Ini adalah kisah nyata penulis alami saat bertugas di Kalimantan Barat beberapa tahun silam dimana salah satu rekan kerja saya adalah putra asli setempat non muslim dari Suku Dayak Ahe, namanya Markoni.
Dalam sebuah perjalanan dinas kami ke pedalaman Kalimantan Barat saat itu sedang bulan puasa Ramadhan. Seperti biasa setelah kerja setengah hari kami berangkat dari Potianak menuju Sambas sekitar 6 jam pada saat itu menggunakan kendaraan dinas.
Berangkat pada siang hari dengan maksud agar bisa berbuka puasa ketika tiba sore hari di kota Sambas. Meski demikian saya berusaha berhenti setiap 3 jam untuk memberi kesempatan pada saudara Markoni menikmati kebiasaannya yaitu merokok, ngopi dan tentu saja makan siang karena selain tidak berpuasa tampaknya beliau ini juga musti merokok hampir 3 jam sekali.
Tiga jam pertama dalam jalan santai tibalah kami disebuah kecamatan. Saya menghentikan kendaraan di dekat sebuah rumah makan umum yang tetap buka meski puasa.
"Kita istirahat dulu," kata saya padanya..
"Bapak tidak puasa," tanya dia
"Puasa "jawab saya
"Jadi kenapa kita berenti di rumah makan," tanya dia lagi agak bingung
"Jadi bagaimana...?"
"Lanjut saja pa," jawabnya tangkas.
"Ok kalau begitu, berenti dulu. Bapak merokok aja dulu sebatang dua batang..." Saya paham karena saya juga masih perokok berat saat itu.
"ah...gak apa-apalah pak.. kita lanjut saja.." dia memandang saya serius.
Saya menangkap signal ia berkata serius. Perjalanan pun saya lanjutkan hingga akhirnya tiba lagi di sebuah kota besar, Singkawang namanya.
Saya tepikan kendaraan di sebuah restoran untuk beri kesempatannya makan siang ditempat lumayan daripada di tempat sebelumnya.
"Pak Markoni makan dulu ya, ini sudah siang. Di sini tempatnya bagus, enak juga.."
"Gak apa-apa pak.. Gak usah.. saya masih kenyang." hahaa dia ketawa bikin saya kurang yakin.
"Loh sdah hampir 5 jam kenapa masih terasa kenyang. Udah minum aja ngopi sambil merokok sebatang dua batang kata saya mengulangi lagi."
Jawabannya pun tetap sama seprti di atas. dia serius minta lanjutkan saja perjalan sekitar 2 jam lagi tiba di kota Sambas.
Ada perasaan tak enak dalam diri saya. Maka saya tetap tepikan juga dengan masuk ke restoran tersebut berharap ia juga duduk bersama dan memesan nasi siangnya.
Penjual datang bertanya. Saya persilahkan pak Markoni memberi pesanan. Tapi apakatanya pada penjual.
"Maaf pak kami duduk sebentar aja, masalahnya bapak ini (menunjuk pada saya) sedang puasa. Boleh dek?" katanya pada penjual
Penjual makanan yang sedang ramai menganggukkan kepala entah berusaha mengerti lalu pergi.
Tak enak lama-lama di sana kami pun berangkat lagi.
Dekat sebuah masjid malah ia mengingatkan saya, "bapak tidak sembahyang dulu (maksudnya shalat). Dari tadi saya lihat gak sembahyang.." ujarnya pada saya.
Saya yang dari tadi juga berniat shalat jamak qashar ke Ashar jadi bersemangat berhenti.
"Terimakasih pak Markoni. Baik... Bapak mau dimobil aja atau mau duduk-duduk dekat pohon sana dekat parkiran,?" tanya saya. Dia menjawab di mobil saja sambil jaga mobil katanya. Mobil saya parkir agak jauh di tempat parkir.
Selesai shalat masuk kemobil.. Ada aroma tidak aneh dari dalam mobil.
Saya tahu pak Marconi pasti menyempatkan diri menghisap rokoknya di dalam mobil tadi. Sengaja di dalam sambil buka kaca lebar-lebar agar tidak menyolok dilihat orang di masjid itu.
Tapi hal itu tidak saya tanyakan padanya karena saya tahu ia telah berkorban 6 jam menahan haus dan lapar serta rokok dan kopinya demi menjaga saya berpuasa.
Jam 18.00 sore kami tiba di kota Sambas. Rekan kerja sudah menanti di sana dan kami pun buka puasa bersama di sana di sebuah lokasi dekat sebuah danau yang tidak terlihat dari jalan besar, kalau tak salah Danau "Sebedang" namanya dan itu adalah satu-satunya danau di Sambas.
Kami (3 muslim dan 3 non muslim) berbuka puasa ditepi danau yang indah itu dalam siraman gerimis hujan membasahi bumi Sambas di tepi danau itu seakan-akan ikut menikmati keragaman dalam kebersamaan yang tidak terduga.
Tidak terduga karena sejak berangkat dari Pontianak saya tak menyangka pak Markoni sangat menjaga ibadah dan kekusyukan saya sedang menjalankan ibadah. Bahkan tak menyangka ia memberikan dorongan moral mengingatkan shalat (sembayang katanya).
Lebih tak terduga lagi teman-teman di sana telah menyiapkan acara berbuka puasa bersama diselingi makanan ikan khas setempat (lupa namanya) dalam keanekaragaman kepercayaan.
Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata apa lagi untuk menyebutkan suasana itu, apakah menghargai orang tak berpuasa ataukah menghargai orang berpuasa. Apapun cara mengatakannya yang penting adalah sebuah fakta sangat hangat dan terukir indah sampai sekarang meski peristiwanya telah berlalu 8 (delapan) tahun lalu.
Semoga hal-hal seperti ini tetap terjalin pada siapapun selamanya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H