“Mbak Ratna....” Suara itu. Dan sebenarnya ku benci. Kata mbak, bukan ibu! Hanya karena aku belum punya anak?
“Iya. Ada apa Bu Dias?”
Aku kira mereka akan lari pagi. Berduyun mereka menuju penampungan sampah di kompleks kami.
“Ayo, Mbak...ada yang buang orok di tempat sampah!” Bu Ochi mengajakku sambil membukakan pintu pagar.
“Iya, tega amat sih! Orang sini kali ya yang buang orok?” Teh Uyu ikut gelagapapan.
“Iyyyyyy. Manusia zaman sekarang memang biadab!” Teriak Pak Engkos sambil menggendong anaknya.
Tubuhku gemetar saat sampai di tempat pembuangan sampah kompleks ini. Kardus usang bekas mie menjadi boks bayi malang itu. Balutan kain itu sudah cukup membuat bayi merah itu terhenti menghirup udara yang baru ia rasakan. Tiba-tiba keributan itu semakin bertambah saat orang-orang sekompleks berdatangan.
Aku lemas.
Tuhan di mana rasa keadilan ini? Aku bersumpah, jika bayi itu ditemukan masih dalam keadaan hidup, aku akan merawatnya sepenuh hati. Tapi? Mungkin napasnya hanya beberapa saat. Kulitnya masih segar. Wajah bayi tanpa dosa itu membuat pandanganku... gulita.
Bandung, Medio Agustus 2008