Mohon tunggu...
Abah Amin
Abah Amin Mohon Tunggu... Pengelola Media Online, Penulis, Pengurus Komunitas Berbasis Pemberdayaan Masyarakat -

Hobi menulis, blogger (seputar wisata Bandung, wisata Jabar, dan blog pendidikan), aktivis komunitas pemberdayaan masyarakat di Bandung, dan pengelola akun media sosial promosi wisata Bandung. Menjadikan kegiatan menulis sebagai media katarsis. Berpikir, berkarya, dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Orok

10 November 2010   15:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Bel istirahat menyentakkanku. Itu artinya aku harus segera ke belakang ruang PMR. Sebuah tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak sekolah ini. Bau sampah, siapa yang mau mendatanginya? Sementara bagiku dan Wahyu, tempat itu menjadi tempat teraman untuk membicarakan keadaan kita.

Wajahnya kuyu. Sebatang rokok segera dinyalakan. Mungkin, bau asap bisa mengusir bau tempat ini.

“Sudah makan nanasnya? Banyak?” tiba-tiba ia mengelus rambutku. Pipiku basah seketika oleh air mata yang tak bisa kubendung lagi. Inilah kau merasakan pengkhianatan terbesar dalam hidupku. Wajah Bunda dan Papa menelikung jalur nuraniku.

“Masuk empat bulan, ya? Tapi belum kelihatan amat kok! Untung badan kamu agak gemuk!” Tanpa tedeng aling-aling ia berkata begitu. Segera kutepis tangannya saat ia mau mengelus perutku yang masih terbalut jaket.

“Aku takut jika semua orang di sekolah ini curiga. Kemarin saja si Tanti sudah nanya: ‘Rat, kok tambah gemuk. Diet dong!’ Apakah hal ini terus bisa kusembunyikan?”

Asap kembali mengepul di sela-sela bibirnya. Ia menggaruk kepala.

“Kataku juga: Gugurin! Dari dulu kan dah kubilang...” Lelaki sialan. Mau enaknya, emoh tanggung jawabnya. Kami berdua terdiam. Solusi itu tetap tak ada. Serbasalah. Aku hanya takut ketahuan. Tapi bagaimana caranya menghilangkan “jejak” semua ini?

***

Bulan-Bulan kemudian....

Tak ada sapaan “selamat pagi” setiap saat aku menyiram tanaman ini. Pindahkah anak itu? Aku rindu senyuman hangatnya di setiap pagi. Mengingatkanku kembali pada khayalan bahwa aku ingin punya anak seperti dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun