Tak enak lama-lama di sana kami pun berangkat lagi.
Dekat sebuah masjid malah ia mengingatkan saya, "bapak tidak sembahyang dulu (maksudnya shalat). Dari tadi saya lihat gak sembahyang.." ujarnya pada saya.
Saya yang dari tadi juga berniat shalat jamak qashar ke Ashar jadi bersemangat berhenti.
"Terimakasih pak Markoni. Baik... Bapak mau dimobil aja atau mau duduk-duduk dekat pohon sana dekat parkiran,?" tanya saya. Dia menjawab di mobil saja sambil jaga mobil katanya. Mobil saya parkir agak jauh di tempat parkir.
Selesai shalat masuk kemobil.. Ada aroma tidak aneh dari dalam mobil.
Saya tahu pak Marconi pasti menyempatkan diri menghisap rokoknya di dalam mobil tadi. Sengaja di dalam sambil buka kaca lebar-lebar agar tidak menyolok dilihat orang di masjid itu.
Tapi hal itu tidak saya tanyakan padanya karena saya tahu ia telah berkorban 6 jam menahan haus dan lapar serta rokok dan kopinya demi menjaga saya berpuasa.
Jam 18.00 sore kami tiba di kota Sambas. Rekan kerja sudah menanti di sana dan kami pun buka puasa bersama di sana di sebuah lokasi dekat sebuah danau yang tidak terlihat dari jalan besar, kalau tak salah Danau "Sebedang" namanya dan itu adalah satu-satunya danau di Sambas.
Kami (3 muslim dan 3 non muslim) berbuka puasa ditepi danau yang indah itu dalam siraman gerimis hujan membasahi bumi Sambas di tepi danau itu seakan-akan ikut menikmati keragaman dalam kebersamaan yang tidak terduga.
Tidak terduga karena sejak berangkat dari Pontianak saya tak menyangka pak Markoni sangat menjaga ibadah dan kekusyukan saya sedang menjalankan ibadah. Bahkan tak menyangka ia memberikan dorongan moral mengingatkan shalat (sembayang katanya).
Lebih tak terduga lagi teman-teman di sana telah menyiapkan acara berbuka puasa bersama diselingi makanan ikan khas setempat (lupa namanya) dalam keanekaragaman kepercayaan.