Saya tetap duduk di bangku itu, karena kopi yang saya beli baru habis setengahnya. Anak-anak SMP ini masih haha hihi cekikikan dengan temannya. Sebagian bersikap sopan menegur saya sembari membungkukan badan.Â
Mungkin mereka menduga bahwa saya adalah seorang guru, dengan melihat pakaian tradisional Sunda yang saya kenakan, karena setiap hari Kamis, kami guru SMA mengenakan pakaian adat, begitu pula dengan guru-guru SMP.Â
Lama-lama, obrolan mereka semakin ngalor ngidul, dan selama saya duduk di sana, puluhan kali saya dengar kata "anjing" dan "monyet" saat mereka berbincang dengan temannya.
"Kela anjing dagoan monyet ulah waka balik (nanti tunggu dulu anjing jangan dulu pulang monyet)".Â
"Aduh monyet nilai matematika aing ngan 40 anjing," (aduh monyet, nilai matematikaku hanya 40).
Hampir di setiap dialog yang mereka ucapkan mengandung kata anjing dan monyet, dan sebagai seorang guru, lagi-lagi hati saya terusik.Â
Inilah hasil implementasi dari kurikulum merdeka? Apakah ini dampak dari ketakutan guru dalam mendidik secara tegas siswa-siswinya? Apakah ini bentuk dari semakin banyaknya oknum LSM dann oknum Ormas yang "membela" dan menuntut guru yang bersikap keras dalam mendidik siswa, sehingga berujung pada apatisnya guru dalam mendidik anak.Â
Apakah masyarakat, khususnya orangtua dan siswa salah mengartikan makna kurikulum merdeka? Sehingga generasi Z ini bebas berbicara sekehendak mereka, mengucap kata-kata kasar tanpa rasa bersalah sedikitpun. Pertanyaan-pertanyaan ini menggelitik hati saya, dan jawaban pastinya pun masih belum saya dapatkan.Â
Setelah sekian lama duduk dan minum kopi, otak saya bukannya makin segar, tapi malah makin lelah. Saya pun beranjak dari tempat duduk, sembari merogoh saku untuk membayar kopi yang sudah hampir habis.Â
"Teh, zaman sekarang ajaib ya...anjing dan monyet pun sekolah, pada berseragam dan bersepatu," kata saya dengan nada bercanda sambil tertawa, menyindir anak-anak itu, yang langsung terdiam dari obrolan mereka, sepertinya mereka malu.Â
"Iya pak, zaman sekarang mah aduuuh, nggak seperti zaman kita ya pak, mau bicara kasar di depan siapapun, kita akan malu dan orangtua serta guru pun zaman dulu benar-benat disegani," jawab si Teteh warung nyerocos merasa terpancing.Â