Kabut dan asap akibat pembakaran lahan dan hutan untuk perkebunan khususnya di Sumatera dan Kalimantan bukan sesuatu yang aneh lagi. Rasa-rsanya hampir dua dekade terakhir kita "disuguhi" fenomena kabut dan asap bersumber dari pembakaran lahan dan hutan untuk perkebunan (tanam kembali atau buka lahan baru).
Bagi yang tidak mengalami langsung atau melihat langsung fenomena kabut dan asap akibat pembakaran lahan perkebunan atau hanya mengetahui dari aneka informasi saja mungkin beda kesannya. Tapi, bagi yang merasakan (pernah merasakan) langsung peristiwa tersebut akan sangat mengerti mengapa asap dan kabut akibat pembakaran lahan perkebunan sangat menganggu berbagai aktifitas lainnya seperti lalulintas, kegiatan sosial dan transportasi penerbangan bahkan menganggu kesehatan terkait bagian pernapasan dan lainnya.
Sekitar 2005-2008 penulis pernah tinggal di Provinsi Riau (Pekanbaru) dan sangat sering melaksanakan perjalanan ke berbagai kabupaten di dalamnya sehingga merasakan sendiri dampak fenomena asap dan kabut yang terjadi di Provinsi Riau akibat pembakaran lahan yang sebelumnya pun penulis hanya mengetahui dari aneka informasi media cetak dan televisi.
Begitu juga halnya sekitar 2010-2013 pernah menetap di Kalimantan Barat (Pontianak) dan juga berpergian ke seluruh kabupaten didalamnya, pernah merasakan sendiri dampak fenomena asap dan kabut terjadi di Kalbar yang kini sedang diributkan kembali.
Mengapa ada yang menyebut peritiwa itu seperti ritual, karena persoalan itu terjadi setiap tahun dan setiap tahunnya menimbulkan aneka dampak mirip dampak bencana alam. Dan seperti biasanya, semua ribut dan banyak yang berteriak protes ke sana kemari namun peristiwa yang sama tetap berulang kembali. Celakanya, kini timbul pendapat asap dan kabut akibat hutan atau lahan terbakar seperti saat ini BUKAN merupakan bencana alam. (Sumber :Info Astronomy)
Setiap tahun pemerintah daerah (pemda) telah mengerahkan berbagai kemampuan untuk mengatasinya, mulai dari hal yang terkecil sampai hal terbesar. Entah supaya tidak terkesan menyepelekan persoalan dan jeritan warganya Pemda setempat sesungguhnya hampir kehilangan akal mengatasi persoalan tahunan tersebut.
Langkah antisipatif dan prefentif yang dilakukan pemda tidak efektif karena banyak faktor. Pemda terkesan lemah mengatasi pembakaran lahan antara lain disebabkan karena :
- Lemah dalam memonitor sumber titik api
- Kelemahan untuk menjangkau lokasi untuk pemadaman.
- Keterbatasan peralatan mengatasi pembakaran di tengah hutan yang jauh jangkauan
- Kondisi medan yang sulit.
- Jumlah tenaga pemadam dari instansi terkait (BNPB, BKSA dan Pemadam milik Pemda) sangat terbatas dan tentu saja anggaran operasional yang terbatas juga menjadi salah satu penghalang
Penyebab lainnya adalah para pembakar lahan dari perorangan (petani yang punya kebun) sampai terorganisir (perusahaan perkebunan) sulit tertangkap basah saat mulai melaksanakan pembakaran. Barulah setelah terjadi pembakaran dan meluas dengan kepulan asap membumbung tinggi ke angkasa satelit khusus memberi informasi tentang sumber api, namun sekali lagi tidak banyak membantu karena terkendala dengan sejumlah faktor disebutkan di atas.
Beberapa pembakar lahan berhasil ditangkap lalu diinterogasi tanpa kejelasan berikutnya seperti apa. Aksi penangkapan dan interogasi itu mungkin saja diperlihatkan ke publik bahwa sudah ada pihak pelaku pembakaran hutan yang tertangkap kelihatannya sekadar memberi dampak psikologis bagi pembakar lainnya, akan tetapi jarang kita dengarkan tindak lanjutnya seperti apa setelah penangkapan tersebut.
Meski sejauh itu penanganannya apakah hal itu menghentikan dan membuat jera pembakar lahan? Rasa-rasanya tidak, bahkan yang terjadi adalah nyaris semakin tidak perduli dengan sejumlah alasan klasik :
- Untuk tanam kembali mereka harus membakar sisa sisa pohon dan akar yang ada
- Untuk membuka kebun baru langkah yang dilakukan setelah merapikan lahan adalah membersihkannya dengan pembakaran sisa-sisa pohon dan ranting yang kering
- Pohon yang sudah tua dan sudah tidak produktif lagi harus ditebang dan potongannya tidak segera membusuk, biasanya dibakar supaya lahan terlihat bersih kembali.
- Hasil perkebunan merupakan sumber pemasukan ekonomi bagi warga pemilik kebun dan perusahaan pemilik kebun. Ketergantungan hidup pada sumber kebun mau tak mau petani dan perusahaan yang memiliki lahan menggantungkan hidup mereka dari berkebun.
- Pada skala tertentu, ekspor hasil kebun (misalnya CPO dari kebun sawir) memberi rezeki bukan saja pada warga negaranya akan tetapi juga menjadi pemasukan tambahan bagi negara.
Lalu apakah dengan alasan seperti itu lantas bakar membakar lahan atau hutan secara massif dapat diizinkan dan boleh sembarangan? Semua pasti serentak menjawab "Ooooo tidak boleh..." Jadi mengapa peristiwa itu terjadi lagi dan terus menerus terjadi?
Pemerintah pusat dan daerah kesannya setengah hati menyikapi kebakaran hutan maka itu terus terjadi. Sikap setengah hati itu bisa jadi karena 5 faktor disebut diatas. Selain itu bisa juga karena masalah non teknis misalnya beberapa oknum dalam pemerintahan (dari pusat sampai desa) juga memiliki lahan perkebunan.
Tidak tertutup kemungkinan adanya oknum pemerintah di tingkat pusat yang menjadi salah satu dewan komisaris atau bagian penting dari manajemen perusahaan perkebunan milik asing yang beroperasi dibidang perkebunan di Indonesia. Bagaimana mungkin oknum pemerintah seperti itu dapat berteriak lantang tentang kebakaran hutan apalagi menyikapinya dengan tindakan yang dinilai merugikan perkebunan mereka?
Menyadari keterbatasan tersebut tak heran, TNI dan Polisi mengerahkan ribuan personilnya untuk menjangkau lokasi titik apai dan medan yang sulit di beberapa sumber api di pulau Sumatera dan Kalimantan. Diantaranya adalah :
- Pada 25/6/2015, 1 helikopter milik MabesTNI AU dikerahkan untuk melengkapi 6 helikopter yang dibutuhkan dalam upaya memadamkan api di beberapa kabupaten di Riau
- Pada 3/8/2015, Brimob dari Polda Kalsel menerjunkan kendaraan water canon berkapasitas 6000 liter memadamkan api di Kalsel
- Pada 5/9/2015, TNI dan Brimob Polda Riau bekerjasama memadamkan api di Rimbo Panjang, Kampar Riau (5/9/2015)
- Pada 5 Nopember 2014, satu batalyon TNI dari Kodam II Sriwijaya disebar ke sejumlah lokasi lahan gambut di Sumsel.
- Pada 23 Juni 2013, sembilan pesawat dan 4.449 personil dari TNI, Polri serta satgas dari Kemenhut, BPPT, BMKG dan BPKP dikerahkan untuk mengatasi kebakaran hutan di Provinsi Riau
Masih banyak lagi bukti-bukti keterlibatan TNI dan Polri dalam mengatasi kebakaran hutan yang tidak dapat diatasi oleh Pemda setempat dan tidak dapat disebut satu persatu pada tulisan ini. Intinya adalah, ketika bencana alam terjadi TNI dan Polri serta satgas khusus terpaksa dilibatkan untuk mengatasinya. Padahal kegiatan penanggulangan bencana kebakaran hutan tersebut menelan biaya yang sangat besar. Belum lagi kerugian akibat terganggunya kesehatan dan aktifitas masayarakat serta ekonomi juga ikut terseret akibat dampak kebakaran hutan atau lahan tersebut.
Ironisnya, upaya pemadaman yang dilakukan seperti di atas belum tentu optimal karena pemadaman di lahan gambut yang terlihat di permukaan apinya sudah padam sesungguhnya api justru menjalar di bawahnya ke lokasi lain yang kering dan berpotensi munculnya api baru atau kebakaran baru.
Menyikapi tantangan tersebut TNI merencanakan membeli pesawat tanker pengangkut air yang mampu melepaskan bom air di areal kebakaran manapun di masa yang akan datang. Palingma TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo menyampaikan rencana tersebut kepada pers di Lanud Halim Perdanakusuma (10/9/2015).
Apakah rencana tersebut akan efektif mengantisipasi atau mencegah terjadi kebakaran hutan? Belum jaminan efektif tentunya, akan tetapi solusi tentu harus dicari dengan perencanaan yang matang dan sesuai peruntukannya agar tidak mubazir seperti kasus-kasus pembelian peralatan lainnya seperti pembelian mobile crain di Pelabuhan Tanjung Priok beberapa tahun lalu masih teronggok di pelabuhan tak dapat dipakai sampai kini.
Berapa besar pemasukan negara dari kegiatan ekspor hasil perkebunan dan CPO atau dari pajak perusahaan perkebunan? Bandingkan total pemasukan negara dengan total biaya opersional mengatasinya dan kerugian aktifitas serta terganggunya kegiatan ekonomi dan kesehatan masyarakat akibat dampaknya, kira-kira manakah yang lebih diutamakan?
Pemerintah yang cerdas pasti mampu berpikir sekaligus mencari solusi dan menerapkannya. Bagaimana caranya perkebunan tetap hidup namun ekosistim tetap terjaga dan pencemaran udara tidak menganggu kehidupan masyarakat di manapun.
Tindakan pembakaran, Asap, Jeritan dan Pencegahan yang dilakukan setiap tahun (selama ini) tidak menghentikan fenomena asap dan kabut terus terjadi berulang kali sampai ia hilang dengan sendirinya seiring dengan munculnya tanaman baru atau di lahan baru hingga persoalan yang sama terulang kembali tahun depan dan seterusnya.
Sampai kapankah "Ritual" ini berakhir?
Meski pembakaran hutan dan lahan kesannya mirip ritualitas tapi sesungguhnya TIDAK PANTAS disebut demikian karena dampaknya tidak pantas ditanggung oleh masyarakat pada umumnya yang hanya menanggung getahnya saja atas ritual bakar hutan atau lahan setiap tahun.
Di sinilah peran DPR harus tegas dan nyata bagaimana mengkomunikasikan kepada pemerintah jeritan dan kerugian masyarakat tapi juga dunia industri perkebunan dapat terjaga melalui regulasi yang ketat. Jangan hanya sibuk pelesiran ke luar negeri misalnya (hehehehhe)
DPR jangan menunggu fenomena tersebut menjadi senyap (hilang) dengan sendirinya karena jika dibiarkan maka tahun depan fenomena ini dipastikan akan berulang kembali. DPR harus ikut turun tangan menyiapkan aturan lebih baru bagi pemilik kebun perorangan atau perusahaan. Pemberian sanksi seperti apa jika terjadi pembakaran hutan secara masif harus disosialisasikan kepada lembaga terkait dan masyarakat perkebunan.
Kemungkinan adanya anggota DPR yang memiliki perkebunan sangat luas bisa saja terjadi. Sebaiknya dan sewajarnya mereka memberi contoh lebih dahulu bagaimana menghadirkan lahan kebun serasi dengan lingkungan dan berkomitmen tinggi terhadap kelestarian alam.
Kalau pemerintah dan DPR (anggota dewan) cuma bereaksi seadanya itu sama dengan setengah-setengah dan itu sama halnya dengan tidak serius. Pantas kalau begitu negeri kita hanya dijadikan kebun terbesar di dunia untuk kemakmuran negara lain. Ironis sekali, pembakaran dilakukan secara massif dan sembarangan, asapnya jadi milik kita sementara uangnya menjadi milik pengusaha perkebunan.
Di sudut bumi belahan lainnya di planet ini, negara lain semakin asri lingkungannya. Hutannya tumbuh subur menjadi paru-paru negara dan untuk warganya sendiri. Masyarakatnya tumbuh sehat dan perekonomiannya terus meningkat.. Sedangkan kita hanya mampu mengulangi ritual demi ritual setiap bilangan tahun terus bertambah..
Salam Kompasiana
abanggeutanyo
Sumber Gambar : aneka sumber : dok.abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H