Aneka media berita kini sedang hangat memberitakan deadlock-nya persidangan pertama Habieb Rizieq Shihab (HRS) yang angkat kaki atau walk out dari salah satu ruangan sidang di Bareskrim Mabes Polri pada 16/3/2021.
Sekadar mengulangi, HRS hengkang dari "panggung" persidangan itu karena (kuasa hukumnya) menolak persidangan virtual. HRS dan tim pembelanya dipimpin Munarman, SH bersikeras agar persidangan tersebut berjalan secara langsung di ruang pengadilan negeri Jakarta Timur.
Mereka merasa didisrkiminasi dibanding dengan sejumlah persidangan lain sebelumnya terlaksana di ruangan pengadilan. Selain itu HRS dan tim pembelanya ingin memperlihatkan pada "dunia" proses jalannya persidangan secar terbuka, bukan persidangan virtual yang diragukan kualitas tayangannya baik secara audio maupun video.
Apapaun di balik alasan HRS dan pembela hukumnya apakah boleh meninggalkan ruang sidang pengadilan begitu saja sebelum sidang ditutup secara aturan?
Mengacu kepada sejumlah Tata Tertib Persidangan Negeri di berbagai daerah hampir sama redaksi aturannya.
Tata Tertib persidangan di PTUN se Indonesia juga senada konten dan narasinya karena mengacu kepada tata tertib yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi RI yaitu PMK nomor 19 Tahun 2009. Peraturan tersebut sekaligus menggantikan tata tertib sebelumnya yang dinilai sudah kurang kompatibel dengan perkembangan jaman yakni 03/PMK/2003.
Di dalam BAB 1, Pasal 2 butir (4) berbunyi : "Persidangan dilakukan dengan tertib, aman, lancar dan berwibawa."
Di dalam BAB 3, Pasal 5 butir (2i) berbunyi : Pengunjung (juga berlaku untuk para Pihak, Saksi dan ahli) DILARANG melakukan perbuatan atau tingkah laku yang dapat menganggu persidangan atau yang dapat merendahkan martabad Hakim
Pada Pasl 5 (point 2j) berbunyi : Dilarang memberikan ungkapan atau pernyataan dalam persidangan yang isinya berupa ancaman terhadap independesi Hakim dalam memutuskan perkara.
Mengacu pada aturan di atas, dalam ruang sidang di Pengadilan Negeri manapun di tanah air berlaku ketentuan sangat mirip dengan PMK nomor 19/2009 di atas, beberapa diantaranya adalah : Siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan.
Selain itu juga terdapat sanksi. Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana tercantum diatas bersifat suatu tindak pidana, tidak tertutup kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya.
Apa yang telah dipertontonkan HRS dan kuasa hukumnya memaksakan kehendaknya dengan perbuatan walk out sama saja dengan merendahkan kehormatan pengadilaan di tanah air atau biasa disebut dengan Contempt of Court.
Meskipun beberapa opsi dan interupsi dilakukan Munarman dkk terkait hak HRS (seperti meminta sidang TIDAK digelar secara virtual dan diskriminatif) tidak dipenuhi Hakim seyogyanya tidak memaksakan haknya apalagi dengan mengangkangi peraturan PMK sebagai mana disebutkan di atas.
Di sejumlah negara lain Contempt of Court (CoC) adalah upaya tidak patuh atau tidak hormat terhadap Pengadilan dan Aparaturnya. Tindakan tersebut dianggap sebagai gangguan terhadap jalannya fungsi pengadilan.
Meskipun prosedur untuk memutuskan mereka bersalah atau dihukum berbeda dengan prosedur untuk kejahatan biasa tapi para Hakim di sejumlah negara punya kekuatan hukum dapat menjatuhkan hukuman terhadap siapapun yang melakukan penghinaan di pengadilan. Hukuman itu bisa dibebaskan JIKA tersangka menyetujui (koperatif) pada sidang berikutnya.
Sejumlah negara lain mungkin menyebut nama berbeda dan hukuman berbeda tetapi pada umumnya menetapkan tindakan berkategori CoC adalah tindakan menghina pengadilan.
Menurut sebuah jurnal berjudul "Law Commission Consultation Paper No 209 CONTEMPT OF COURT Summary for non-specialists" yang dapat di download di sini mempresisi bentuk-bentuk tindakan berkategori CoC di Inggris dan Wales, salah satu diantaranya adalah : "Creating a disturbance elsewhere (such as in the corridor outside the courtroom) so that the court hearing is disturbed." (kurang lebih : menimbulkan gangguan di tempat lain (seperti di koridor di luar ruang sidang) sehingga menganggu jalannya persidangan).
Ahh.. mungkin itu hanya pemahaman di luar negeri, ini kan Indonesia. Ternyata pemahamannya juga tidak jauh berbeda.
Konotasi merendahkan Pengadilan dan Hakim (CoC) sesungguhnya mengacu pada terminologi yang terdapat dalam Undang-Undang nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu tindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku dan sikap atau ucapan yang dapat merendahan, merongrong kewibawaan dan martabad badan peradilan."
Kompas.com edisi 2/8/2019 menulis pendapat mantan Wakil Mahkamah Agung, Sunarto. Menurutnya pengertian Contempt of Court itu mempunyai makna yang absurd karena masyarakat keliru mengartikannya. Yang direndahkan itu BUKAN badan pengadilannya tetapi justru KEADILAN itu sendiri.
"Sesungguhnya dalam contempt of court, keadilan itu sendiri yang dicemoohkan, bukan pengadilan sebagai sebuah badan, bukan hakim," ujar Sunarto seraya menambahkan ketentuan tentang contempt of court telah ditetapkan dalam beberapa pasal KUHP.
Tetapi ancaman contempt of court kini jadi samar-samar akibat hak kebebasan mengeluarkan pendapat, transparansi dan kontrol yudisial.
Jika betul apa yang disebutkan Sunarto dan sejumlah pemahaman di luar negeri tentang terminologi CoC mungkinkah Munarman dan HRS merendahkan KEADILAN, walaupun (mungkin) tidak bermaksud merendahkan Badan Pengadilan itu sendiri.
Sayangnya merendahkan Badan Pengadilan atau merendahkan Kadilan sama-sama memiliki sanksi sebagaimana disebutkan di atas, terlepas tujuan khusus HRS dan pembela hukumnya adalah melawan kezaliman dan angkara murka.
Jika dalam perlawanan itu yang dihadapi adalah negara, pemerintahan dan sistem hukumnya serta sebagaian besar masyarakat pendukung sistem tersebut maka -secara teoririts- akan sangat sulit mengalahkannya. Konsekwensinya mungkin sama dengan menambah daftar deretan tuduhan yang bermuara pada beban hukuman yang semakin berlipat ganda.
Semoga dugaan itu tidak terjadi dan beharap pada sidang berikutnya HRS dan tim hukumnya akan kooperatif mengikuti tata tertib sidang.
Di sisi lain sidang non virtual atau secara langsung bisa diakomodir (tanpa merasa ada paksaan). Hakim dan Jaksa untuk persidangan HRS berikutnya disesuaikan kembali jika tidak melanggar undang-undang.
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H