperti ini tidak tepat dipraktekkan dalam acara antar jenazah ataupun saat kawal ambulan.
Jika arwah jenazah dapat melihat pasti mereka TIDAK butuh jenazah mereka dikotori kebencian, anarkis dan premanisme oleh sekelompok orang dalam pelepasan mereka ke tempat peristirahatan terakhir.
Berikut contoh pengotoran terhadap jenazah oleh pengantar dan pengawal jenazah di beberapa lokasi :