Musim penghujan telah tiba. Banjir melanda banyak tempat di seluruh tanah air dari kota sampai desa, dari ibu kota kecamatan sampai ibu kota republik Indonesia, jakarta. Meski sama-sama banjir bedanya Jakarta seolah menjadi langganan banjir besar setiap tahun sementara beberapa wilayah lain di tanah air mengalaminya beberapa kali saja dalam satu dekade terakhir.
Soal banjir Jakarta ada yang mengatakan itu hal yang biasa saja. Tak menarik lagi untuk dibicarakan apalagi untuk dibahas.
Jakarta banjir bukan cerita baru karena sudah ada sejak 1619-1623 Jamannya Pieterszoon Coen (katanya Gubernur Jenderaal VOC pertama) sampai jaman Ahok 2016 sang banjir bagaikan saudara dekat Jakarta.
Jakarta banjir, biarain saja karena segudang pembahasan dan seabrek tulisan dan berbagai kajian tidak memberi solusi Jakarta terbebas dari banjir.
Jakarta banjir bukan berita menarik karena yang menarik justru jika jakarta tidak terapung (terapong) atau Monas tidak tenggelam.
Jakarta banjir, "ya tetap aja banjir selama Depok dan Bogor masih berbaik hari ngirim air ke sini ," kata sebagian warga yang nyari kambing hitam.
Sejak diberi nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942) Jakarta Tokubetsu Shi (1942-1945) dan Djakarta (1945-1972) lalu disebut DKI Jakarta. Ibu kota RI seluas 740 km² ini tak lepas dari banjir dan banjir. "Cepek dah" mikirin banjir Jakarta atau lebih egois lagi "emangnya gue pikirin" Jakarta banjir melulu, adalah kalimat-kalimat kecewa pertanda telah pasrah pada kondisi Jakarta meski di dalam benak warga seperti sesungguhnya juga jadi pikiran.
Berbagai kalimat sarkatis dan apatis ditemukan dimana-mana merepresentasikan warga yang tidak perduli lagi dengan issu Jakarta kebanjiran, seolah-olah mereka sangat egois atau bisa juga putusa asa akibat persoalan akut menahun ini tidak kunjung usai.
Sebagai salah satu mantan warga yang pernah tinggal di komplek Cipinang Elok, kampung Melayu era 1991-1993 sebelum pindah ke Ciganjur tanah baru Depook pada 1994 saya penulis pernah melihat dan meraakan tidak enaknya dikepung banjir.
Pengalaman penulis itu hanya sebentar, konon lagi warga yang telah menetap belasan bahkan puluhan tahun di Jakarta mungkin melihat banjir -meski menyesakkan dada- tapi terpaksa harus menganggapnya hal yang membosankan untuk dibahas. Lama-lama fenomena banjir di lingkungannya bagaikan ritual tahunan dan menjadi hal biasa.
Lalu jika kita semua sudah tidak menarik lagi membahasnya atau hanya berita usang dan menghabiskan waktu apakah sudah tidak perlu lagi membahas mengapa hal itu terjadi dan bagaimana solusinya agar setidaknya mampu mengeliminir banjir?
Ternyata "itupun tak penting," ungkap warga yang sudah geram karena buktinya dengan segenap program raksasa mega proyek kanal barat, kanal timur, pembangunan situ, sumur resapan dan danau buatan serta saluran bawah tanah bukannya mengeliminir banjir malahan semaki menjadi-jadi karena sang banjir kini tak segan-segan menyusup ke dalam Istana Negara tempat presiden berkantor simbol pemerintahan Republik Indonesia.
Jika kita sebagian warga sudah pasrah dan tidak menganggap penting lagi membicarakan banjir jakarta pasti di sisi lain masih ada yang menganggap hal itu penting, setidaknya mengetahui apa sebabnya karena beberapa sumber menabalkan stigma kutukan Jakarta yang tak lepas dari banjir sejak dari jaman "Nabi Nuh" hingga sekarang.
Benarkah Jakarta dikutuk menjadi daerah langganan banjir dari masa ke masa? Pasti tidak ada yang percaya meski kenyataannya Jakarta banjir dan penyebabnya lebih disebabkan persoalan dari dimensi ilmu pengetahuan dan teknologi (saintis) bukan mistis peninggalan cerita rakyat tempo doeloe.
Lupakan sisi mistis berupa kutukan, mari kita luangkan waktu sejenak melihat dari sisi saintis atau iptek mengapa Jakarta dilanda banjir abadi melalui beberapa penjelasan berikut ini.
"Ahhhh itu pun tak perlu," menurut sejumlah warga karena sudah banyak yang tahu apa sebab banjir Jakarta. Sudah banyak pakarnya, ahli mengatasi banjir lulusan dari dalam dan luar negeri memberi ulasan dan analisisnya untuk pemerintah DKI.
Ribuan tulisan tentang sebab banjir DKI pun telah menghiasi sejumlah media sosial, portal berita dan statisun berita dan televisi jadi sudah tak menarik lagi rasanya dikaji pada tulisan ini. "makin bete, mas," kata sejumlah warga membaca apa sebab banjir Jakarta.
Tapi untuk yang satu ini mungkin tidak membosankan, solusi mengatasi banjir kedengarannya rada menarik kelihatannya. Ups.. masih ada yang mengatakan bosan, bete, gak perduli, terserah atau apalah kata-kata yang mewaikili sikap tak perduli?
