Mohon tunggu...
Abah Amin
Abah Amin Mohon Tunggu... Pengelola Media Online, Penulis, Pengurus Komunitas Berbasis Pemberdayaan Masyarakat -

Hobi menulis, blogger (seputar wisata Bandung, wisata Jabar, dan blog pendidikan), aktivis komunitas pemberdayaan masyarakat di Bandung, dan pengelola akun media sosial promosi wisata Bandung. Menjadikan kegiatan menulis sebagai media katarsis. Berpikir, berkarya, dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Orok

10 November 2010   15:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Selamat pagi, Bu.”
“Pagi. Berangkat sekolah?”

Sebuah sapaan yang kerap singgah setiap aku menyiram tanaman di halaman rumah pagi hari. Ia mengangguk dan kembali menyusuri jalan depan rumah. Remaja putri yang baru duduk di kelas I  SMA itu selalu menghadirkan senyum. Anak yang baru kost di rumah ketua RT itu terlihat lugu dan cantik. Jaket biru yang selalu dikenakan begitu serasi dengan perawakannya.

Ah, mungkin saat menyiram kembang ini, aku ditemani seorang putri dari rahimku sendiri. Atau pagi buta aku sudah membangunkannya. Menyiapkan makan pagi, bekal ke sekolah atau sekadar membantunya mengerjakan PR. Suasana yang lama terendap dan selalu membayangi. Hanya sebuah harapan. Tak lebih.

Mas Soni menyiapkan sepatunya sendiri. Tanpa sepatah kata pun. Ia melenggang mengambil dan menghidupkan mobil dan berlalu di hadapanku. Sunyi. Aku masuk ke dalam. Foto pernikahan itu tak tergantung lagi di dinding. Kejadian semalam kembali mengulang permasalahan yang samai. Sampai kapan bahtera rumah tangga ini mendapat jawab? Apakah Tuhan mencoba kami? Sekian waktu jalinan rumah tangga ini seakan terjebak pada labirin tak berujung. Harapan menimang bayi lucu di dalam rumah hanyalah bias sempurna yang mengantar rumah tangga kami dalam perselisihan dan perselisihan.

***

Senyum dan sapa Mbak Pipit di pagi ini sedikit mengobati kegelisahanku. Masih ada orang yang tersenyum kepadaku. Wanita mulia yang selalu terlihat rajin. Pagi-pagi sudah membereskan rumah, menyiram tanaman di halaman, dan selalu bersikap manis saat kulewat di hadapannya. Ah, mempunyai suami Mas Edi yang cukup secara materi dan pekerjaan tak jadi alasan untuk mangkir tanggung jawab sebagai  istri. Bayangan yang tak dapat kubandingkan dengan Wahyu. Apa yang harus kuceritakan nanti kepada orangtuaku?

Riuh pangkalan angkot tak menyurutkan lamunan dan kegundahan ini. Sekolah? Aku harus bertemu lagi Wahyu? Tiba-tiba dering SMS di HP-ku mengalihkan konsentrasi lamunanku.

Rat, istrhat ntar ku mo ngmong!

Kembali lagi pertengkaran ini harus terjadi lagi. Sekolah hanya neraka, dan neraka itu terus bersemayam selama solusi ini belum terjawab. Jaket tebal yang terus kukenakan akankah harus menjadi “pelindungku”?

***

Pukul 12 siang suamiku sudah kembali ke rumah.

“Tumben, pulang jam segini..” tanyaku ketus. Aku terus menyibukan diri dengan ke belakang rumah memeriksa jemuran pakaian.

“Minta izin setengah hari....” ia mengikutiku. Dasi dan sepatunya belum dibuka. Tak seperti awal menikah. Kecupan di dahi dan kewajibanku menyenangkan suami: membuka dasi dan menyimpan sepatu di rak, tak menjadi kebiasaan lagi. Hampa.

“Aku sudah tanya dokter Ali. Katanya kita harus check up lagi minggu depan untuk membuktikan siapa...”

“Yang mandul?!” jawabku meneruskan agak keras. Kuambil pakain di jemuran dengan pandang tak acuh. Suamiku bersender di pintu.

“Alaaaah! Hanya itu yang bisa kamu ucapkan? Hah?”

Hawa musim kemarau ini tiba-tiba terasa panas dan merasuk ubun-ubun. Kembali, emosi harus meledak lagi.
Aku tak berkata apa-apa lagi. Menyimpan pakaian di kamar. Air mata membuncah.

“Ma, kalau kita terus begini, apa jalan terbaik yang harus kita ambil?”

Aku tak peduli kutelungkupan wajahku ke bantal. Bayangan sumpah serapahnya tadi malam tidak cukup untuk membuatku berpikir dan bicara logis sekarang ini. Aku masih tak terima karena ia menuduhku yang tak punya bakat punya anak! Meladeni omongannya sama artinya aku harus siap kembali “berperang” di rumah ini.

“Ok. Aku minta maaf malam telah bicara kasar. Tapi aku yakin masih ada jalan untuk kita mendapatkan keturunan!”

Aku tetap terdiam. Padahal, inilah yang dari dulu aku kagumi pada Mas Edi. Ia berani meminta maaf jika melakukan kesalahan. Tapi, buntut kejadian malam tadi tetap membuatku belum bisa memaafkannya.

Rumah kembali sepi. Mas Edi masuk ke ruang kerjanya. Ia sudah mengerti sifatku yang tidak bisa dipaksa bicara jika aku belum bisa tenang.

