Meski pembakaran hutan dan lahan kesannya mirip ritualitas tapi sesungguhnya TIDAK PANTAS disebut demikian karena dampaknya tidak pantas ditanggung oleh masyarakat pada umumnya yang hanya menanggung getahnya saja atas ritual bakar hutan atau lahan setiap tahun.
Di sinilah peran DPR harus tegas dan nyata bagaimana mengkomunikasikan kepada pemerintah jeritan dan kerugian masyarakat tapi juga dunia industri perkebunan dapat terjaga melalui regulasi yang ketat. Jangan hanya sibuk pelesiran ke luar negeri misalnya (hehehehhe)
DPR jangan menunggu fenomena tersebut menjadi senyap (hilang) dengan sendirinya karena jika dibiarkan maka tahun depan fenomena ini dipastikan akan berulang kembali. DPR harus ikut turun tangan menyiapkan aturan lebih baru bagi pemilik kebun perorangan atau perusahaan. Pemberian sanksi seperti apa jika terjadi pembakaran hutan secara masif harus disosialisasikan kepada lembaga terkait dan masyarakat perkebunan.
Kemungkinan adanya anggota DPR yang memiliki perkebunan sangat luas bisa saja terjadi. Sebaiknya dan sewajarnya mereka memberi contoh lebih dahulu bagaimana menghadirkan lahan kebun serasi dengan lingkungan dan berkomitmen tinggi terhadap kelestarian alam.
Kalau pemerintah dan DPR (anggota dewan) cuma bereaksi seadanya itu sama dengan setengah-setengah dan itu sama halnya dengan tidak serius. Pantas kalau begitu negeri kita hanya dijadikan kebun terbesar di dunia untuk kemakmuran negara lain. Ironis sekali, pembakaran dilakukan secara massif dan sembarangan, asapnya jadi milik kita sementara uangnya menjadi milik pengusaha perkebunan.
Di sudut bumi belahan lainnya di planet ini, negara lain semakin asri lingkungannya. Hutannya tumbuh subur menjadi paru-paru negara dan untuk warganya sendiri. Masyarakatnya tumbuh sehat dan perekonomiannya terus meningkat.. Sedangkan kita hanya mampu mengulangi ritual demi ritual setiap bilangan tahun terus bertambah..
Salam Kompasiana
abanggeutanyo
Sumber Gambar : aneka sumber : dok.abanggeutanyo