Kali ini dipakasakan, alasannya dariapda harus mengalami banjir kembali.. Bagaimana?
"Okelah kalau begitu.." sebut sebagian warga yang terlihat mulai lesu akibat kehabisan tenaga membersihkan rumah, peralatan rumah tangga dan pekarangannya berlumpur bulan lalu baru selesai diberesin kena banjir lagi minggu lalu dan baru selesai diberesin kembali kemarin.
Solusi mengatasi banjir Jakarta.
- Menyiapkan sumur resapan besar
- Menyiapkan gorong-gorong (saluran) raksasa
- Pembangunan sungai alur banjir (Flood Way) mirip teknologi di Vollendam, Belanda
- Pembangunan bendungan air laut
- Meningkatkan budaya warga DKI menjaga kebersihan dan merawat lingkungan masing-masing
- Memberi sanksi pada perorangan atau badan usaha yang mencemari lingkungan Jakarta
- Membuat batasan batasan yang jelas tentang standarisasi pencemaran lingkungan Jakarta
- Menciptakan instansi baru, dinas (departemen) khusus perawatan lingkungan jakarta
Apakah solusi di atas dijamin 100% mengatasi banjir Jakarta? Belum tentu, sebab penyebab banjir Jakarta yang enggan (tak jadi) disebutkan di atas memang agak rumit menyangkut turunnya permukaan kota Jakarta yang diperkirakan mencapai 12 cm sehingga benteng setinggi 2 meter pun akan amblas sebelum 16 tahun usia pakainya tiba. Apalagi prediksi Jakarta pada 2020 dengan sejumlah permasalahan sosialnya akan membuat permukaan Jakarta harus kerja keras menahan gempuran warga yang hidup di atas pundaknya yang mulai ringkih.
Beberapa prediksi Jakarta pada 2020 adalah sebagai berikut :
- Jakarta akan seperti New York tingkat kemajuannya. Dalam bidang perdagangan dan ekonomi Jakarta akan menjadi "macan Asia" yang baru,mirip Tokyo dan Beijing era 2000-2005. Akan ada 10 lagi bangunan tertinggi di Jakarta melebih ketinggian Wisma 46 telah menjadi figur ikonik di skyline Jakarta.
Pada 2020 jumlah penduduk Jakarta di atas permukaan seluas 740 km² akan mencapai 25 juta - 35 juta. Jika itu terjadi tingkat kepadatan penduduknya menjadi 33.783 jiwa - 47.292 jiwa per km2. rasanya DKI semakin terasa sesak. Akan terasa lebih sesak lagi jika luas Jakarta hanya 662 km² (informasi lain menyebutkan luas Jakarta kini tinggal 662km²). - Luas lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada 2014 sekitar 66.233 hektar kini terus menyusut karena harus dibebaskan untuk jalan dan pembangungan gedung komersial. Tempat bermain alami di ruang terbuka dan hijau akan dinikmati seperti masa-masa lalu akan semakin langka ditemukan.
Jumlah penduduk miskin DKI diprediksi akan mencapai 1.024.567 orang. Sebuah angka yang amat besar melebihi jumlah penduduk dibeberapa kabupaten diluar pulau Jawa. - Tingkat pengangguran DKI menyebabkan persoalan kemanusiaan baru dengan jumlah penganggur usia kerja sebanyak 2.450.000 orang. Jumlah pengangguran DKI menyamai jumlah penduduk ibu kota provinsi Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara pada 2014.
- Disparitas (kesenjangan) dalam pendapatan penduduk DKI Jakarta sangat menyolok jaraknya. Hal ini terjadi akibat rekor pendapatan tertinggi secara nasional justru ada di Jakarta, tapi di sisi lain, pendapatan terkceil juga banyak melilit penduduk Jakarta sehingga gap atau disparitasnya sangat jauh.
Ada 13 sungai dituding menjadi biang banjirnya Jakarta yang tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik akibat kurangnya kesadaran warga di sekitar merawatnya.
Berbagai program telah dibuat silih berganti oleh sejumlah Gubernur DKI namun hasilnya kurang otpimal dan tidak sesuai harapan. Oleh karenanya tidak mudah mengurai benang kusut banjir Jakarta. Kompas.com menuturkan betapa peliknya persoalan banjir Jakarta. Sumber : kompas.com
Banjir kini juga disebabkan oleh dampak lingkungan dan sosial disamping dampak alamiah. Dampak sosial dan lingkungan sepertinya berkorelasi lurus berkaitan erat tak terpisah satu sama lain dalam fenomena kutukan banjir Jakarta.
Maka dari itu upaya pemerintah DKI untuk membersihkan kawasan bantaran kali (sungai) atau lingkungan kumuh lainnya untuk tujuan penghijauan dan resapan air raksasa serta penghijauan HARUS dan WAJIB didukung. Dengan catatan : Pemerintah DKI harus konsekwen dan komit dengan programnya untuk tujuan peningkatan kualitas ruang hijau terbuka.
Selain itu, instansi khusus untuk lingkungan, kebersihan dan pendataan warga harus diberi akses seluas-luasnya dan anggaran yang cukup sehingga mereka dapat bekerja sesuai dengan harapan, termasuk memberi solusi kepada warga yang harus tergusur untuk kepentingan pemerintah DKI.
Salam Kompssiana
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H