Penarik beca pun ngeloyor pergi tampak meringis, entah karena sakit atau pura-pura kesakitan padahal ketawa.
Di tempat lain, seorang mantan polisi sebut saja namanya "Pak Jenggot." Mengalami kejadian persis sama dengan di atas.
Dengan rasa terkejut dan marah ia keluar (turun) dari mobilnya. Apa reaksinya mendengar penjelasan penarik beca di atas?
"Ohhh begitu.. hmm.. Jadi bagaimana..? O begitu ya... sambil manggut-manggut "curhatan" abang becak.. Ya sudah lah kalau begitu. Lain kali jangan seperti itu lagi ya. Jangan ngebut-negebut kasihan nyawamu gak bisa lihat istrimu melahirkan nanti gemana..ya..?
Tukang becaknya dan Pak Jenggot salaman, lalu ngeloyor pergi dengan senyum kemenangan..
Dari dua contoh di atas, bukankah setiap orang bisa marah dan berbeda-beda cara mengelola marahnya?
Pertanyaannya adalah mengapa yang satu orang bisa dan seorang lagi tidak bisa, padahal dalam kondisi sama dari sisi ekonomi, usia, pekerjaan, penghasilan dan disiplin kedua kasus di atas dalam situasi dan kondisi parameter yang sama tapi mengapa seseorang mampu mengelola amarahnya sedangkan yang lain tidak?
Jawabnya adalah karena antara satu orang dengan yang lain berbeda karakter gen marahnya. Dalam karakter bawaan pak Jenggot dan pak Kumis membawa gen bawaan tersebut seperti kita yang disebut The dopamine and cAMP regulated phosphoprotein 32 kDa (DARPP 32), atau dikenal juga sebagai PPP1R1B. (Bagi rekan yang ahli dibidang ini mohon tindak lanjuti dan kembangkan informasinya di sini pdfs.semanticscholar )
Ada tiga tipe gen tersebut diberi kode TT, TC dan CC. Ketiganya mempengaruhi perasaan seseorang secara bertingkat, sebut seorang peneliti Martin Reuter dari Universitas Bonn beberapa tahun lalu.
Gen inilah yang bekerja pada pak Kumis secara dominan. Sedangkan pada pak Jenggot gen ini juga ada tetapi tidak bekerja dominan sehingga ia tidak mudah tersulut emosi.
Karakter pak Kumis langsung mendominasi alam pikirannya dengan pikiran berbunyi "sialan.. main tabrak aja ini orang..." Sedangkan pada Jenggot kalimat semacam itu tidak muncul karena pertanyaan yang terlintas di benaknya adalah "astaghfirullahalazimmm" atau "my oh my.." atau "aduh maaak.." atau apalah lainnya ditambah kalimat bertanya "ada apa ya kok bisa nabrak.." Beda, kan?