Kini kita melihat metode memandulkan awan hujan agar tidak berpotensi menjadi hujan yakni dengan cara membakar partikel kimia tertentu untuk mencegah terbentuknya awan hujan.
Cara lainnya adalah menggunakan pesawat penyemprot bahan kimia di udara Jakarta yang bertujuan memecah awan hujan.
Cara lainnya dengan melepas zat dari atas menara gedung tinggi Jakarta yang diyakini akan memecah partikel yang berpotensi mengandung hujan.
Akan tetapi Joko bukanlah malaikat pengatur hujan sehingga ketika musim penghujan tiba, banjir kembali melanda Jakarta seperti yang terjadi pada Januari 2014 (saat ini).
Ternyata semua Gubernur Jakarta dari jaman kolonial hingga jaman modern saat ini belum ada yang mampu mengatasi momok banjir Jakarta.
Rasa-rasanya hampir putus asa melihat momok banjir tersebut meski sebagian anak-anak dan warga menikmati banjir dengan berendam ria dalam genangan banjir yang bercampur aneka partikel dan zat aneka jenis, padahal biaya besar dan tenga ahli dari aneka disiplin ilmu telah dilibatkan dari jaman tempo doeloe hingga saat ini, tapi hasilnya hampir tiak signifikan. Ibu kota kita tetap langganan banjir.
Mengapa tidak berguru kepada Belanda yang agak sukses mengatasi banjir di berbagai kota negara Orange tersebut?
Lihatlah apa dengan jelas bagaimana sebuah desa nelaya di Belanda dibangun dari desa tradisional langganan banjir kini menjadi kota yang indah semerbak berseri, misalnya di Volendam hanya 20 km dari Amsterdam.
Jelas sekali, Belanda tidak menggunakan pawang hujan untuk mengatasi banjir. Mereka melakukannya dengan teknologi tinggi dengan sistematis dan terpadu. Jadi apanya yang beda? Mengapa kita tidak mampu menirunya?
Musim banjir masa Jokowi bukanlah kiriman Jokowi, juga bukan warisan para Gubernur sebelumnya. Hanya saja banjir Jakarta pada masa Jokowi
Pada masa pergantian Soeryadi Soedirja ke Soetiyoso (1997) pembangunan BKT yang menelan biaya Rp.4,9 triliun (termasuk pembebasan lahan) menyedot anggaran APBD (Jakarta) dan APBN (Departemen PU saat itu) kembali "membelah" DKI dari Jakarta Utara (13 kelurahan) hingga Jakarta Timur (11 kelurahan) belum memberikan dampak positif dan signifikan.