Salah satu peribahasa untuk menganalogikan daya tarik sebuah tempat yang memiliki kandungan ekonmis sehingga menarik pendatang untuk menikmati limpahan kandungan kekayaan tersebut, adalah "Ada Gula Ada Semut."
Banyak contoh yang bisa diambil untuk mendiskripsikan peribahasa tersebut. Salah satunya, pernah ada sebuah daerah di pedalaman Aceh Utara, sebuah desa disebut Cot Girek. Lokasinya 15 Km dari Kota Lhoksukon atau 35 Km dari kota Lhokseumawe.
Daerah ini sekitar tahun 1970-an adalah daerah yang hijau, masih diselimuti oleh hutan-hutan yang rindang. Di dalam hutan itu terdapat areal perkebunan tebu sangat luas, kalau tidak salah sekitar 1000 Ha milik PTPN-1 yang ditugasi untuk mengelola Pabrik Gula (PG) Cot Girek. Dari lahan inilah PG tadi mendapat suplay bahan bakunya pada saat itu.
PG Cot Girek ini diresmikan oleh almarhum Presiden Soeharto pada Mei 1970. Saat itu masayarakat Aceh sangat bangga dengan hadirnya pabrik tersebut. Banyak mimpi-mimpi indah jika pabrik ini nantinya mampu mandiri. fismtaranya akan dapat menopang perekonomian Aceh, khususnya Aceh Utara.
Oleh karenanya saat presiden akan berkunjung ada dua sisi yang paling sibuk menghadapi kunuungan Presiden. pertama adalah anak-anak sekolah, khsusnya murid SD se Kecamatan Syamtalira Arun (saat itu satu kecamatan dengan Cot Girek).
Seminggu sebelum pak Harto tiba anak-anak sudah dilatih baris berbaris, bernyanyi dan rumah-rumah penduduk yang (katanya)akan dilewati pak harto dan rombongannya disekitar PG telah disulap dengan cat putih dan merah.
Di sisi lain yang tak kalah sibuk selain pemerintah daerah kabupaten Aceh Utara adalah pasukan pengawal pak Harto (kalau tidak salah namanya saat itu Paswalpres).
Hari yang dinantikan pun tiba. Beberapa buah bis besar "rombongan pak Harto"melewati jalan yang berpasir belum diaspal debu mengebul kesana kemari di sepanjang lintasan 15 Km dari Lhoksukun ke Cot Girek. Beberapa kali usaha penyiraman jalan dengan air dilakukan sebelum rombongan lewat tidak kuat menahan sengatan terik matahari sehingga jalan yang baru disiram itu mengering lagi tak lama kemudian.
Pelajar SD menggunakan bendera yang terbuat dari bahan kertas kertas minyak menggerak-gerakkan tangannya seolah menyampaikan pesan selamat datang di daerah tersebut. Anak murid SD ditemani oleh gurunya menunggu berjam-jam.
Informasi dari panitia, Presiden akan lewat jam 9.00 otomatis guru dan anak muridnya bergegas ke lokasi pukul 8.30. Ternyata yang dinantikan tak kunjung tiba. Setelah menunggu 90 menit anak-anak mulai bosan, ada yang pingsan, yang gak kuat berdiri menyingkir dari tepi jalan.
Panitia memberi masukan kembali, "bahwa sekitar 1 jam lagi Presiden akan lewat". Mendengar pengumuman seperti itu otomatis "para penunggu" berhamburan kembali berdiri di kiri-kanan tepi jalan.
Ternyata kejadiannya terulan kembali, Presiden belum juga datang. Keadaan ini terjadi hingga 3 kali kalau tidak salah sehingga akhirnya rombongan presiden baru lewat sekitar pukul 12 siang atau 3,5 jam setelah anak-anak dan guru berbaris sepanjang jalan tempat lokasi rombongan akan lewat. Mereka menunggu dengan gagah berani dan penuh semangat.
Walaaaah... Presiden sendiri ternyata tidak ada dalam rombongan itu, karena menggunakan Helikopter dari kota Lhokseumawe atau dari bandara Malikulsaleh menuju Cot Girek ditempuh dalam waktu tempuh 15 menit saja.
Akhirnya Presiden mendarat di dekat PG Cot Girek. Setelah acara singkat selesai, pak Harto meninggalkan lokasi acara, mengikuti jalur dan prosedur saat kedatangannya dengan Helikopter.
Mengetahui hal tersebut para penunggu tidak berbaris lagi di tepi jalan.
Presiden Soeharto dan rombongannya telah pulang, tinggallah PG Cot Girek dan pengurusnya hari demi hari menggantungkan harapan pada subsidi pupuk, tebu yang tidak berkualitas dan subsidi harga untuk menekan Harga Pokok Penjualan.
Kondisi ini terus saja berlangsung, kalau tidak salah hingga 1980-an pabrik ini sudah ngos-ngosan karena kekurangan subsidi. Akhirnya pada tahun 1985 pabrik ini sudah benar-benar ditutup, bukan saja rugi tapi benar-benar tidak memberikan lagi kontribusi apapun kepada pegawai dan pekerjanya.
Kini, 40 tahun setelah didirikan, kondisi areal PG Cot Girek ditempat gambar pak Harto terlihat berjalan -dengan hati penuh gembira- sekarang tinggal bangunan yang melepuh dan tidak terurus sama sekali.
Di berbagai sudut pabrik yang terlihat adalah bangunan tua yang mengerikan karena sudah menjamur di mana-mana. Lokasi itu telah ditumbuhi oleh semak belukar dan ilalang setinggi 1,5 meteran. Tidak jelas siapa yang pernah membersihkan areal tersebut sehingga masih bertahan hingga saat ini walau dalam wujud yang menyeramkan.
Apa hendak dikata, bak kata pepatah "Nasi telah mejadi bubur" semua sia-saia saja rasanya... Maka apakah pantas kita memberi peribahasa lain untuk PG ini, dari "Ada Gula Ada Semut" menjadi " Ada Gula Tak Ada Semutnya...?"
Semoga suatu saat lahan itu masih dapat dipakai untuk mebangun pabrik gula yang lebih baik dan modern.
Suatu saat...? Ya, suatu saat. Bukankah harapan itu pertanda sebuah kehidupan masih ada..? Tak salah berharap kembali..!
abanggeutanyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H