***
Bel istirahat menyentakkanku. Itu artinya aku harus segera ke belakang ruang PMR. Sebuah tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak sekolah ini. Bau sampah, siapa yang mau mendatanginya? Sementara bagiku dan Wahyu, tempat itu menjadi tempat teraman untuk membicarakan keadaan kita.
Wajahnya kuyu. Sebatang rokok segera dinyalakan. Mungkin, bau asap bisa mengusir bau tempat ini.
“Sudah makan nanasnya? Banyak?” tiba-tiba ia mengelus rambutku. Pipiku basah seketika oleh air mata yang tak bisa kubendung lagi. Inilah kau merasakan pengkhianatan terbesar dalam hidupku. Wajah Bunda dan Papa menelikung jalur nuraniku.
“Masuk empat bulan, ya? Tapi belum kelihatan amat kok! Untung badan kamu agak gemuk!” Tanpa tedeng aling-aling ia berkata begitu. Segera kutepis tangannya saat ia mau mengelus perutku yang masih terbalut jaket.
“Aku takut jika semua orang di sekolah ini curiga. Kemarin saja si Tanti sudah nanya: ‘Rat, kok tambah gemuk. Diet dong!’ Apakah hal ini terus bisa kusembunyikan?”
Asap kembali mengepul di sela-sela bibirnya. Ia menggaruk kepala.
“Kataku juga: Gugurin! Dari dulu kan dah kubilang...” Lelaki sialan. Mau enaknya, emoh tanggung jawabnya. Kami berdua terdiam. Solusi itu tetap tak ada. Serbasalah. Aku hanya takut ketahuan. Tapi bagaimana caranya menghilangkan “jejak” semua ini?
***
Bulan-Bulan kemudian....
Tak ada sapaan “selamat pagi” setiap saat aku menyiram tanaman ini. Pindahkah anak itu? Aku rindu senyuman hangatnya di setiap pagi. Mengingatkanku kembali pada khayalan bahwa aku ingin punya anak seperti dia.