Semakin dekatnya tahun 2024 membuat hampir seluruh kelangan masyarakat Indonesia penasaran dan tertarik untuk memperhatikan segala pergerakan pemerintah, wakil-wakil rakyat, dan khususnya partai politik yang bisa dikatakan sebagai sumber tindakan atau pengambilan keputusan politik atau kebijakan publik di Indonesia. Antusiasme tersebut juga disebabkan oleh kecanggihan teknologi, peran besar globalisasi dan media massa serta prinsip bernegara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Seperti yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa dalam negara berdemokrasi, maka semakin masyarakatnya sadar dan mampu berpartisipatif secara aktif seperti memberikan suaranya pada saat pemilihan umum, maka kualitas demokrasi pada negara tersebut akan semakin baik.
Demokrasi sendiri tidak dapat berdiri secara kokoh tanpa konsep-konsep lainnya yang menjadi unsur yang saling terikat dan tidak dapat dipisahkan. Beberapa konsep yang berafiliasi dengan demokrasi secara erat adalah partai politik dan pemilihan umum. Pemilihan umum lantas diartikan sebagai wadah utama pergantian kepemimpinan yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan juga sarana utama yang membuktikan kedaulatan rakyat di sebuah wilayah atau negara. Dalam proses pelaksanaannya, di dalam pemilihan umum terdapat beberapa pesertanya, namun yang terutama adalah partai politik yang menjadi sarana utama yang menghubungkan pemerintah dan para calon wakil rakyat dengan masyarakat melalui pemilihan umum.
Memasuki konsep utama dalam pembahasan kali ini, partai politik dapat diartikan sebagai kelompok yang teratur dimana anggota-anggotanya memiliki kesamaan tujuan, nilai, hingga cita-cita dalam bidang politik. Sementara menurut Neumann, partai politik dapat didefinisikan sebagai perantara yang menghubungkan ideologi dengan pemerintahan (Budiardjo, 2017).
Meski memiliki berbagai jenis, umumnya partai politik hanya memiliki satu tujuan utama, yakni meraih kekuasaan seluas-luasnya dan mempertahankan kekuasaan tersebut di ranah politik yang biasanya dalam negara demokratis dilakukan dengan menarik simpati dan suara masyarakat saat pemilu sehingga partai tersebut dapat mendominasi kekuasaan di berbagai lembaga pemerintahan seperti mengisi kursi-kursi perwakilan sebanyak-banyaknya berdasarkan jumlah suara yang didapat saat pemilihan umum.
Kembali membahas pemilihan umum tahun 2024 yang semakin mendekat, terdapat satu konsep yang berhubungan dengan demokrasi, pemilihan umum, dan partai politik. Konsep tersebut adalah Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen. Konsep ini memberikan sebuah ambang batas jumlah perolehan suara yang harus dimiliki partai politik saat pemilihan umum untuk mentransformasikan jumlah perolehan suara tersebut menjadi kursi-kursi di parlemen atau lembaga perwakilan.
Bisa diartikan juga bahwa partai-partai politik yang tidak mampu menggalang suara sebanyak batas yang telah ditetapkan Parliamentary Threshold, maka mereka tidak dapat menduduki kursi-kursi perwakilan dan jumlah suara yang telah mereka peroleh menjadi sia-sia karena hangus begitu saja. Konsep Parliamentary Threshold (PT) sebenarnya bukanlah konsep yang baru.Â
Sejarah awal Parliamentary Threshold dapat dilacak pada pemilihan umum tahun 2009 ketika konsep tersebut pertama kali diimplementasikan. Ketentuan ambang batas parlemen ini diatur melalui Pasal 202 UU No. 10 Tahun 2008 yang menetapkan sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan pada pemilihan legislatif DPR, tidak mencakup legislatif daerah seperti DPRD (Hadi & Brata, 2020). Penetapan Parliamentary Threshold ini memangkas jumlah partai politik yang dapat menduduki DPR menjadi hanya sembilan partai dari total 44 partai politik yang menjadi peserta pemilu pada tahun 2009.Â
Menjelang pemilihan umum tahun 2014, Parliamentary Threshold mengalami peningkatan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 yang menetapkapkan Parliamentary Threshold sebesar 3,5% yang berlaku untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD. Namun setelah digugat oleh beberapa partai politik ke Mahkamah Konstitusi, akhirnya diputuskan bahwa ambang batas parlemen tersebut hanya diberlakukan untuk pemilihan anggota DPR dan dihapuskan untuk pemilihan anggota DPRD.Â
Pada pemilihan umum tahun 2014 sebanyak 15 partai politik turut berkontestasi dimana 13 partai mampu melewati ambang batas sementara dua partai tidak melewati ambang batas. Berikutnya pada pemilihan umum tahun 2019, Parliamentary Threshold kembali mengalami peningkatan menjadi sebesar 4% yang diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 yang kembali memberlakukan ambang batas untuk pemilihan anggota DPR. Sejarah Parliamentary Threshold ini menandakan tren atau pergerakan yang cukup progresif dimana setiap lima tahun mengalami peningkatan. Beberapa tahun yang lalu pada tahun 2024 muncul wacana untuk menaikkan Parliamentary Threshold kembali. Hal ini tentu menuai berbagai tanggapan. Berbagai partai politik di Indonesia juga memiliki pandangan yang beragam dengan alasannya masing-masing.
Pada kesempatan ini, konsep Parliamentary Threshold akan dianalisis lebih lanjut terkait pro dan kontranya beserta kajian terhadap sikap beberapa partai terhadap konsep tersebut yang kembali lagi akan dicocokan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip demokrasi. Pada satu sisi, pembentukan Parliamentary Threshold tentu memiliki dasar dan tujuan yang kuat. Hal tersebut menjadi salah satu argumen utama para pendukung penerapan Parliamentary Threshold, diantaranya yang pertama adalah untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Penyederhanaan sistem dan jumlah partai di DPR dipercayai akan membawa sejumlah dampak positif lainnya.Â
Kehadiran Parliamentary Threshold bertujuan untuk mendorong pembentukan dan pemberdayaan partai politik yang lebih berkualitas ketika berkontestasi dan berlomba-lomba merebut suara rakyat sehingga setiap partai yang menduduki parlemen terutama DPR memiliki reputasi dan orientasi yang memadai untuk mengeksekusikan fungsi-fungsi partai politiknya dengan baik di parlemen.Â
Parliamentary Threshold memang seakan-akan membatasi demokrasi melalui pembatasan partai yang akan merepresentasikan masyarakat di DPR, namun kehadiran Parliamentary Threshold  akan memaksa setiap anggota dewan untuk berperan aktif dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dikarenakan pada saat pemilu reputasi dan kualitas sebuah partai sangat diperhatikan melalui ambang batas parlemen yang mencegah partai yang tidak dikenal masyarakat luas hingga kualitas yang masih dipertanyakan untuk menduduki parlemen (Adiwira, 2020).Â
Yang kedua, untuk membangun kestabilan politik dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Salah satu upaya untuk meraih kestabilan tersebut adalah dengan membatasi jumlah partai politik yang jika berlebihan akan menghasilkan faksi-faksi yang sangat banyak yang akan berujung pada ketidakefektifan pemerintahan yang ada dikarenakan lembaga eksekutif tidak akan mampu bekerja sama dengan lembaga legislatif dengan baik yang disebabkan oleh terlalu banyaknya perbedaan kepentingan yang akan menghambat kinerja DPR dalam melaksanakan fungsi-fungsinya seperti stagnansi dalam perumusan sebuah peraturan perundang-undangan yang dilakukan bersama pemerintah. Ketidakstabilan politik tersebut juga tidak hanya disebabkan oleh perbedaan kepentingan, namun juga kasus-kasus penyimpangan seperti korupsi yang lebih rawan terjadi akibat jumlah partai yang berlebihan. Terlebih jika kebanyakan partai-partai tersebut adalah partai baru yang kualitas anggotanya masih dipertanyakan. Maka daripada itu, penyederhanaan partai melalui Parliamentary Threshold juga diharapkan mampu menanggulangi maraknya kasus korupsi di parlemen yang akan menciptakan ketidakstabilan politik.
Meski demikian, konsep Parliamentary Threshold tidak dapat dilepaskan dari berbagai kritik yang menghantuinya. Beberapa ahli termasuk partai-partai politik mengkritik implementasi Parliamentary Threshold, apalagi terhadap wacana Parliamentary Threshold yang akan ditingkatkan sebesar 5%. Kritik-kritik tesebut dapat diuraikan menjadi beberapa poin, yang pertama yakni akan menyebabkan banyaknya suara masyarakat yang telah diperoleh partai politik yang hangus begitu saja dalam pemilihan umum.Â
Tujuan penerapan ambang batas parlemen untuk menghasilkan pemerintahan yang stabil dinilai cacat. Hal tersebut disebabkan oleh konsep Parliamentary Threshold yang memang mengharuskan partai politik tertentu untuk merelakan seluruh dukungan konstituennya melalui jumlah suara yang terkumpul dengan sia-sia jika jumlah tersebut tidak mampu melewati ambang batas yang telah ditetapkan. Hal ini justru membuat konsep Parliamentary Threshold bertentangan dengan prinsip demokrasi karena baik calon wakil maupun masyarakat yang memilihnya merasa tidak dianggap dalam pesta demokrasi tersebut yang membuat sebagian kedaulatan rakyat tidak terwujud.Â
Terlebih dalam sistem kepartaian Indonesia yang multipartai yang selaras dengan dinamika kependudukan Indonesia yang multikultural, maka penerapan Parliamentary Threshold dinilai tidak mengimplementasi nilai-nilai sistem perwakilan politik sesungguhnya yakni representatif. Kritik yang kedua juga datang dari perspektif komposisi parlemen yang ditakutkan hanya akan diisi atau didominasi oleh partai-partai besar saja.Â
Konsep ambang batas parlemen ini dinilai menyulitkan bagi partai-partai baru maupun partai-partai berukurang sedang hingga kecil yang sedang berusaha untuk menjadi wakil rakyat yang demokratis namun belum memiliki dukungan dari masyarakat yang memadai untuk membuktikan niat mereka. Dengan kata lain, Parliamentary Threshold seakan-akan menghapus kesempatan berbagai partai begitu saja.Â
Kritik ini juga mengkhawatirkan konsep ambang batas parlemen akan mengembalikan sistem kepartaian Indonesia seperti pada masa Orde Baru dimana parlemen hanya diisi oleh partai-partai besar ataupun partai yang mempunyai kekuasaan yang besar yang akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan politik kembali. Kritik yang ketiga disini mencoba melawan argumen pendukung Parliamentary Threshold yang beranggapan bahwa Parliamentary Threshold merupakan cara yang tepat untuk menyederhanakan partai di parlemen.Â
Para kritikus disini beranggapan bahwa Parliamentary Threshold justru tidak tepat untuk menyederhanakan komposisi partai karena konsep tersebut merupakan konsep yang dicetuskan dan dibuat sedemikian rupa untuk menguntungkan para partai besar dan mengorbankan partai-partai kecil dikarenakan juga dalam proses pengambilan keputusannya, bahkan partai kecil yang berhasil menduduki parlemen tidak akan berdaya melawan kekuatan partai besar di parlemen (Aji & Indrawan, 2019).Â
\Sehingga bisa dikatakan banyak yang menilai bahwa Parliamentary Threshold merupakan produk kompromi di antara elit-elit politik. Yang keempat, dengan diterapkannya ambang batas parlemen ini, maka dapat menyebabkan pragmatisme politik melalui praktik politik uang dan oligarki yang akan semakin subur (Paat, 2020).Â
Berbagai celah akan timbul untuk 'memfasilitasi' praktik yang menyimpang tersebut. Seperti dalam proses pemilu, agar suatu partai dapat melewati ambang batas parlemen maka ia harus mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat yang kemudian tidak jarang ditemukan praktik suap seperti pembelian suara masyarakat oleh oknum partai tertentu. Begitu pula batasan-batasan ideologi dan kelembagaan partai yang akan semakin kabur hanya demi memuaskan aspirasi masyarakat seluas-luasnya agar melewati ambang batas.Â
Parliamentary Threshold juga mampu mendorong koalisi dan fusi partai-partai politik tertentu yang tentunya tidak dapat dimungkiri berpotensi untuk terjadinya politik uang dan penguatan oligarki. Yang kelima, Parliamentary Threshold dan angkanya yang semakin meningkat ini dinilai akan semakin menghasilkan pemilihan umum yang tidak proporsional yang disebabkan oleh ketimpangan perolehan suara suatu partai dengan perolehan kursi di DPR. Yang keenam, indeks effective nimber of parliamentary parties (ENPP) mengukur bahwa sistem kepartaian lebih ditentukan oleh jumlah partai relevan ketimbang jumlah riil partai dan konsep ambang batas parlemen hanya berguna dalam mengurangi jumlah riil sehingga bisa dikatakan ambang batas parlemen dinilai gagal menyederhanakan sistem kepartaian. Di Indonesia kegagalan tersebut dibuktikan melalui analisis hasil pemilu 1999-2009 yang menghubungkan penerapan ambang batas dengan jumlah partai di parlemen dengan indeks ENPP yang membuktikan ketidakefektifan penerapan ambang batas dalam menyederhanakan sistem kepartaian (Maharddhika, 2020).
Dari analisis yang telah dilakukan dimana kita bisa melihat dua sisi konsep Parliamentary Threshold, maka kita bisa menganalisis sikap beberapa partai di parlemen terkait konsep tersebut, terutama terkait wacana peningkatan Parliamentary Threshold. Yang pertama PKS yang setuju untuk menaikkan PT sebesar 7%. Sikap PKS dapat dikaji dengan membandingkan jumlah perolehan suaranya yang mencapai 8,21% pada pemilu 2019 (Prabowo, 2020). Berikutnya partai demokrat merasa angka PT yang berlaku saat ini sudah mencukupi dan jika ditingkatkan akan memberatkan partai-partai kecil (Sari, 2020). Sikap demokrat dapat didasarkan pada realitanya dimana partai demokrat mengalami kemerosotan jumlah perolehan suara pada pemilu 2019. Hal senada juga diutarakan PPP dan PAN yang beranggapan peningkatan PT akan semakin banyak menghanguskan suara sah masyarakat. Argumen mereka dapat dianalisis melalui jumlah peroleh suara mereka yang hanya mencapai 6,84% (PAN) dan 4,52% (PPP). Sementara itu beberapa partai seperti PDIP yang memperoleh 19,33% dari suara nasional, Golkar yang memperoleh 12,31%, dan PKB yang memperoleh 9,69% mendukung peningkatan angka PT sebesar 5-7,5% dengan alasan penyederhanaan komposisi partai di parlemen (Hutabarat, 2020). Dari penjelasan diatas, dengan berkaca pada kualitas sistem perwakilan politik Indonesia yang masih kurang memadai, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sikap setiap partai didasari oleh kondisi mereka dan jaraknya dengan ambang batas parlemen. Partai-partai kecil seperti PAN, PPP, dan Demokrat tentu saja menolak melihat perolehan suara mereka tidak berbeda jauh dengan ambang batas, lain halnya dengan partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, PKS, dan PKB yang memiliki jarak yang cukup signifikan dari ambang batas. Orientasi sikap setiap partai tentu saja hanya untuk mempertahankan posisinya di parlemen atau memperluas kekuasaan sekaligus mengeliminasi partai lainnya di parlemen terlepas dari alasan 'formal' yang mereka sampaikan ke publik. Kesimpulan analisis tersebut ditetapkan mengingat konsep Parliamentary Threshold sendiri memiliki sejumlah kontroversi dan tidak ada satu pun partai yang berusaha mengusulkan alternatifnya yang lebih relevan dan demokratis. Bisa dikatakan juga bahwa orientasi setiap partai di parlemen Indonesia belum merefleksikan prinsip-prinsip demokrasi dengan baik.
Melihat berbagai analisis yang telah dibuat baik terhadap konsep Parliamentary Threshold maupun sikap partai-partai di Indonesia, bisa disimpulkan bahwa konsep PT bukanlah konsep terbaik dalam memenuhi tujuan atau dampak positif PT itu sendiri. Berbagai ahli lantas mengemukakan pilihan alternatif yang dapat ditempuh yang lebih relevan dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.Â
Pilihan alternatif untuk menyederhanakan sistem kepartaian adalah memperkecil jumlah daerah pemilihan, mengubah angka district magnitude, mengubah rumus yang mentransformasikan suara yang diperoleh partai menjadi kursi di parlemen. dan menerapkan konsep ambang batas pembentukan fraksi di DPR guna membentuk sistem kepartaian multipartai yang sederhana sekaligus memerhatikan realita politik kita yang multikultural. Sementara untuk meningkatkan kualitas parlemen, penguatan komitmen dan pemberdayaan kader-kader yang akan berkontestasi pada pemilu oleh setiap partai politik dapat diterapkan terlebih dahulu (Farisa, 2020).
Pada kesimpulannya, tulisan ini menghasilkan analisis terhadap konsep Parliamentary Threshold dan juga sikap setiap partai terkait konsep tersebut, terutama dalam wacana peningkatan besaran PT tersebut. PT memiliki sejumlah tujuan yang baik seperti penyederhanaan komposisi partai di parlemen, meningkatkan kualitas partai, meningkatkan kemungkinan terimplementasinya fungsi-fungsi partai dan DPR, menjaga stabilitas politik, dan lain sebagainya. Namun, PT juga dihantui oleh beberapa kelemahan dan kontroversi di dalamnya yang tidak kalah banyak seperti menghanguskan suara sah rakyat begitu saja, hegemoni kekuasaan oleh partai-partai besar, hanya mementingkan elit-elit politik, berpotensi menciptakan pragmatisme politik melalui praktik politik uang, KKN, pengaburan ideologi hingga kelembagaan partai.Â
Selain itu, PT juga akan menciptakan pemilu yang semakin tidak proporsional dan juga kegagalan PT dalam memenuhi tujuannya tersendiri yakni menyederhanakan sistem kepartaian yang dibuktikan melalui analisis antara tingkat ambang batas, jumlah partai, dan indeks ENPP yang dilakukan terhadap pemilu-pemilu yang telah berlangsung. Dari analisis yang telah dilakukan, kita juga bisa menganalisis sikap setiap partai terkait wacana peningkatan PT yang pada kesimpulannya hanya didasarkan pada kondisi dan pengaruh yang dimiliki setiap partai saat ini. Bisa dikatakan juga bahwa partai-partai di Indonesia belum mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi dan sistem perwakilan politik dengan optimal. Hingga pada akhirnya berdasarkan analisis PT dan studi kasus sikap partai-partai di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa PT bukanlah konsep yang paling tepat untuk memenuhi objektif-objektifnya. Beberapa pilihan alternatif pun dapat ditempuh guna mencapai objektif yang diinginkan sekaligus meminimalisir kontroversi atau dampak negatifnya seperti memperkecil jumlah daerah pemilihan, memformulasi ulang rumus pemilu proporsional hingga memperkokoh kualitas kader partai melalui pemberdayaan dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H