***

Bel istirahat menyentakkanku. Itu artinya aku harus segera ke belakang ruang PMR. Sebuah tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak sekolah ini. Bau sampah, siapa yang mau mendatanginya? Sementara bagiku dan Wahyu, tempat itu menjadi tempat teraman untuk membicarakan keadaan kita.

Wajahnya kuyu. Sebatang rokok segera dinyalakan. Mungkin, bau asap bisa mengusir bau tempat ini.

“Sudah makan nanasnya? Banyak?” tiba-tiba ia mengelus rambutku. Pipiku basah seketika oleh air mata yang tak bisa kubendung lagi. Inilah kau merasakan pengkhianatan terbesar dalam hidupku. Wajah Bunda dan Papa menelikung jalur nuraniku.

“Masuk empat bulan, ya? Tapi belum kelihatan amat kok! Untung badan kamu agak gemuk!” Tanpa tedeng aling-aling ia berkata begitu. Segera kutepis tangannya saat ia mau mengelus perutku yang masih terbalut jaket.

“Aku takut jika semua orang di sekolah ini curiga. Kemarin saja si Tanti sudah nanya: ‘Rat, kok tambah gemuk. Diet dong!’ Apakah hal ini terus bisa kusembunyikan?”

Asap kembali mengepul di sela-sela bibirnya. Ia menggaruk kepala.

“Kataku juga: Gugurin! Dari dulu kan dah kubilang...” Lelaki sialan. Mau enaknya, emoh tanggung jawabnya. Kami berdua terdiam. Solusi itu tetap tak ada. Serbasalah. Aku hanya takut ketahuan. Tapi bagaimana caranya menghilangkan “jejak” semua ini?

***

Bulan-Bulan kemudian....

Tak ada sapaan “selamat pagi” setiap saat aku menyiram tanaman ini. Pindahkah anak itu? Aku rindu senyuman hangatnya di setiap pagi. Mengingatkanku kembali pada khayalan bahwa aku ingin punya anak seperti dia.

Mas Edi semakin jarang pulang ke rumah. Desas-desus yang aku terima, ia punya idaman lain. Iya, Tuhan...aku yang salah. Dokter Ali benar: aku yang tak bisa punya anak! Cukup. Ini sudah menjadi “hukumanku”. Tak salah jika Mas Edi punya harapan lain yang selama ini menjadi sumbu kekisruhan harmonisnya rumah tangga kami.

Pagi ini aku menikmatinya sendiri. Tak ada senyuman dan suami menemaniku.

***

Kumandang adzan subuh hanya yang kudengar saat perut ini sakit luar biasa. Di kost-an aku hanya sendiri. Pemilik rumah dan keluarganya pergi ke luar kota. Penghuni kamar sebelah sedang cuti dan liburan ke Bali.

Wajah Wahyu! Bunda dan Papa. Kumandang adzan subuh. Keringat. Mulas. Sakit. Bercak darah. Dunia berputar. Aku ingat si Momot, kucing kesayanganku di rumah, yang waktu SMP dulu kubantu melahirkan anak-anaknya. Aku? Tak ada siapapun yang peduli. Aaaaaargh!

Tubuh lemas luar biasa. Mati-hidup di ujung tanduk. Wajah Wahyu berkelebat! Di kamar ini juga dengan sejuta nista hancur punah oleh kesakitan ini.

Bau menganyirkan ruangan. Wajah itu, hanya kulihat kilasan Wahyu di mukanya. Dunia dan keadilan tak pernah mendukungku!

Matahari mulai menembus kaca jendela kamar yang masih tertutup gorden. Suara itu harus senyap sebelum orang-orang sadar. Tuhan, ia seperti boneka berdaging. Sekuat tenaga aku mengangkat badan. Jejak ini adalah penyesalan kedua yang mungkin harus kulalui. Harus!

***

Tanaman di halaman begitu segar. Anggrek yang kugantung dekat garasi semakin tumbuh. Aku puas. Tanaman ini menjadi penglipur kalbuku. Ah, di batang pohon bunga mawar itu: bakal kembang. Merah muda menyempil. Akan tumbuh menjadi bunga yang selalu kusukai nanti.

Saat aku akan mengambil pupuk.

“Mbak Ratna....”  Suara itu. Dan sebenarnya ku benci. Kata mbak, bukan ibu!  Hanya karena aku belum punya anak?

“Iya. Ada apa Bu Dias?”

Aku kira mereka akan lari pagi. Berduyun mereka menuju penampungan sampah di kompleks kami.

“Ayo, Mbak...ada yang buang orok di tempat sampah!” Bu Ochi mengajakku sambil membukakan pintu pagar.

“Iya, tega amat sih! Orang sini kali ya yang buang orok?” Teh Uyu ikut gelagapapan.

“Iyyyyyy. Manusia zaman sekarang memang biadab!” Teriak Pak Engkos sambil menggendong anaknya.

Tubuhku gemetar saat sampai di tempat pembuangan sampah kompleks ini. Kardus usang bekas mie menjadi boks bayi malang itu. Balutan kain itu sudah cukup membuat bayi merah itu terhenti menghirup udara yang baru ia rasakan. Tiba-tiba keributan itu semakin bertambah saat orang-orang sekompleks berdatangan.

Aku lemas.

Tuhan di mana rasa keadilan ini? Aku bersumpah, jika bayi itu ditemukan masih dalam keadaan hidup, aku akan merawatnya sepenuh hati. Tapi? Mungkin napasnya hanya beberapa saat. Kulitnya masih segar. Wajah bayi tanpa dosa itu membuat pandanganku... gulita.

Bandung, Medio Agustus 2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun