Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Banjir Made In Jakarta dari Koloni hingga Jokowi

14 Januari 2014   00:23 Diperbarui: 5 Januari 2021   15:30 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta banjir bukan berita aneh atau asing. Justru jika Jakarta tidak banjir baru menjadi tanda tanya karena hampir setiap tahun kita melihat dan mendengarkan berita tentang sebagian atau tempat tempat tertentu di Jakarta kebanjiran.

Meski upaya mengatasi banjir tak kalah hebat ternyata momok banjir tetap melanda Jakarta dari masa Gubernur jaman kolonial Belanda hingga Gubernur Joko Widodo.

Tercatat dalam sejarah banjir besar melanda Jakarta sudah terjadi pada 4 abad lalu, yaitu pada 1621. Lokasi yang rentan bajir adalah sekitar jalan Sabang dan jalan Thamrin (saat ini).

Karena rentan banjir, pada 1922 pemerintah kolonial membangun Kanal Banjir Barat (BKB) yang menampung pembungan air  dari pintu Manggarai ke Muara Angke. Untuk sementara, momok banjir yang menghantui warga Jakarta pun sirna.

Apa daya, pada 1932 sang momok banjir itupun muncul lagi. Entah karena perubahan cuaca, atau perubahan iklim ataupun curah hujan amat tinggi bahkan karena jumlah penduduk Jakarta semakin membludak dan diantaranya suka membuang sampah ke sungai, momok banjir itu pun datang lagi dan terus datang berkali-kali hampir setiap tahun.

Zaman kemerdekaan hingga jaman Orba hingga ke jaman Joko Widodo, Jakarta tetap banjir. Belasan ahli didatangkan untuk mengatasi persoalan banjir. Para ahli membahasa dan menganalisa sebab-sebab banjir dan cara mengatasinya.

Beragam hipotesa dan teori yang menghabiskan triliunan rupiah nyatanya tak menjawab persoalan banjir Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pun datang dan pergi silih berganti seolah terperangah mendapat ujian persoalan klasik momok banjir Jakarta.

Sejumlah Gubernur sebelumnya seolah memperlihatkan kepada warga Jakarta program hebat mereka tentang bagaimana cara menjinakkan sang momok banjir. Seperti menunggu keajaiban, warga pun ikut senang menanti pembuktian.

Apa yang terjadi?  Kumis bang Foke seolah rontok satu per satu ketika "dianggap" tidak mampu mengatasi momok banjir yang "menghiasi" Jakarta dan mendapat penilaian minor sebagian warga saat itu. Bahkan dalam sejarah Jakarta luapan banjir mencapai istana negara.

Gubernur Joko datang dan blusukan dengan gagah berani ke seantero Jakarta, melihat dari dekat dengan mata kepala sendiri dan menerima ide dan gagasan tentang bagaimana mengatasi momok banjir termasuk anggaran Rp.28 miliar untuk program "Modifikasi Cuaca."

Berbagai terobosan telah dilaksanakan Gubernur Joko Widodo (Jokowi) mulai dari cara-cara peninggalan para pendahulu, merawat dan membersihkan BKB dan BKT, hingga beberapa cara lainnya yang agak lebih berteknologi seperti mofikasi cuaca.

Kini kita melihat metode memandulkan awan hujan agar tidak berpotensi menjadi hujan yakni dengan cara membakar partikel kimia tertentu untuk mencegah terbentuknya awan hujan.

Cara lainnya adalah menggunakan pesawat penyemprot bahan kimia di udara Jakarta yang bertujuan memecah awan hujan.

Cara lainnya dengan melepas zat dari atas menara gedung tinggi Jakarta yang diyakini akan memecah partikel yang berpotensi mengandung hujan.

Akan tetapi Joko bukanlah malaikat pengatur hujan sehingga ketika musim penghujan tiba, banjir kembali melanda Jakarta seperti yang terjadi pada Januari 2014 (saat ini).

Ternyata semua Gubernur Jakarta dari jaman kolonial hingga jaman modern saat ini belum ada yang mampu mengatasi momok banjir Jakarta.

Rasa-rasanya hampir putus asa melihat momok banjir tersebut meski sebagian anak-anak dan warga menikmati banjir dengan berendam ria dalam genangan banjir yang bercampur aneka partikel dan zat aneka jenis, padahal biaya besar dan tenga ahli dari aneka disiplin ilmu telah dilibatkan dari jaman tempo doeloe hingga saat ini, tapi hasilnya hampir tiak signifikan. Ibu kota kita tetap langganan banjir.

Mengapa tidak berguru kepada Belanda yang agak sukses mengatasi banjir di berbagai kota negara Orange tersebut?

Lihatlah apa dengan jelas bagaimana sebuah desa nelaya di Belanda dibangun dari desa tradisional langganan banjir kini menjadi kota yang indah semerbak berseri, misalnya di Volendam hanya 20 km dari Amsterdam.

Jelas sekali, Belanda tidak menggunakan pawang hujan untuk mengatasi banjir. Mereka melakukannya dengan teknologi tinggi dengan sistematis dan terpadu. Jadi apanya yang beda? Mengapa kita tidak mampu menirunya?

Musim banjir masa Jokowi bukanlah kiriman Jokowi, juga bukan warisan para Gubernur sebelumnya. Hanya saja banjir Jakarta pada masa Jokowi

Pada masa pergantian Soeryadi Soedirja ke Soetiyoso (1997) pembangunan BKT yang menelan biaya Rp.4,9 triliun (termasuk pembebasan lahan) menyedot anggaran APBD (Jakarta) dan APBN (Departemen PU saat itu) kembali "membelah" DKI dari Jakarta Utara (13 kelurahan) hingga Jakarta Timur (11 kelurahan) belum memberikan dampak positif dan signifikan.

Masa Fauzi Bowo hanya melanjutkan kebijakan proyek Gubernur sebelumnya yang mengusung nama fantastis  yang dikelola oleh Japan International Cooperation Agency.

Kini masa Jokowi ancaman banjir memperlihatkan wujudnya kembali. Meski Jokowi tidak akan "membelah" Jakarta kembali tapi program modifikasi cuaca dengan biaya besar tersebut sifatnya hanya temporer. Tidakkah lebih bermanfaat dengan program yang lebih berkelanjutan dampaknya?

Jakarta terus bergulat untuk mengatasi banjir dengan aneka program bombastis. Meski jujur diakui ada perubahannya akan tetapi belum optimal.

Jika warganya tidak bertanggung jawab merawat lingkungannya dengan baik apapun programnya dengan nama proyek yang gegap gempita tak akan mambuat warganya terbebas ancaman banjir.

Oleh karenanya, Jikowi sebaiknya  mengedepankan program "Bersih-bersih lingkingan" dengan sistematis termasuk  menambah petugas pembersih kali atau sungai dan tempat penampungan banjir di seluruh Jakarta.

Jakarta dihuni oleh warga yang super Heterogen dengan aneka tingkat intelektulitasnya tentu tidaklah mudah mengaturnya. Namun mencipatakan aneka program yang melibatkan warga langsung secara sistematis cepat atau lambat akan menciptakan warga yang terbiasa bersih dan merawat lingkungannya.

Beberapa kalangan entah karena frustrasi atau emosi sampai menuduh "jiran" atau tetangga Bogor sebagai 'kambing hitam' meski tak sepenuhnya menjadi sebab utama.

Dari pada mencari kambing hitam sebaiknya biaya yang tersedia dalam program anti banjir Jakarta diarahkan untuk melestarikan dan merawat lingkungan Jakarta lebih asri.

Jika terjadi banjir seperti ini tidak saja membuat sengsara warga yang tidak perduli, tapi juga tidak dapat memilih kasih terhadap warga yang  peduli terhadap alam dan lingkungan Jakarta.

Salam Kompasiana

abanggeutanyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun