Dari analisis yang telah dilakukan dimana kita bisa melihat dua sisi konsep Parliamentary Threshold, maka kita bisa menganalisis sikap beberapa partai di parlemen terkait konsep tersebut, terutama terkait wacana peningkatan Parliamentary Threshold. Yang pertama PKS yang setuju untuk menaikkan PT sebesar 7%. Sikap PKS dapat dikaji dengan membandingkan jumlah perolehan suaranya yang mencapai 8,21% pada pemilu 2019 (Prabowo, 2020). Berikutnya partai demokrat merasa angka PT yang berlaku saat ini sudah mencukupi dan jika ditingkatkan akan memberatkan partai-partai kecil (Sari, 2020). Sikap demokrat dapat didasarkan pada realitanya dimana partai demokrat mengalami kemerosotan jumlah perolehan suara pada pemilu 2019. Hal senada juga diutarakan PPP dan PAN yang beranggapan peningkatan PT akan semakin banyak menghanguskan suara sah masyarakat. Argumen mereka dapat dianalisis melalui jumlah peroleh suara mereka yang hanya mencapai 6,84% (PAN) dan 4,52% (PPP). Sementara itu beberapa partai seperti PDIP yang memperoleh 19,33% dari suara nasional, Golkar yang memperoleh 12,31%, dan PKB yang memperoleh 9,69% mendukung peningkatan angka PT sebesar 5-7,5% dengan alasan penyederhanaan komposisi partai di parlemen (Hutabarat, 2020). Dari penjelasan diatas, dengan berkaca pada kualitas sistem perwakilan politik Indonesia yang masih kurang memadai, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sikap setiap partai didasari oleh kondisi mereka dan jaraknya dengan ambang batas parlemen. Partai-partai kecil seperti PAN, PPP, dan Demokrat tentu saja menolak melihat perolehan suara mereka tidak berbeda jauh dengan ambang batas, lain halnya dengan partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, PKS, dan PKB yang memiliki jarak yang cukup signifikan dari ambang batas. Orientasi sikap setiap partai tentu saja hanya untuk mempertahankan posisinya di parlemen atau memperluas kekuasaan sekaligus mengeliminasi partai lainnya di parlemen terlepas dari alasan 'formal' yang mereka sampaikan ke publik. Kesimpulan analisis tersebut ditetapkan mengingat konsep Parliamentary Threshold sendiri memiliki sejumlah kontroversi dan tidak ada satu pun partai yang berusaha mengusulkan alternatifnya yang lebih relevan dan demokratis. Bisa dikatakan juga bahwa orientasi setiap partai di parlemen Indonesia belum merefleksikan prinsip-prinsip demokrasi dengan baik.
Melihat berbagai analisis yang telah dibuat baik terhadap konsep Parliamentary Threshold maupun sikap partai-partai di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa konsep PT bukanlah konsep terbaik dalam memenuhi tujuan atau dampak positif PT itu sendiri. Berbagai ahli lantas mengemukakan pilihan alternatif yang dapat ditempuh yang lebih relevan dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.Â
Pilihan alternatif untuk menyederhanakan sistem kepartaian adalah memperkecil jumlah daerah pemilihan, mengubah angka district magnitude, mengubah rumus yang mentransformasikan suara yang diperoleh partai menjadi kursi di parlemen. dan menerapkan konsep ambang batas pembentukan fraksi di DPR guna membentuk sistem kepartaian multipartai yang sederhana sekaligus memerhatikan realita politik kita yang multikultural. Sementara untuk meningkatkan kualitas parlemen, penguatan komitmen dan pemberdayaan kader-kader yang akan berkontestasi pada pemilu oleh setiap partai politik dapat diterapkan terlebih dahulu (Farisa, 2020).
Pada kesimpulannya, tulisan ini menghasilkan analisis terhadap konsep Parliamentary Threshold dan juga sikap setiap partai terkait konsep tersebut, terutama dalam wacana peningkatan besaran PT tersebut. PT memiliki sejumlah tujuan yang baik seperti penyederhanaan komposisi partai di parlemen, meningkatkan kualitas partai, meningkatkan kemungkinan terimplementasinya fungsi-fungsi partai dan DPR, menjaga stabilitas politik, dan lain sebagainya. Namun, PT juga dihantui oleh beberapa kelemahan dan kontroversi di dalamnya yang tidak kalah banyak seperti menghanguskan suara sah rakyat begitu saja, hegemoni kekuasaan oleh partai-partai besar, hanya mementingkan elit-elit politik, berpotensi menciptakan pragmatisme politik melalui praktik politik uang, KKN, pengaburan ideologi hingga kelembagaan partai.Â
Selain itu, PT juga akan menciptakan pemilu yang semakin tidak proporsional dan juga kegagalan PT dalam memenuhi tujuannya tersendiri yakni menyederhanakan sistem kepartaian yang dibuktikan melalui analisis antara tingkat ambang batas, jumlah partai, dan indeks ENPP yang dilakukan terhadap pemilu-pemilu yang telah berlangsung. Dari analisis yang telah dilakukan, kita juga bisa menganalisis sikap setiap partai terkait wacana peningkatan PT yang pada kesimpulannya hanya didasarkan pada kondisi dan pengaruh yang dimiliki setiap partai saat ini. Bisa dikatakan juga bahwa partai-partai di Indonesia belum mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi dan sistem perwakilan politik dengan optimal. Hingga pada akhirnya berdasarkan analisis PT dan studi kasus sikap partai-partai di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa PT bukanlah konsep yang paling tepat untuk memenuhi objektif-objektifnya. Beberapa pilihan alternatif pun dapat ditempuh guna mencapai objektif yang diinginkan sekaligus meminimalisir kontroversi atau dampak negatifnya seperti memperkecil jumlah daerah pemilihan, memformulasi ulang rumus pemilu proporsional hingga memperkokoh kualitas kader partai melalui pemberdayaan dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H