Mohon tunggu...
Encang Zaenal Muarif
Encang Zaenal Muarif Mohon Tunggu... Guru - Guru, Penulis Lepas, Youtuber, Petani, Pebisnis Tanaman

Tak kenal maka tak sayang. Guru Bahasa Inggris di SMA Negeri 3 Banjar, Kota Banjar, Jawa Barat. Pemilik kanal YouTube Abah Alif TV dan Barokah Unik Farm. Mantan wartawan dan Redaktur Pelaksana SK Harapan Rakyat. Ketua Yayasan Al Muarif Mintarsyah sekaligus pendiri SMP Plus Darul Ihsan Sindangkasih. Kini aktif di PGRI dan diamanahi sebagai Ketua PGRI Cabang Kec. Banjar dan sekretaris YPLP PGRI Kota Banjar. Untuk menyalurkan hobi menulis, aktif menulis di berbagai media cetak dan media online. Karena seorang anak petani tulen, sangat suka bertani dan kini menjadi owner Toko Barokah Unik Tokopedia, yang menjual berbagai jenis bibit tanaman, di antaranya bibit kopi, alpukat dan lain sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anjing dan Monyet

19 Januari 2024   22:05 Diperbarui: 20 Januari 2024   10:24 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixbay.com

Kamis kemarin, setelah mengajar 6 jam pelajaran berturut-turut, badan ini terasa pegal dan otak sepertinya sudah menuntut asupan kopi hitam. 

Saya memutuskan untuk ngopi keluar dari area sekolah, agar terhindar dari kebisingan 1000 lebih siswa. Hiruk pikuk suara di sekolah sehari-hari, bisa menjadi salah satu pemicu stress. 

Kurang lebih 100 meter saya berjalan ke warung sebelah barat sekolah. "Teh, kopi hitam 1, dikocek 17 kali ke arah kanan," kata saya sedikit berseloroh. Sengaja saya jelaskan secara detail, untuk menghindari pertanyaan yang umum diajukan para pedagang kopi "dikocek atau nggak?", Hehe...

Sruput....baru saja seteguk, setengah lelah dalam badan hilang seketika. Di atas kursi bambu yang sudah mulai reot, saya sandarkan punggung di tembok, sembari mencari ide untuk menulis di Kompasiana. 

15 menit melepas lelah, tiba-tiba rombongan pelajar SMP, entah dari sekolah mana, saya lupa melihat badge sekolahnya, datang sembari bersenda gurau dengan sesama temannya. 

"Waduh, rupanya anak SMP baru pada bubar ya, Teh...Saya lupa, kirain bukan setengah 1 jam pulangnya," kata saya pada Teteh pemilik warung, merasa gagal, tadinya ngopi di sini untuk mencari ketenangan, malah pas berbarengan dengan waktu pulang anak SMP yang malah membuat suasana jadi riuh. 

Selain membuka warung, Teteh dan Kakang pun mengelola lahan parkir di halaman rumahnya yang luas.  Anak-anak SMP dan siswa SMA tempat saya mengajar, banyak yang menitipkan sepeda motor mereka di sana. Kurang lebih 100-an jumlah motor yang terparkir di sana. 

Siswa SMP yang bergerombol itu pun membeli minuman, jajanan, dan banyak di antara mereka yang membeli rokok. Tanpa malu, mereka menghisap rokok dengan nikmatnya.

Sebagai guru, saya risih melihat perilaku mereka, namun tak kuasa untuk menegur, karena mereka bukan murid saya. Lagian, pikir saya, toh ketika mereka saya tegur, apa mereka akan manut? mereka pasti berpikir, apa urusan saya dengan mereka, saya bukan guru mereka, bukan pula orangtua mereka. 

Jika hal ini terjadi pada pembaca, apa yang akan Anda lakukan? Bingung kan? Hehe ... Jawab di kolom komentar yaa. 

Saya tetap duduk di bangku itu, karena kopi yang saya beli baru habis setengahnya. Anak-anak SMP ini masih haha hihi cekikikan dengan temannya. Sebagian bersikap sopan menegur saya sembari membungkukan badan. 

Mungkin mereka menduga bahwa saya adalah seorang guru, dengan melihat pakaian tradisional Sunda yang saya kenakan, karena setiap hari Kamis, kami guru SMA mengenakan pakaian adat, begitu pula dengan guru-guru SMP. 

Lama-lama, obrolan mereka semakin ngalor ngidul, dan selama saya duduk di sana, puluhan kali saya dengar kata "anjing" dan "monyet" saat mereka berbincang dengan temannya.

"Kela anjing dagoan monyet ulah waka balik (nanti tunggu dulu anjing jangan dulu pulang monyet)". 

"Aduh monyet nilai matematika aing ngan 40 anjing," (aduh monyet, nilai matematikaku hanya 40).

Hampir di setiap dialog yang mereka ucapkan mengandung kata anjing dan monyet, dan sebagai seorang guru, lagi-lagi hati saya terusik. 

Inilah hasil implementasi dari kurikulum merdeka? Apakah ini dampak dari ketakutan guru dalam mendidik secara tegas siswa-siswinya? Apakah ini bentuk dari semakin banyaknya oknum LSM dann oknum Ormas yang "membela" dan menuntut guru yang bersikap keras dalam mendidik siswa, sehingga berujung pada apatisnya guru dalam mendidik anak. 

Apakah masyarakat, khususnya orangtua dan siswa salah mengartikan makna kurikulum merdeka? Sehingga generasi Z ini bebas berbicara sekehendak mereka, mengucap kata-kata kasar tanpa rasa bersalah sedikitpun. Pertanyaan-pertanyaan ini menggelitik hati saya, dan jawaban pastinya pun masih belum saya dapatkan. 

Setelah sekian lama duduk dan minum kopi, otak saya bukannya makin segar, tapi malah makin lelah. Saya pun beranjak dari tempat duduk, sembari merogoh saku untuk membayar kopi yang sudah hampir habis. 

"Teh, zaman sekarang ajaib ya...anjing dan monyet pun sekolah, pada berseragam dan bersepatu," kata saya dengan nada bercanda sambil tertawa,  menyindir anak-anak itu, yang langsung terdiam dari obrolan mereka, sepertinya mereka malu. 

"Iya pak, zaman sekarang mah aduuuh, nggak seperti zaman kita ya pak, mau bicara kasar di depan siapapun, kita akan malu dan orangtua serta guru pun zaman dulu benar-benat disegani," jawab si Teteh warung nyerocos merasa terpancing. 

Saya pun berlalu, pergi sambil tersenyum, melambaikan tangan pada anak-anak SMP yang masih melongo dan saling sikut sesama temannya. "Untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila, tidak semudah membalikan telapak tangan, Mas Menteri", batin saya. 

Saya akui, fenomena menyisipkan kata "monyet" dan "anjing" menjadi fenomena umum yang terjadi di kalangan remaja, termasuk siswa saya sendiri.

Hal inilah yang menjadi PR bersama. Siapapun dan apapun profesinya. Salah satu solusinya adalah komunikasi yang dibangun antara masyarakat serta seluruh komponen lembaga pendidikan, agar jika ada kejadian seperti yang saya gambarkan di atas, bisa diinformasikan kepada pihak terkait serta ditindaklanjuti. Semoga bisa menjadi salah satu bagian dari pemecahan masalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun