Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Dikeroyok Saat Mengajar di Kelas, Gejala Apa Lagi Ini?

5 September 2019   19:23 Diperbarui: 5 September 2019   20:46 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Anda seorang pengajar dan sedang menjalankan tugas mengajar anak didik lalu tiba-tiba datang seseorang atau beberapa orang menganiaya Anda di dalam kelas dihadapan puluhan peserta didik (siswa-siswi) sampai bonyok, apakah perasaan Anda merasa terluka?

Jika itu terjadi pada (maaf) ibu Anda, kakak, adik, saudara atau tetangga dan handai tolan apakah Anda hati juga merasa terluka?

Kedua masalah itu jawabannya pasti terluka, setidaknya hati nurani kita pasti tidak dapat terima perlakuan tersebut. Selain tidak dapat diterima nurani, akal sehat pun mengatakan perbuatan itu hanya mampu dilakukan oleh jenis manusia berkarakter barbar jika tak pantas disebut berkarakter hewan.

Peradaban primitif sekalipun menghargai etika setidaknya tidak menyerang entitas lain selama posisi mereka tidak membahayakan atau terganggu.

Tapi faktanya itu terjadi dan dialami Astiah seorang ibu guru yang sedang mengajar di SD Negeri Pa'banjang, kecamatan Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan. 

Peristiwanya terjadi kemarin 4/9/2019 siang adalah buntut perkelahian sesama siswa di dalam kelas yang terjadi sehari sebelumnya (Selasa 3/9). Astiah mendamaikan kedua siswanya dan dianggap persoalan telah selesai sehingga proses belajar mengajar berjalan normal pada pagi hingga siang Rabu 4/9/2019.

Penyerangan terhadap ibu Astiah. Gambar : tribunnews.com
Penyerangan terhadap ibu Astiah. Gambar : tribunnews.com
Tanpa diduga 4 orang (terdiri dari 2 wali murid dan masing-masing dibantu 2 anak mereka) melabrak Astiah dihadapan sejumlah siswa yang terperangah dan ketakutan melihat situasi ribut-ribut tersebut.

Sambil menjerit-jerit kedua orang tua siswa (ditonton guru lainnya) mempertanyakan kenapa anak yang lain tidak dihukum lalu kenapa anak mereka saja yang dihukum. Belum selesai Astiah memberi penjelasan kedua wali murid (perempuan) menarik jilbab dan bajunya. Sejurus kemudian Astiah dipukuli wajahnya (ditampar) dihadapan murid yang tadinya terpaku menjadi ikut histeris. 

Beberapa guru yang datang merelai tak mampu menahan gempuran penyerang yang awalnya cuma berkacak pinggang mengancam. Ia tidak terima anaknya diperlakukan dengan hukuman secara sepihak. Selengkapnya peristiwa itu (jika mau lihat) dapat dilihat di Youtube yang kini sedang viral di dunia maya.

Tidak lama setelah itu penganiaya berlalu. Astiah berwajah lebam melapor ke Polsek Somba Opu. Pihak polsek telah melakukan penangkapan terhadap kedua pelaku dan sedang didalami duduk perkaranya, belum ditetapkan sebagai tersangka.

Begitulah kondisi masa kini, sesuatu yang tidak terbayangkan beberapa puluh tahun lalu kini jadi kenyataan. Puluhan tahun tak pernah terbayangkan seorang guru dimarahi oleh orang tua siswa tapi kini terjadi sebaliknya.

Dahulu hampir tak terdengar tenaga pengajar dianiaya atau dipukuli tapi kini terjadi beberapa kasus penganiayaan terhadap guru bahkan ada guru yang dibunuh oleh siswanya sendiri seperti dialami Ahmad Budi Cahyono, guru seni lukis di SMA Negeri 1 Torjun, Sampang pada 1/2/2018 silam.

Bapak guru itu ditinju oleh muridnya hingga tersungkur. Beberapa jam setelah tiba dirumah dia pusing-pusing lalu tewas akibat mati batang otak (MBO). Sumber : kompas.com.

Kekerasan lainnya sangat banyak, salah satu yang mirip dengan kasus Astiah pernah dialami juga Astri Tampi (57) guru di SMP N 4 Lolak Kecamatan Lolak pada pada 13/8/2018 lalu. Ibu guru ini dihajar oleh orang tua muridnya dengan meja kearah kepalanya hingga bocor darah segar mengucur deras.

Beberapa kasus kekerasan lainnya juga banyak hingga mengambil korban jiwa diantaranya adalah kasus hilangnya nyawa guru di Madura dan seorang dosen di Medan beberapa waktu lalu.

Seorang psikolog UGM, Novi Chandra melihat kasus-kasus penganiayaan terhadap guru dari sudut pandang teori ekologi Bronfenbrenner, bahwa faktorn penyebabnya tidak semata-mata akibat guru tetapi akibat banyak sistem dari sistem sekolah, sistem keluarga, sosial, masyarakat dan budaya. 

Sementara itu, Irna Minauli psikolog lainnya yang melakukan penelitian kekerasan terhadap guru menyimpulkan kekerasan terhadap guru terjadi akibat guru ingin menerapkan disiplin terhadap muridnya tapi murid (termasuk wali murid -red) tidak terima. 

Irna mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap guru yang terjadi berupa Fisik dan Nonfisik. Secara fisik  terjadi 9% berupa ancaman kekerasan dan 5% serangan fisik.  Sedangkan dalam bentuk nonfisik mencakup penyebutan nama tanpa embel-embel "Pak" atau "Bu", dihinakan, difitnah hingga dicuri atau dirusak barang-barang miliknya. Selengkapnya liha di kitakini.news edisi 26 Februari 2019.

Memang diakui ada juga kasus bapak atau ibu guru atau dosen (sebut saja tenaga pengajar) yang tidak memperlihatkan karakter pengajar. Dengan segudang persoalan internal yang terjadi padanya juga terjadi kasus penganiayaan guru terhadap murid akan tetapi jumlahnya tidak signifikan. 

Meski tidak signifikan sebaiknya korps PGRI harus merapatkan barisan membentuk citra guru tauladan dambaan pendidikan Indonesia kini dan masa depan sehingga tdak dikotori oleh sejumlah oknum guru yang mencoreng citra PGRI.

Melalui peristiwa yang dialami ibu Astiah akankah membuat semangat mengajar Astiah-astiah lainnya merasa tercampakkan atau terhina? Tentu saja tidak karena korps Guru Indonesia adalah abdi negara yang jiwa mengajarnya tak lekang oleh waktu dan tak pudar oleh ancaman apapun demi mendidik cikal penerus bangsa ini.

Kepada pihak berkompeten kiranya dapat memberi efek jera pada siapapun yang memperlakukan guru dengan cara hukum rimba bar-bar atau dengan cara mirip hewan. Hukuman setimpal dari masyarakat juga perlu diberikan pada orang-orang yang memperlakukan guru secara hina. 

Sebab jika ditanggapi dengan "selow-selow saja" pasti tidak akan menimbulkan efek jera. Dikhawatirkan akan terjadi pengganiayaan atau penghinaan terhadap Astiah-Astiah lain dan akhirnya hal itu dianggap biasa-biasa saja.

Mengurai siapa yang salah adalah bagaikan bertanya siapa duluan ada telur ayam atau ayam, pasti menyisakan peredebatan sengit tiada akhir sesuai teori masing-masing. Sama halnya dalam hal ini menanyakan akar masalah fenomena ini juga sama rumit menjawabnya meski pada umumnya menjawab kesalahan sistemik.

Daripada sibuk mencari kesalahan lebih baik mari kembalikan warwah dan jati diri pengajar kita pada posisi semula yaitu  tenaga pendidik bangsa yang perlu dijunjung tinggi dedikasinya. Di sisi lain para guru sendiri harus mampu menjaga dan merawat pemberian posisi tersebut dengan penuh tanggung jawab.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun