Mohon tunggu...
Encang Zaenal Muarif
Encang Zaenal Muarif Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis Lepas, Youtuber, Petani, Pebisnis Tanaman

Tak kenal maka tak sayang. Guru Bahasa Inggris di SMA Negeri 3 Banjar, Kota Banjar, Jawa Barat. Pemilik kanal YouTube Abah Alif TV dan Barokah Unik Farm. Mantan wartawan dan Redaktur Pelaksana SK Harapan Rakyat. Ketua Yayasan Al Muarif Mintarsyah sekaligus pendiri SMP Plus Darul Ihsan Sindangkasih. Kini aktif di PGRI dan diamanahi sebagai Ketua PGRI Cabang Kec. Banjar dan sekretaris YPLP PGRI Kota Banjar. Untuk menyalurkan hobi menulis, aktif menulis di berbagai media cetak dan media online. Karena seorang anak petani tulen, sangat suka bertani dan kini menjadi owner Toko Barokah Unik Tokopedia, yang menjual berbagai jenis bibit tanaman, di antaranya bibit kopi, alpukat dan lain sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Guru, Kelas Menengah yang Susah Kaya!

3 Maret 2024   23:27 Diperbarui: 6 Maret 2024   00:01 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Nasib guru atau pengajar. (Sumber: KOMPAS/Didie SW)

"Jika kamu mau jadi guru, jangan harap kamu akan menempati posisi high class. Paling standar-standar saja," itulah kalimat yang sering saya dengar sebelum jadi guru. Dan setelah saya jalani, memang benar adanya.

Boro-boro bermimpi jadi penghuni bumi kelas atas, jadi sultan, apalagi jadi crazy rich. Bisa bertahan hidup, dan dipandang oleh orang lain sebagai kalangan menengah pun sudah saya anggap hebat. 

Alhamdulillah. Sebagai seorang PNS guru, saya sangat bersyukur dengan gaji yang diterima per bulan. Meskipun potongan Bank yang tinggi, karena dulu kami terpaksa harus meminjam ke Bank dalam jumlah yang cukup besar (karena terlalu privasi, saya tidak sebutkan nominalnya, he), yang kami gunakan untuk membeli rumah dan melanjutkan pendidikan. 

Saat menjalani hidup berumah tangga, layaknya pegawai SPBU, kami memulainya dari nol. Bahkan, bisa dibilang diawali dari minus. Saya masih ingat, ketika mau mengontrak rumah, saya harus meminjam dulu sejumlah uang kepada almarhum paman. 

Dua tahun kami hidup mengontrak, yang uang sewanya kami bayar per tahun. Ternyata hidup mengontrak itu tidak tenang. Bulan-bulan terakhir habis masa sewa, kami harus bersiap-siap membayar lagi kepada si empunya rumah. 

Tahun 2012, saya pun memutuskan untuk mengajukan pinjaman ke Bank. Saya pakai untuk membeli dan merenovasi rumah yang kami tinggali sekarang, dan sisanya digunakan untuk melanjutkan pendidikan. 

Secara matematis, sisa gaji yang saya dapatkan karena dipotong bank, tidak akan cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Seminggu juga sudah habis. Tapi anehnya, rezeki selalu saja ada. Di sini, kuasa Allah yang paling berperan. Setahun setelah gaji saya dipotong Bank, Alhamdulillah saya lolos mengikuti PLPG dan berhak mendapatkan tunjangan sertifikasi. 

Sisa gaji pasti habis dipakai makan. Bahkan bisa dikatakan kurang. Dengan berbagai cara kami bertahan hidup. 

Tunjangan sertifikasi (yang membuat sebagian PNS lain iri) saya terima 3 bulan sekali sebesar 3 kali gaji pokok, kami gunakan sebagai back-up ekonomi sehari-hari, dana pendidikan anak, berbakti kepada orangtua kedua belah pihak, membayar pajak kendaraan, dan jika ada lebih, kami gunakan pula untuk dana sosial, dan sisanya ditabung, itupun kalau tersisa, seringnya sih bablaaaaas, he-he.  

Benar sekali kata lelucon, bahwa saat guru di Amerika berpikir untuk berlibur ke bulan, guru di Indonesia disibukkan dengan bagaimana caranya hidup dari bulan ke bulan. 

Prestasi merupakan salah satu sumber kebahagiaan non materi bagi seorang guru. (Foto: Dok. Pribadi)
Prestasi merupakan salah satu sumber kebahagiaan non materi bagi seorang guru. (Foto: Dok. Pribadi)

Selama 8 tahun terakhir ini, kami merintis bisnis online, yang bergerak di bidang jual beli bibit dan benih tanaman. Alhamdulillah, kami mendapat gagasan ini setelah melihat bagaimana boomingnya bisnis berbasis digital di awal 2015-an. 

Saya pun terpikir berbisnis sekaligus membantu bapak saya. Beliau adalah seorang petani penyemaian bibit kopi. Ide untuk memasarkan bibit pohon kopi serta bibit tanaman lainnya di sebuah platform digital pun akhirnya tercetus begitu saja. Saya mengawalinya tahun 2016. 

Hingga kini, tak disangka, sudah ratusan pembeli saya layani dari seluruh Indonesia, baik secara online maupun secara offline. Semua proses transaksi di toko online maupun offline dapat berjalan dengan lancar, tanpa mengganggu aktivitas profesi saya sebagai seorang guru. 

Baca juga : Mengedukasi Mereka Agar Tak Gengsi Bertani 

Untungnya, beberapa mata kuliah di jurusan manajemen sistem pendidikan yang saya tempuh sewaktu S2, memberikan saya pencerahan, tentang bagaimana mengelola sebuah sistem dan pengorganisasian sebuah bisnis dengan prinsip empowerment, tanpa harus turun tangan secara langsung. 

Paling sesekali, di waktu libur saja, saya terjun ke lapangan, mengantar barang pesanan dalam jumlah besar ke tempat pembeli offline. Itu pun sambil diniatkan silaturahmi sekaligus jalan-jalan.

Semua yang saya lakukan di kehidupan ini, hanyalah sebuah effort, agar kami dapat bertahan hidup secara layak, mampu berbakti kepada orangtua, dan paling tidak, saya bertahan bagaimana caranya agar saya tidak memperpanjang kontrak pinjaman ke bank yang saya rasa potongannya terlalu besar itu. 

Meski dengan bunga hanya 1% per bulan, tapi dengan penerapan sistem anuitas, membuat mata saya terbelalak ketika menanyakan berapa hutang pokok yang tersisa setelah hampir 10 tahun gaji saya dipotong.

Ya. Sistem anuitas memang mendahulukan bunga di awal. Berbeda dengan sistem flat, yang membagi rata antara pokok dan bunga pada angsuran, dari awal hingga akhir. Untuk itu, jika ada di antara pembaca tulisan ini, yang memiliki kebijakan di bidang perbankan, saya berharap, hapuslah sistem anuitas. Terapkan sistem flat pada pinjaman perbankan. Dengan begitu saja, kami sudah cukup merasa terbantu. 

Sebenarnya, saya malu untuk menceritakan soal pinjam meminjam ke bank ini. Tapi memang begitulah kondisinya. 95% rekan-rekan di tempat saya bekerja, memakai pola yang sama dengan saya. 

Hampir 100% relasi ASN yang saya kenal, mengaku bahwa meminjam ke bank adalah solusi manakala menghadapi persoalan finansial, biaya kuliah anak, membeli kendaraan, membeli atau merenovasi rumah, keperluan hajatan pemikahan anak, dan keperluan lainnya yang tidak bisa dicover oleh dana tabungan. 

Sepertinya sistem memang sengaja dibuat seperti ini. Jika saja besaran gaji guru di Indonesia seperti di Australia (saya lihat dengan mata kepala sendiri slip gaji Shellee Nikoula seorang teman guru di Canberra, senilai 120 juta jika dirupiahkan), pasti akan banyak guru yang naik level menjadi "high class", dan mengundang iri PNS lain, sehingga tidak ada yang mau jadi PNS, kecuali jadi guru. 

Akibatnya, terjadi ketidakstabilan dalam tatanan struktural pemerintahan, pelayanan masyarakat tersendat, karena tidak ada yang mau jadi PNS struktural. Semua ingin jadi guru, he-he. 

Bagi kita para guru, dengan bertahan disebut orang sebagai kalangan menengah pun harus bersyukur. Saat melihat ke bawah, begitu banyak masyarakat kecil yang tidak jelas nasibnya. Jika Harian Kompas menaksir ada 126 juta kelas menengah yang rentan miskin, maka saya menaksir lebih dari itu. 

Menutup ulasan, ada beberapa poin yang harus saya share kepada Anda, terutama guru-guru muda yang baru saja diangkat, baik sebagai PNS maupun P3K. 

1. Jangan Sembarangan Meminjam Uang

Sebisa mungkin, hindari meminjam uang ke Bank, koperasi, apalagi pinjol yang bunganya sangat besar. Usahakan gaji yang kita terima setiap bulan utuh, agar kita bisa menikmati hasil kerja memeras keringat dan banting tulang tanpa  dimanfaatkan pihak lain. Nikmati dan syukuri hasil kerja kita, oleh kita dan keluarga.  

Miris sekali ketika saya menyaksikan beberapa relasi guru, yang meminjam sekaligus ke beberapa bank, (bank pertama SK Gaji jadi agunan, bank kedua menjaminkan dana sertifikasi), dampaknya ketika mereka dihadapkan pada situasi darurat yang tidak terduga, kelabakan pinjam sana sini, hingga untuk makan sehari-haripun kesulitan.  

Menabunglah jika memang merencanakan sesuatu. Kecuali jika memang keadaan sangat terdesak, lantas kita meminjam ke bank, itupun hanya untuk menambal uang tabungan yang kurang. Jangan sepenuhnya kebutuhan tersebut didanai dari pinjaman bank. 

Menurut pandangan pribadi saya, orang kaya yang sebenarnya adalah orang yang memiliki aset sesuai kebutuhan (bukan keinginan), tanpa harus berhutang. 

Dokpri. Ilustrasi. Ratusan Warga Kota Banjar mengantri untuk membeli beras murah merk SPHP, Senin 26 Februari 2024
Dokpri. Ilustrasi. Ratusan Warga Kota Banjar mengantri untuk membeli beras murah merk SPHP, Senin 26 Februari 2024

2. Jangan Sembarangan Meminjamkan Uang 

Pengalaman saya, karena kasihan dan tidak tega, memberikan pinjaman dengan niat menolong kepada beberapa orang relasi, (tidak akan saya sebutkan siapa orangnya), akhirnya sebagian besar berujung kecewa. Sebagian besar orang yang meminjam tersebut lupa tidak membayar. Ada juga yang membayarnya dicicil bertahun-tahun tanpa rasa bersalah. 

Ada orang yang meminjam puluhan ribu (saya menganggapnya sedekah), ratusan ribu, bahkan hingga jutaan rupiah tapi tidak membayar. 

Ada pula beberapa di antaranya karakter orang yang tidak punya rasa malu, seolah-olah dia tidak punya hutang ketika bertemu. Jangankan membayar, meminta maaf pun tidak. 

3. Jangan Mudah Percaya pada Orang Lain. 

Selama beberapa kali merintis bisnis sampingan, beberapa kali pula saya ditipu orang karena begitu mudah percaya kata-kata manis. 

Bagi saya yang hanya seorang guru, nominal 70 juta rupiah sangat fantastis saat ditipu sekelompok orang yang ternyata mafia. Detailnya tidak akan saya ceritakan karena malas hehe. Untung saja, saya mampu bangkit kembali karena kuasa Allah SWT. 

Berhati-hatilah dengan orang yang selalu mendekati kita, menyanjung, mencari celah keuntungan dari kita dan akhirnya membawa kita pada kecelakaan. Buaian kata-kata manis dari orang yang belum kita kenal dengan baik, harus diwaspadai layaknya ranjau yang akan menghancurkan kita. 

4. Fokus pada Profesi Utama 

Fokuslah pada profesi utama kita. Jika Anda guru, fokuslah sebagai guru. Jika Anda seorang dosen, fokuslah sebagai dosen. Profesi apapun. Fokuslah. 

Silahkan Anda memiliki sampingan, tapi profesi utama harus tetap diutamakan, karena profesi tersebut adalah amanat dari Allah SWT, yang harus dijalankan sepenuh hati. Apalagi jika kita berprofesi sebagai PNS, baik guru maupun non guru, mari jalankan tugas dengan penuh keikhlasan, bersyukurlah kita tidak pernah mengantri untuk membeli beras murah. 

5. Bertanilah! 

Apapun profesi Anda, menanamlah apapun yang bisa ditanam. Usahakan Anda memiliki lahan untuk menanam, meskipun lahan sejengkal yang dimiliki, paling tidak bisa dipakai untuk menanam pohon cabe. 

Bertani merupakan salah satu aktivitas penopang ekonomi kerakyatan yang tidak bisa dianggap sepele. Tidak akan ada orang yang rugi dari bertani, karena 1 benih, bisa menghasilkan buah yang banyak. Paling tidak, 1 pohon yang kita tanam, akan dinikmati tidak hanya oleh kita, tapi oleh anak cucu kita kelak. 

Syukur-syukur jika Anda adalah pewaris tanah yang luas dari orangtua. Kalau saya sih, bukan pewaris, tapi murni perintis. Hehe. Bagi para pewaris, jangan jual tanah yang anda miliki. Menanamlah pohon kopi, dan bibit kopinya bisa pesan ke saya, he-he. 

Teman-teman Kompasianer, mohon maaf jika ada kata-kata saya yang kurang berkenan, tulisan ini hanya sekedar curhatan sambil menunggu datangnya kantuk. 

Semoga seluruh rakyat Indonesia mendapatkan kesejahteraan dengan adil seadil-adilnya. High Class, Middle, ataupun Lower Class, hal itu adalah sunatulloh, garisan tangan yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta.

Namun persoalannya adalah bagaimana sistem sosial yang ada, bisa menciptakan kesejahteraan bersama, sehingga kebahagiaan bisa dirasakan oleh semua orang dari semua level. 

Baca juga : Batasan Usia CGP Dihapus! Mari Hapus Pula Kasta Guru Senior dan Junior!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun